Memajukan perpustakaan desa itu ngeri-ngeri sedap. Bukan apa-apa, saya pribadi selalu dihadapkan pada pertanyaan, “Memajukan perpustakaan desa itu dapatnya apa?”

Sebentar, saya ngopi dulu sambil menyalakan sebatang rokok biar otak saya bisa berpikir secara terstruktur, massif, dan sistematis.

Baiklah, jadi begini, sebagai pengelola perpustakaan desa di daerah Klaten, saya harus berhadapan dengan pertanyaan yang awalnya saya sendiri bingung mau jawab apa. orientasi masyarakat desa adalah, ketika kita melakukan sesuatu ya hitungannya harus pasti. Misalnya, kuli bangunan itu kalau kerja harian dapatya Rp. 70.000, lha saya dapat apa?

terus terang, saya adalah pengelola perpustakaan desa by accident. agak tertekan dan diinjak dikit pada awal-awal ditunjuk sebagai pengelola perpustakaan desa. Masyarakat masih awam dengan peran perpustakaan yang sejatinya bukan hanya tempat kita membaca buku, tapi juga pusat belajar masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (Ini slogannya perpuseru)

Saya baru menjabat sebagai pengelola perpusdes itu sejak Juni 2017. program pertama yang saya usulkan adalah pelatihan TIK SD yang pesertanya adalah siswa dari SD yang berada di lingkup desa saya. Mengajukan program sebagus itu saja, saya harus bolak-balik tanya ke kades untuk meminta persetujuan. Singkat cerita, setelah disetujui, kadesnya malah mengusulkan pelatihan bagi masyarakat lain. Jika ditotal, sekarang Perpustakaan Ngudi Kawruh Nglinggi sudah ada 6 kelas. TIK dasar bagi siswa SD, ibu-ibu, dan RT/RW, lalu dilanjutkan dengan kelas editing video menggunakan Adobe Premiere Pro cc 2017 bagi karang taruna yang tergabung di komunitas Jepret Nglinggi dan kelas web design menggunakan HTML dan CSS . Bonusnya malam-malam mereka bisa main game online gratis di perpustakaan. Tapi, lagi-lagi, perpustakaan desa itu berhadapan dengan masyarakat yang orientasinya adalah uang. Maka dibuatlah kelas pelatihan CorelDraw.

Dongkol, sih, ketika ada yang menanyakan berapa jumlah gaji yang saya terima. Saya memilih diam. Males ngomong. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari jumlah gaji di Perpustakaan Desa yang terkenal perihnya dua kali daripada ngeliat pasangan kita berselingkuh dengan sesama jenis.

Bulan lalu, ketika saya diundang untuk menghadiri rapat evaluasi layanan perpustakaan di Salatiga, Kepala Dinas Arsip dan Perpustaaan Salatiga mengatakan bahwa, “Indonesia tertinggal 45 tahun dalam hal minat baca, dan tertinggal 65 tahun dalam hal riset dan teknologi.”

Saya itu orangnya simpel saja menanggapi sesuatu. Kalau mau blak-blakan nih, ya, minat baca diawali dari bacaan disukai. Baca status orang dan komentar-komentar haters di peternakan kakun saracen kan juga bagian dari kegiatan membaca, dan membalas komen yang bermuara pada perang twit adalah sebagian dari menulis. Negara mana yang semilitan Indonesia dalam hal nyinyir, misuh, dan mengumbar hoax paling abal-abal di dunia sambil ketawa-ketawa di angkringan? Nggak ada!

Sebelum perpustakaan tempat saya bekerja (baca: mengucurkan CSR kemampuan pribadi) mendapat 1000 judul buku dengan 2 rak dari provinsi Jawa Tengah, beberapa warga datang ingin meminjam buku, apa daya bukunya jadul semua.

Kita buat peta masalahnya saja, ya, biar gampang bahasnya, mumpung kopi saya masih dan saya masih niat menulis.

  • Permasalahan klasik perpustakaan desa/TBM adalah koleksi buku yang minim. Ketika masyarakat buka facebook terus melihat Gramedia atau penerbit mayor lain launching buku baru yang lebih update, perpustakaan nggak punya bukunya, ya sudahlah.
  • Harga buku mahal.  Sebenarnya soal mahal atau tidanya itu relatif tapi, kalau mau berpiir ala bu-ibu zaman firaun, duit yang buat beli buku bisa dipakai buat beli beras, minya, gula bla bla bla….
  • Balik ke pembahasan minat baca yang rendah dan ketertinggalan kita soal riset dan teknologi. Blak-blakan ajalah, sudah banyak kok peneliti Indonesia yang nggak ditanggapi di negeri sendiri tapi ditanggapi negara lain. Lagi pula, profesi penulis itu nggak menjajikan hidup yang berkecukupan kecuali kalian adalah Tere Liye. Hidup dari penulis itu perih, Jendral!
  • Minimnya perusahaan yang mengucurkan dana CSR ke perpustakaan.
  • Minimnya kepedulian stakeholder pada perpustakaan dan TBM tingkat desa. Padahal peraturan prioritas penggunaan dana desa untuk bangun perpustakaan sudah di atur di permendesa lho.

Minat baca itu bisa tumbuh jika diusahakan dan difasilitasi. Kadang Hayati lelah, Bang, dengan semua ini. Rasanya aku ingin pindah ke Meikarta.

Sekali lagi, memajukan perpustakaan desa dan TBM itu ngeri-ngeri sedap. Siap-siap dicuekin sama pemerintah setempat, bentrok dengan masyarakat yang punya kepentingan di pemerintahan, dan juga ditanyain, “Gajimu berapa kerja dari pagi sampai sore?”

Saya saat ini sudah terbiasa menghibur diri bahwa saya sedang sedekah. Tapi, kalau sombongnya lagi kumat dan bisa dapat dana selain dari desa, saya bisa teriak, “Memangnya aku tanpamu bakalan jadi butiran debu? Aku tanpamu, yaaa pesta selalu!”

Sekian dan terima cacian–juga cucian. []