Pertanyaan Orang Tua tentang Kerelawanan Saya
Orang tua saya sempat mempertanyakan kegiatan di komunitas. Hampir sama seperti pertanyaan saya dulu, “Untuk apa berkegiatan seperti itu?” “Apa tidak mengganggu kuliahmu?” dan sederet pertanyaan ragu lainnya. Saya hanya tertegun, belum bisa menemukan jawaban yang kuat. Saya tunjukkan karya-karya saya di media masa, jawaban mereka kurang menyenangkan, “Itu kan sudah lazimnya kamu sebagai mahasiswa bahasa,”. Setelah itu, saya hanya bisa diam saja, tidak ingin menjawab pertanyaan mereka dengan kata-kata.
Sampai pada akhirnya, saya mendapat kesempatan untuk mengajar di Pattani, Thailand Selatan. Cuma saya satu-satunya dari kampus. Dan kesempatan itu diberikan oleh komunitas. Saya tersenyum lega, akhirnya saya bisa memberikan (paling tidak) satu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sekarang, orang tua saya mendukung penuh kegiatan kerelawanan yang saya lakukan. Hati saya lega. Semangat saya terus-menerus bertambah. Bahkan, sekali waktu mereka pernah menasihati saya agar istiqomah berproses dan jangan meninggalkan apa yang sedang kami perjuangkan.
Saya semakin semangat untuk istiqomah (konsisten) berkegiatan di komunitas ini dan menjadi relawan pustaka. Hebatnya, orang tua saya yang mulanya tidak pernah berpikir bahwa saya akan lanjut studi ke S2 jadi berpikir ke arah sana. Kami berdiskusi dan akhirnya saya lanjut studi.
Saya coba tunjukkan prestasi-prestasi yang bisa membuat mereka bangga. Perlahan, karya saya mulai dihargai. Saya mampu mendapatkan kompensasi dari tulisan-tulisan saya. Selain itu, beberapa kali saya diundang sebagi pembicara, dan menjuarai lomba-lomba maupun kompetisi. Baru-baru ini, saya diundang oleh sebuah penerbit buku mayor di Jakarta dan kebetulan buku saya juga akan diterbitkan di sana.
Dari sambungan telepon, saya bisa mendengar getaran rasa bahagia dari kata-kata mereka. Selain membuat mereka bangga, saya berharap adik saya belajar dari apa yang telah saya lakukan sejauh ini.
“Ketika satu per satu mimpi saya tercapai, saya tahu, Tuhan sedang mengabulkan doa Ibu satu per satu!” begitu kata saya pada Ibu. Belakangan, saya tahu dari Bapak, bahwa Ibu menangis haru setelah saya menutup sambungan telepon.
Manufer Cita-cita
Dulu, saya adalah orang yang paling tidak percaya diri ketika ditanya perihal cita-cita. Mau jadi apa saya kelak? Saya selalu menemui jalan buntu memikirkan masa depan. Kerap kali, cerita orang-orang membuat pikiran saya tentang cita-cita menjadi kelewat suram. Paling mentok, yang ada di pikiran saya adalah: menjadi guru, karena sudah terlanjut masuk ke jurusan pendidikan di kampus.
Tetapi, sekarang, jika Anda bertanya pada saya, “Apa cita-citamu?”
Saya akan menjawab mantap, “Sejahtera dari menulis!”
Cita-cita lain yang mungkin jarang orang miliki di dadanya adalah, “Menjadi penulis yang disayang penerbit mayor!”
Menulis buku adalah salah satu hal yang bisa saya lakukan untuk mengabdikan dan mengabadikan diri lewat ilmu pengetahuan. Saya berharap, buku-buku yang saya tulis bisa mencerdaskan putera-puteri negeri.
Bagaimana agar saya bisa menjaga mimpi dan cita-cita mulia itu? Jawabannya adalah dengan bergabung bersama orang-orang yang memiliki satu visi. Komunitas misalnya. Saya merasa beruntung, bisa bergabung bersama teman-teman relawan pustaka lainnya di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Sebab, menjaga semangat tidaklah mudah. Sebuah jalan yang begitu sepi. Pasang-surut persoalan kita, kawan-kawan di komunitas yang satu visi dan satu misi akan menjaga semangat kita tetap ada dan tumbuh.
Setidaknya, dalam proses belajar kami sebagai manusia sekaligus relawan pustaka, kami tidak hanya berguna bagi diri sendiri. Tetapi juga bagi orang lain. Belajar dari pengalaman masa kecil yang cukup sulit pada akses buku, saya ingin anak-anak di sekitar saya tidak lagi merasakan hal yang sama.[]