Oleh : Syaeful Cahyadi

(Founder TBM Dusun Jlegongan, Sleman, Yogyakarta)

“Salam literasi! Ayo membaca!” demikian kata-kata yang sering penulis dengar, terutama 4 tahun belakangan setelah bergelut dengan pengelolaan sebuah TBM. Di pertemuan forum taman baca, di perjumpaan dengan para murid sekolah, dan di berbagai kesempatan lainnya. Seakan, mengucapkan frasa tersebut di awal pembicaraan menjadi hukum wajib bagi mereka yang mendaku diri sebagai pegiat literasi.

Sekilas memang tidak ada  yang aneh dengan jargon tersebut. Toh, sebagai sebuah gerakan, literasi (dan produk-produk aktivisme turunannya) juga memerlukan sebuah jargon. Ini diperlukan sebagai sebuah identitas maupun sebagai sebuah slogan untuk menyatukan orang-orang yang terlibat  didalamnya. Di luar fungsi salam literasi sebagai sebuah jargon, pernahkah kita membayangkan apa yang ada di benak orang-orang yang berjumpa dengan kita saat mendengar frasa tersebut?

Penulis pernah bertanya kepada seorang kawan yang sama-sama pengelola TBM tentang tujuannya mengatakan “Salam literasi!” hampir di setiap pertemuan yang beririsan dengan TBM yang ia kelola. Ia mengatakan bahwa, dengan mengucapkan salam tersebut, ia berharap pemahaman masyarakat terhadap literasi akan semakin meningkat. Seorang kawan lain memberikan kesaksian yang lebih pragmatis-dramatis. “Lho, itu kan salam kita sebagai pegiat literasi, mas. Ya harus di pakai dong biar orang-orang tahu kalau kita pegiat literasi,” demikian ujarnya.

Sekali lagi, dua tujuan yang disampaikan rekan penulis di atas memang benar dan tepat – sebagai fungsi sebuah jargon. Tetapi, apakah mungkin pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait literasi hanya akan begitu saja membaik dengan semakin banyaknya orang yang rajin berkata “Salam literasi!”? Rasanya masih jauh sekam dari api.

Dari contoh-contoh kasus di atas, penulis merasakan ada sebuah ekslusivitas yang muncul dari frasa salam literasi yang sering kita gunakan. Saat seseorang mengatakan dengan bangga frasa tersebut, rasanya kemudian ada sebuah jurang pemisah antara ia dengan orang-orang disekitarnya. Ada sebuah ke-aku-an yang muncul secara tidak langsung; ini lho, aku seorang pegiat literasi. Ayo lah kita sama-sama bilang salam literasi.

Sementara, penulis melihat tidak banyak pengelola TBM dan mereka yang mendaku diri sebagai pegiat literasi yang mampu memberikan pemahaman secara komprehensif kepada masyarakat tentang apa itu literasi. Toh, dari pengalaman penulis sendiri, masih banyak pengelola TBM yang bingung dengan konteks literasi itu sendiri; seperti apa sih literasi itu, bagaimana sih biar kita  bisa berliterasi dengan tepat, apa sih perbedaan literasi dan pendidikan, dan lain sebagainya.

Jika dilihat secara tekstual, penggunaan salam literasi yang masif memang akan menyebarkan literasi secara lebih luas ke tengah-tengah masyarakat. Ya, luas, namun hanya sebatas tekstual, hanya sebatas mendengar. Orang-orang di sekitar kita mungkin akan familiar dengan kata literasi. Setidaknya saat ditanyai mereka bisa menjawan, “Oh iya, aku sering dengar itu dari si Fulan yang pengelola TBM di kampungku.” Namun, bagaimana dengan pemahaman mereka tentang literasi?

Pemahaman terhadap arti, konteks, dan definisi menurut penulis adalah sesuatu yang kadang luput dari perhatian kita sebagai pegiat literasi. Padahal, pemahaman tidak akan datang begitu saja hanya lewat jargon. Tanpa bermaksud menisbikan apa yang sudah kawan-kawan lakukan, tetapi literasi tetaplah sebuah kata baru yang rasanya masih asing bagi telinga kebanyakan orang di Indonesia. Itulah kenapa diperlukan sebuah upaya untuk menanamkan pemahaman supaya masyarakat tahu apa bedanya literasi dengan pendidikan secara umum. Apa bedanya literasi dengan aktivisme sosial lainnya.

Konteks lain yang terkadang kita lupa, jargon salam literasi adalah sebuah produk baru. Rasanya, frasa ini belum melewati baris waktu yang panjang dan membuatnya punya sebuah pengalaman empiris yang kuat. Jargon ini berbeda, dengan pekik merdeka ala Sukarno contohnya, yang saat Sukarno berteriak merdeka maka orang-orang yang mendengarnya akan langsung menyahut dengan pemahaman dan penghayatan yang telah terbangun kuat.

Lihatlah, bagaimana reaksi orang-orang ketika kita mengajak mereka mengucapkan salam literasi. Berapa banyak yang mengangkat tangan dan menunjukkan jempol serta telunjuk lalu sepenuh jiwa mengucapakan “Ayo membaca!”. Berapa banyak pula yang sekadar ikut-ikutan mengangkat tangan sembari menahan kantuk atau sibuk melihat layar gawai.

Literasi adalah sebuah gerakan yang mencakup berbagai hal didalamnya. Itulah kenapa ada yang namanya  enam literasi dasar, gerakan literasi sekolah, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah gerakan, literasi pun rasanya harus dilakukan secara menyeluruh pula. Sebab, literasi bukan hanya tentang gemar membaca. Bukan hanya tentang meningkatnya jumlah kunjungan di sebuah TBM. Atau, tentang seberapa banyak buku yang dikoleksi sebuah TBM.

Pemahaman-pemahaman seperti itulah yang sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat di sekitar sebuah TBM. Paling tidak, ketika mereka mendengar ada si tetangga memperkenalkan kata literasi, mereka akan paham apa saja yang bisa mereka dapatkan dan lakukan dengan literasi itu tadi. Menyebarkan secara tekstual tanpa menghadirkan pemahaman rasanya hanya akan membuat masyarakat bingung dan mungkin gagap dengan literasi itu sendiri.

Egois dan terlalu idealis rasanya jika kita datang ke sebuah kelompok masyarakat dan mengajak mereka mengucapkan salam literasi sembari menganggap mereka akan sadar tentang (gerakan) literasi. Sementara, kita tidak tahu masalah apa yang mungkin sudah memenuhi kehidupan mereka. Bayangkan saja, seorang petani yang sedang pusing karena gagal panen kemudian di ajak mengucapkan salam literasi sembari si pengajak berharap ia akan paham literasi dengan sendirinya. Hanya karena ia telah mendengar kata literasi. Hai bung, bisakah literasimu itu membuat panenku membaik?

Toh, secara pragmatis, di titik awal rasanya masyarakat tidak butuh salam literasi atau bahkan literasi itu sendiri. Yang lebih mereka butuhkan adalah adanya ruang-ruang sosial (termasuk TBM), para pengabdi masyarakat, dan orang-orang yang rela mengorbankan diri bagi kemajuan masyarakat di sekitarnya. Jika titik itu sudah dilewati, maka pemahaman literasi baru bisa dan nyaman untuk disampaikan. Baik lewat jargon, pemahaman, maupun kegiatan-kegiatan yang beririsan dengannya.

Jika pengenalan literasi dan pemahaman terhadap literasi bisa dilakukan beriringan, rasanya sebuah perubahan yang berangkat dari gerakan literasi akan tercipta. Jika saja dua hal itu bisa dilakukan secara menyeluruh, bukan tidak mungkin 10 tahun lagi kita akan melihat orang-orang memekikkan salam literasi dengan penuh penghayatan dan pemahaman, seperti saat orang-orang memekikkan merdeka di tahun-tahun awal Indonesia merdeka.