Di Banten, kita mengenal Syech Nawawi al-Bantani yang karyanya begitu banyak dan termasyur; menjadi referensi dari pelbagai belahan negara. Dari ulama inilah sebagian intelektual dunia mengenal Banten karena namanya. Di sisi lain, Banten, wabil khusus Rangkasbitung juga dikenal oleh dunia karena seorang Belanda bernama Max Havelaar alias Multatuli, menuliskan kesewenang-wenangan Adipati Kartanatanegara yang kemudian memicu politik etis. Dua contoh ini membuktikan bahwa tulisan tidak hanya berdampak pada pembaca. Lebih jauh dari itu, tulisan bisa menggema ke masa depan hingga ratusan tahun lamanya dan menginspirasi banyak orang untuk melakukan tindakan tertentu.

Keajaiban teks literer tentu tidak bisa kita bantah keberadaannya. Namun, siapakah yang merayakan keajaiban itu? Jawabannya adalah kelas intelektual, masyarakat kelas menengah ke atas yang sudah tercerahkan dan tiba-tiba kadang menjadi pelit dengan ilmu pengetahuan yang didapatnya. Lalu bagaimanakah dengan kondisi kelas bawah? Jangankan untuk mengakses bahan bacaan, mengakses ilmu pengetahuan di sekolahpun nyaris sempoyongan kendati Negara telah hadir dengan Program Wajib belajarnya itu. Masyarakat kelas bawah masih harus berjibaku dengan perutnya dan secara umum, kaum literat akan nyaman mengakses bacaan ketika urusan ekonomi dianggap selesai. Sementara kita tahu bersama, di tahun ini, pengangguran terbuka di provinsi Banten mencapai puncaknya dengan menjadi ranking ke-2 secara nasional, hanya satu tingkat lebih baik dibandingkan dengan Maluku. Ironisnya Banten adalah tetangga Ibukota Negara dan ada lebih dari empat belas ribu industri di Banten ini.

Lepas dari semua itu, saya masih percaya bahwa masih banyak kaum intelektual di Banten ini yang masih peduli dengan pendidikan. Terbukti, kampus-kampus baik negeri maupun suasta kian menjamur. Potensi perkembangan intelektual di Banten kini sudah sangat menggembirakan dan jika saja dirancang dengan apik, gelombang intelektual di Banten akan sangat menjanjikan. Hampir tiap semester, kampus-kampus di Banten mewisuda para sarjana. Ribuan jumlahnya.

Namun apalah gunanya gelombang intelektual itu jika tak terkonkretiasi dalam sebuah gerakan. Maksud saya, sudah seharusnya para intelektual turun ke bawah (Turba) menginisiasi ilmu pengetahuannya untuk disebar kepada masyarakat yang belum bisa mengaksesnya. Cara-cara semacam ini mungkin terdengar sumir; pada kenyataannya sudah terlihat komunitas-komunitas literer yang diam-diam mengadvokasi masyarakat dalam bentuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Cara yang mungkin sederhana, tetapi berdampak.

Mengapa TBM?
TBM harus dibedakan dengan Perpustakaan Umum yang diinisasi oleh pemerintah. Secara formal, TBM memang diakui sebagai perpustakaan, karena itulah TBM tercatat di dalam Undang-Undang No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, namun secara substantif dan melihat perkembangan di masyarakat, TBM telah berubah fungsi sebagai pusat belajar masyarakat. Hal ini terjadi karena ada tuntutan dari publik dan juga didasari oleh keterpanggilan dan kesadaran para pengelola TBM yang menginginkan agar di tempat tersebut terjadi barter ilmu pengetahuan. Dengan kemandirian dan independensi, TBM sangat dimungkinkan untuk menjadi ruang peradaban baru di desa-desa yang melahirkan intelektual nonakademik dari keterbacaan mereka.

Pada tahun 2000-an, Gol A Gong dan Toto ST Radik, penulis yang cukup disegani di Indonesia, mendirikan Rumah Dunia, sebuah TBM yang berbasis pada dunia tulis menulis dan kesenian. Selain itu, di awal pendiriannya, Rumah Dunia membuat sebuah program “RD Goes To School” yang mencoba untuk mendatangi sekolah-sekolah untuk menginisiasi dan ikut terlibat dalam gerakan literasi. Konsistensi Rumah Dunia di ranah pendidikan Nonformal dengan memunculkan “Gerakan Banten membaca” menjadi inspirasi dari pelbagai pihak, sehingga TBM di Banten kian menjamur. Hingga kini sudah tercatat sekitar 400 TBM bermunculan dengan beragam keunikannya. TBM telah menjadi avant garde gerakan literasi di Banten. Potensi ini jelas memberikan harapan baru bagi generasi literer di Banten.

Terkait dengan gerakan literasi, pada tahun 2006, Banten pernah membuat terobosan yang unik yaitu mengumpulkan 19.480 eksemplar buku dalam sehari. Kegiatan ini tercatat sebagai rekor Muri dan belum terpecahkan hingga kini. Kolaborasi antara Pemda Banten dan para pegiat literasi waktu itu terlihat cukup baik. Dengan segala keterbatasan, institusi pemerintah dan para pegiat literasi berusaha untuk ikut terlibat dalam menginisiasi budaya membaca di Banten. Selain Rumah Dunia, TBM Kedai Proses dan TBM Sumlor di Lebak pernah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai TBM Kreatif. Pengakuan semacam ini menjadi bukti konkret bahwa TBM di Banten cukup diperhitungkan perkembangannya di Indonesia. Bahkan pada tahun 2015, Banten pernah mendapatkan penghargaan Anugerah Aksara Utama, sebuah penghargaan tertinggi dalam usaha Pemberantasan Buta Aksara. Pada tahun yang sama, Banten pernah mendeklarasikan “Gerakan Banten Membaca” dengan program 1 desa 1 TBM untuk pendidikan nonformal dan Gerakan Literasi Sekolah, yang menginisasi agar sekolah-sekolah di Banten menjadikan perpustakaan sebagai jantung pendidikan.

1000 Perpustakaan
Terobosan terbaru yang dinanti-nanti oleh masyarakat Banten adalah direalisasikannya janji Gubernur terpilih untuk mendirikan 1000 perpustakaan di Banten. Hal ini tentu akan menambah energi bagi para pegiat literasi dan masyarakat Banten yang sangat mendambakan kehadiran perpustakaan yang menyebar. Selama ini, perpustakaan yang representatif hanya bisa ditemukan di kota saja, sementara masyarakat desa kesulitan untuk mengakses perpustakaan umum yang representatif. Walau terkesan bombastis, namun kehadiran 1000 perpustakaan kelak akan “mengubah” wajah Banten. Jika terrealisasi dan dibagi rata per-kabupaten kota di Banten, berarti akan ada 125 perpustakaan tiap wilayahnya.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada dialog terbuka yang membahas mengenai pembangunan 1000 perpustakaan ini. Dewan Perpustakaan yang baru didirikan pun belum sempat melakukan pembahasan secara terbuka, padahal gagasan semacam ini harusnya disambut hangat sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi dan terlibat di dalam pendiriannya. Secara pribadi saya juga belum memiliki gambaran utuh mengenai proyek ini. Jika boleh membayangkan, saya berharap agar pendirian perpustakaan ini bukan untuk perpustakaan sekolah. Selain akses yang sangat terbatas bagi masyarakat, perpustakaan sekolah sebetulnya sudah diwajibkan pendiriannya, bahkan di dalam UU Perpustakaan, sekolah wajib mengalokasikan lima persen dari dana Bantuan Operasional Sekolah. Maka pendirian 1000 perpustakaan harus didirikan di tempat yang representatif terutama di pusat desa dan manajemen TBM bisa diadopsi untuk menjadikan perpustakaan tersebut sebagai pusat pembelajaran masyarakat. Dengan demikian masyarakat desa lebih mudah untuk mengakses bahan bacaan dan bisa belajar bersama di tempat tersebut. Agar tata kelola perpustakaan menjadi lebih profesional, maka disinilah tugas Dinas Perpustakaan berfungsi. Mereka harus berani merekrut masyarakat sekitar dan mengadvokasi masyarakat setempat untuk diberikan ilmu manajerial mengenai perpustakaan mulai dari perawatan hingga tata cara sirkulasi. Sementara untuk keberlanjutan dari pendirian perpustakaan bisa dialokasikan dari dana desa.

Pada praktiknya, membangun perpustakaan secara fisik jelas berbeda dengan mendirikan perpustakaan sebagai sentra budaya baca. Artinya kita harus berani memposisikan diri bahwa membangun perpustakaan adalah membangun cara berpikir yang kritis, logis melalui akses bacaan sehingga masyarakat tercerdaskan dan tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan. Dengan pendirian 1000 perpustakaan kelak, ini adalah upaya estafet yang cukup membahagiakan dan menjadi investasi intelektual jangka panjang sehingga gerakan literasi di Banten kian mengakar dan terus tumbuh. Percayalah, Syech Nawawi dan Multatuli akan ikut bahagia.

Tanah Air, 2017