Suatu malam sepulang dari bioskop, saya tidur sangat lelap. Pagi hari, ketika saya bangun, badan terasa ringan. Hati saya bahagia. Pagi jadi penuh semangat.
Tunggu dulu, kenapa pagi itu bisa begitu menyenangkan? Saya putar kembali ingatan semalam.

Semalam saya menonton sebuah film yang sangat bagus. Isi ceritanya sangat memanjakan imajinasi, menegangkan, sesekali lucu, dan membuat penasaran.
Lalu, kenapa begitu panjang lebar saya ceritakan hal ini? Sebab, kemudian saya teringat dua keponakan kecil saya –Alika dan Innara– dari dua orang tua yang berbeda.

Hari itu saya menginap di rumah Innara. Setiap pagi, selama saya menginap, Innara selalu terbangun dengan tersenyum. Turun sendiri dari kasur tempatnya tidur, lalu menuju ke dapur, menghampiri ibunya minta dipeluk.
Lain waktu, saya menginap di rumah Alika. Setiap pagi selama saya menginap, Alika selalu bangun pagi lalu menangis, merajuk, bahkan sekali waktu mengamuk.
Entah apa alasannya, orang tuanya hanya bilang, “Udah biasa, langganan tiap pagi,”. Dan setengah jam kemudian dia baru berhenti karena kelelahan.

Betapa berbeda budaya bangun pagi mereka. Kemudian, di kepala saya muncul pertanyaan “Kenapa?”
Lamat-lamat saya teringat, tentang kebiasaan keduanya waktu berangkat tidur. Ternyata keduanya punya kebiasaan yang amat berbeda.

Innara, si kecil yang bangun tidur dengan tersenyum, setiap malam selalu tidur dengan diantar oleh dongengan menyenangkan dari ayah-ibunya. Tidak perlu waktu lama menidurkan dia. Hanya lima menit bercerita, sisanya Innara ‘ngoceh’ sendiri. Beguling-guling di kasurnya, seolah-olah sedang memerankan satu-dua tokoh. Lalu, brukk! Sepuluh menit kemudian dia tidur lelap. Esoknya bangun dengan tersenyum.

Lain halnya dengan Alika. Sebelum tidur, dia sibuk dengan gawainya –bahkan, pernah sekai waktu kepalanya benjol karena tertimpa gawai selebar buku tulis. Bagaimana tidak? Tangan kecilnya tidak terlalu kuat menyangga gawai sebesar itu lama-lama. Posisinya selalu tengadah, jadilah gawai itu jatuh dan menimpa pelipisnya tanpa ampun–, untuk menidurkannya perlu waktu cukup lama.
Selain karena terlalu asyik menonton video-video kartun kesayangannya, Alika juga jadi tidak merasakan kantuk (Sebuah penelitian mengatakan bahwa sinar/ cahaya yang dihasilkan gawai akan mempengaruhi otak kita, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan rasa kantuk. Itulah kenapa para gamers bisa tahan tidak tidur sampai berhari-hari karena terus menatap layar komputernya).

Alika melakukannya. Ia bisa tidur kalau gawainya benar-benar mati (lowbat) atau karena sudah larut malam, akhirnya orang tuanya memilih mengambil gawai dengan paksa.

Bisa ditebak apa yang terjadi, gadis kecil itu meronta, merasa jengkel. Malam sebelum ia berangkat tidur jadi terasa kacau. Besok paginya, ia bangun dengan rasa yang mungkin masih meninggalkan dongkol.

(Bukan, bukan saya ingin mengatakan bahwa gawai berbahaya untuk anak-anak. Gawai harus dijauhkan dan dihindari. Bukan. Tetapi, kita, sebagai orang tua hendaknya bijak menggunakannya dan menetapkan batasan yang baik untuk anak-anak kita)

Dari kondisi bangun tidur pagi itu, saya seolah-olah memahami, betapa kisah yang menyenangkan, imajinasi yang dimanjakan akan memenuhi kebutuhan anak akan cerita. Sebab, mereka, anak-anak itu adalah makhluk yang ditakdirkan Tuhan sebagai homo fabulans atau makhluk penyuka cerita.

Dari sebuah buku, saya membaca sebuah fragmen:
“Cerita yang Anda pilih sama pentingnya dengan bagaimana Anda menceritakannya. Cerita itu harus memasukkan cukup aksi untuk menciptakan ketertarikan tanpa harus menstimulasi mereka secara berlebihan. Cerita itu juga perlu memiliki akhir yang memuaskan. Sebuah cerita seperti sebuah kado: saat mencapai akhir, anda harus menghubungkan segalanya, sehingga pendengar merasa bahagia dengan kesimpulannya dan bisa berlanjut ke cerita lain di waktu selanjutnya. Si kecil perlu menikmati dongeng dan kemudan beranjak ke alam mimpi dengan nyaman.” (Alison R. Davies, Mendongeng untuk Buah Hati).

Tidak perlu waktu yang panjang, cerita yang rumit, dan alat yang lengkap. Sederhana saja, cukup lima menit sebelum tidur menceritakan kisah-kisah ajaib pada anak-anak kita –justru membangun budaya bercerita sebelum tidur ini lah yang perlu waktu.

Selamat mendongeng sebelum tidur.
Tabik.[]