Menanti pesawat menuju Jakarta di Bandara Supadio, Pontianak, masih terekam rasa senang dan bahagia di hati melihat geliat keliterasian di provinsi yang sedang mengadakan event Kalbar Bookfair yang kedua kalinya ini. Di kunjungan yang kedua di kota ini, saya bersua teman-teman pegiat literasi, penulis, penyair yang dengan segala “keterbatasan” khas luar Jakarta, tetap bersemangat untuk berkarya. Termasuk, menulis buku.

Mahalnya biaya cetak dan masih rendahnya minat baca atau “pasar buku”, tidak membuat mereka hanya bisa mengeluh, menyerah, lalu “do nothing”. Dengan segala cara, mereka berjuang menerbitkan karyanya, termasuk mencetak karyanya hingga ke Yogyakarta, yang menurut mereka, “Tempat mencetak buku yang terbilang paling murah di negeri ini.”

Perpustakaan Provinsi Kalbar yang mengadakan Kalbar Bookfair pun sama bersemangatnya. Di bawah Kepala Unit Pelayanan Terpadu Perpustakaan Kalbar, Untad Dharmawan, mereka membuat program “Library Creative Centre”. Membuat kelas pelatihan menulis, menggambar komik, animasi games, hand lettering untuk remaja, dan hasilnya dibukukan setiap tahun.

Perpustakaan Provinsi Kalbar juga mengadakan program “Kepung Buku”, Bekerjasama dengan Kodam setempat dan juga sejumlah lembaga swadaya masyarakat, mereka menaruh masing-masing 2000 buku di 46 titik pos pengamanan perbatasan dengan Malaysia. Karena tak ada biaya pengiriman ke titik-titik terluar negeri ini, “Kami bekerjasama dengan Pangdam, dan buku-buku itu dipikul dengan menggunakan ransel, yang dibawa oleh tentara-tentara yang bertugas di pos-pos perbatasan,” papar Untad Dharmawan.

Selain itu, mereka bekerjasama dengan ibu-ibu yang tergabung dalam Kemala Citra Bhayangkari, dengan menitipkan buku di 17 titik di pedalaman, perbatasan dan pulau-pulau kecil di Kalbar. Masing-masing titik mendapat jatah 1000 buku, dengan 500 judul. “Satu judul dua buku,” papar Untad, alumnus IPB, ahli kehutanan yang mengambil magister di bidang lingkungan, dan “Sekarang bekerja di lingkungan perpustakaan,” candanya.

“Kepung buku” juga dilakukan di Bunut Hilir, bergandengan tangan dengan perempuan pedagang ikan dan perawat. Siang hari, setelah menjalankan rutinitas hariannya, pedagang ikan dan perawat tersebut mendayung perahu ke tepian Sungai Kapuas, mendatangi warga dengan membawa buku. Dan malamnya, mereka bersiaran di radio komunitas, memaparkan berbagai permasalahan warga — dari masalah kesehatan, usaha kecil, perikanan, dan sebagainya — yang berbasis pada buku bacaan yang dikoleksi.

Tak berhenti sampai di situ, gerakan “kepung buku” juga dilakukan dengan menaruh buku di warung kopi yang banyak bertebaran di Pontianak, kafe, restoran dan hotel. “Pokoknya kepung buku di 205 titik. Supaya yang datang tak cuma sitting, drinking, smoking, do nothing. Tapi juga, reading!”

Dan pada 23 November akan diluncurkan program “kepung buku” lainnya bekerjasama dengan Polisi Perairan (Polair). Layanan penyediaan buku di kapal-kapal patroli perairan ini dinilai efektif, karena kapal-kapal tersebut singgah di pulau-pulau kecil, delta, sungai dan tepian pantai sepanjang Kalbar.

Satu lagi, bekerjasama dengan Kapal Dakwah milik Muhammadiyah Kalbar, yang juga berlayar mengelilingi lautan dan sungai di provinsi Kalbar.

Inilah sedikit “berita kecil” yang menyentak batin saya, bahwa betapa semangat #tebarvirusliterasi di berbagai sudut negeri ini begitu marak, dan kami yang berada di Jakarta, sungguh “tidak ada apa-apanya” dibanding mereka.

Teringat nasihat Wien WM Muldian, sahabat saya di Kemendikbud. Bahwa kita yang berada di pusat, “Kerap merasa sudah berdiri paling depan, tapi begitu menengok ke belakang, ternyata tidak ada orang dan kita cuma sendiri. Sementara di daerah-daerah, mereka bekerja dalam diam, dalam hening, berjejaring satu sama lain, dan hasilnya sungguh nyata.”

Salut dan respek saya, untuk para pegiat literasi di berbagai pelosok negeri tercinta.

#sahabatliterasi
#cerdasberliterasi