Oleh. Heri Maja Kelana

Energi Literasi dari Rumah (ELdR) adalah kegiatan bulanan dari Forum TBM, hadir ketika pandemi COVID-19 mulai masuk Indonesia. Kegiatan ini respon dari kami (Forum TBM) untuk terus bergerak meski dari rumah.

Energi Literasi dari Rumah kali ini mengangkat isu terhadap perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi yang terjadi pada anak dan remaja di lingkungan pendidikan.

“Isu dalam pendiskusian ini sangat penting untuk dibicarakan karena bersentuhan dengan garakan literasi yang kami lakukan” tutur Opik dalam pembukaan ELdR.

Opik pada pembukaan membicarakan mengenai keberadaan Forum TBM. Bahwa Forum TBM bukan hanya pengurus pada level nasional, melainkan ada pula pengurs wilayah, dan pengurus daerah. Jumlah anggota Forum TBM sebanyak 1500 an TBM yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Hal ini mampu bersinergi dengan banyak pihak terkait perundungan, bahwa anak-anak, remaja, serta orang tua yang setiap hari ada di TBM dapat diberikan pengertian mengenai perundungan serta bagaimana dapat mencegah perundungan di daerahnya.

“Teman-teman sebagaimana kita ketahui, beberapa bulan terakhir dihebohkan oleh kekerasan seksual, perundungan yang terjadi di lingkungan Pendidikan. TBM yang setiap hari bersentuhan dengan anak-anak, remaja, orang tua dalam urusan literasi, harus betul-betul memahami mengetahui bagaimana bentuk perundungan kemudian apa saja indikasi perundungan itu sampai upaya pencegahan, bahkan penyembuhan dari perundungan tersebut” pungkas Opik.

Apabila dulu perundungan hanya terjadi dalam bentuk fisik juga verbal, hari ini perundungan dengan media digital yang beredar hingga ke desa-desa, maka perundungan bisa terjadi dalam bentuk digital.

Isu dari perundungan ini sangat penting untuk diangkat pada kegiatan Energi Literasi dari Rumah, terlebh apa yang Opik sampaikan di atas, bahwa TBM setiap harinya bersentuhan dengan anak-anak, remaja, serta orang tua. Oleh karena itu, harus tahu mengenai segala bentuk perundungan yang terjadi di masyarakat.

Narasumber ELdR, Rabu (25/01/22) yang mengangkat tema “Kekerasan, Terjadi dan Terjadi Lagi” adalah Ian Lapoh M.R. Simarmata, M.E. dari Koordinator Tim Anti Perundungan Kemdikbud Ristek.

Dalam diskusi, Ian membahas mengenai perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi yang terjadi di Pendidikan.

Ian membuka pemaparannya dengan menampilkan video yang berdurasi kurang lebih 5 menit tentang presiden Joko Widodo yang memberikan intruksi mengenai pentingnya ideologi pancasila lebih dibumikan kembali.

“Kekuatan media sosial melalui internet sangat cepat menginternalisasi generasi muda kita. Baik dari sisi positif maupun dari sisi negatif” ucap Ian.

Pada paparan yang Ian tampilkan menunjukan data bahwa generasi milenial berada di internet sebanyak 8 jam 52 menit. Data statistik sensus penduduk dari 270, 20 juta jiwa penduduk Indonesia, 48 % adalah anak muda.

“Perundungan banyak terjadi berkisar usia 13 – 17 tahun. 41 % pelajar di Indonesia usia 15 tahun, pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan.“ ucap Ian yang terus bercerita mengenai perundungan di Indonesia.

Ian menambahkan, untuk tahun 2022 khusunya mengenai penanggulangan perundungan difokuskan pada jenjang SMP, SMA, dan SMK. Sedangkan informasi mengenai perundungan yang disebar di media, baik infografis, poster, foto, video dan lain sebagainya menyasar semua jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga mahasiswa.

Mas menteri Nadiem Makarim memberikan mandat, yang dituangkan dalam Renstra Kemdikbud, yaitu bagaimana mengkampanyekan profil pelajar pancasila yang mana terdapat 6 poin yang harus diamalkan di antaranya, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berakhlak mulia, mandiri, berpikir kritis, kreatif, bergotong royong, lalu yang terakhir adalah kebinekaan global.

Akar dari permasalahan terjadi perundungan ada dua, pertama mikro di mana kurang pengetahuannya atas bentuk-bentuk dan dampak perundungan, penonton (bystanders) yang tidak melakukan apa-apa, kurang keterlibatannya orang tua dalam mengurangi dan mengatasi perundungan, tradisi dan budaya yang membenarkan bullying seperti orientasi sekolah (ospek). Kemudian dari segi makro, ketidaktahuan atas Permendikbud 82 tahun 2015, kurikulum BK belum mencakup isu perundungan dan guru BK yang relatif masih kurang, mayoritas kasus perundungan tidak dilaporkan, dan tidak adanya survei nasional serta data base untuk memantau kasus perundungan.

Secara umum ada 4 bentuk utama perundungan, pertama perundungan verbal di mana mengatakan atau menuliskan sesuatu kepada korban yang sifatnya memalukan atau merendahkan. Kemudian perundungan sosial atau rasional, di mana merusak reputasi atau hubungan seseorang di lingkungan sosial tertentu. Lalu perundungan fisik, tindakan yang dilakukan dengan menyakiti korban secara fisik. Yang terakhir adalah perundungan daring (cyberbullying), penggunaan media sosial, pesan singkat, email, atau media digital untuk merendahkan atau mengucilkan seseorang.

Perundungan tidak hanya membawa dampak pada korban, namun juga dampak pada pihak-pihak lain yang terlibat. Dampak pertama tentu saja pada korban, di mana ia akan merasakan beragam dampak negatif seperti mental, emosional, serta fisik. Dampak dari mental dapat menimbulkan stres, depresi, bahkan bunuh diri.

Dampak selanjutnya terjadi pada pelaku, bahwa pelaku perundungan akan cenderung mudah marah, agresif, berwatak keras, kurang empati, dijauhi oleh orang lain, dll. Kemudian terakhir dampak bagi penonton, di mana penonton akan bergabung dengan pelaku karena takut menjadi sasaran berikutnya.

Selain perundungan, kekerasan seksual juga yang sering terjadi di lingkungan Pendidikan, ada 80% dari kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020). Dari kasusu yang diadukan, 27 % universitas, 19 % pesantren atau pendidikan berbasis islam, 15 % SMA/SMK, 7 % tingkat SMP, dan terakhir TK, SD, SLB dan pendidikan berbasis kristen sebanyak 12%.

Dari banyaknya kasus kekerasan seksual, strategi dari Tim Anti Perundungan Kemdikbud Ristek memberikan langkah-langkah dalam mencegah di antaranya, bimbingan teknis, lomba aksi nyata, iklan layanan masyarakat, podcast, siaran radio, hingga talkshow. Selain itu, pada tataran kebijakan membuat Kepmen No. 74/P/2021 tentang Pengakuan SKS Pembelajaran Program Kampus Merdeka, Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS), Integrasi kanal pengaduan melalui LAPOR!, dll.

Yang terakhir adalah intoleransi. Indonesia belakangan ini juga darurat intoleransi. Banyak kasus terjadi belakangan yang dilatarbelakangi oleh intoleransi.

Indonesia yang memiliki beragam suku, agama, serta ras, seharusnya memberikan contoh yang baik mengenai toleransi. Pancasila mengajarkan untuk toleransi, bersatu, saling menghargai satu sama lain. Pancasila sebagai ideologi sudah harus merasuk pada masyarakat. Oleh karena itu, perlu di bumikan kembali pemahaman serta ideologi pancasila melalui mata pelajaran. Sehingga nantinya, mampu menunjukan empati terhadap isu sosial di masyarakat dan keinginan untuk memberikan solusi sebagai wujud dari ketaqwaan, religiusitas, rasa cinta, tanggung jawab, dan rasa kemanusiaan.

Kemudian dalam kewarganegaraan, mampu menggagas alternatif solusi yang dipilih melalui kontribusi, peran nyata di masyarakat dan taat hukum yang diwujudkan dalam proyek sosial.

Perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi yang terjadi di lingkungan pendidikan Indonesia belakangan ini, semoga dapat segera teratasi dengan adanya sinergitas antara pemangku kebijakan serta masyaraat di mana di dalamnya terdapat orang tua.

Taman Bacaan Masyaraat yang di dalamnya terdapat anak, remaja, serta orang tua juga membantu dalam memberikan pemahaman terkait perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi.

Forum TBM melalui program Energi Literasi dari Rumah ini yang mengangkat isu perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi mengajak seluruh anggota TBM yang tersebar dari Sabang hingga Merauke untuk faham dan memahami materi terhadap perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi, supaya tidak terjadi di lingkungan TBM. Lebih dari itu, dapat mencegah bahkan menyembuhkan korban.