Aku tertawa sendiri di atas kursi. Ketika tubuh merebahkan diri. Dikira hanya aku dan beberapa kawan yang bicara sebelum janari. Pada detik-detik seekor burung membuka kedua sayapnya dan terbang entah menuju langit yang mana. Lamat-lamat suara gagah menelusuk dinding kamar sebelah. Tidak jauh dari kami yang mulai bertumbangan di ruang tengah. Ya, kami berada di sebuah tempat usaha seorang kawan. Ia menyilakan kami untuk istirahat sebelum meneruskan perjalanan.

Suara itu sangat gagah hingga membentur-bentur pada dinding dadaku yang denyut jantungnya melemah. Begitu juga paru-paru yang tenaganya berkurang untuk mengirimkan oksigen yang dibawa sel merah. Tidak aneh jika kawan-kawan selalu berkata, “Kamu lemas sekali!” saban hari.

“Si A, jika menurut pada partai anu, tentu saja didukung. Sayang, si A itu bengal tidak menggubris saran saya,” kata salah satu suara .

Suara itu benar-benar gagah hingga orang lain dianggapnya selalu salah. Tidak ada sedikit jarak pun, orang-orang yang memagari kehidupannya berada pada halaman kebenaran. Barangkali ia tidak ingin berada di bawah lawan bicaranya yang masih bertahan. Sedang seekor burung masih muyung, belum bersedia membuka kedua sayapnya untuk terbang ke langit biasanya.

“Begitu juga si B, malah mengulur-ngulur kesepakatan, Nya, ku aing ge moal dibere celah ari kitu mah!” lanjut suara itu.

“Ya, ya, ya…” jawab suara lain yang sedari awal memanggut-manggutkan kepalanya.

Padahal dua kali adzan telah berkumandang mulai dari pertigaan malam hingga sebelum fajar menjelang. Suara-suara itu masih gagah seperti awal terdengar membentur dinding dada yang jantungnya melemah.

“Dengan menyalahkan orang lain, itu artinya kamu berperan sebagai korban. Di dunia ini sudah banyak orang yang menjadi korban, ketika mereka sebenarnya bisa menyumbangkan kecerdasannya dan membuat perubahan berarti,” Nasihat maulana kepada ‘Aku’ pada halaman 34, dalam buku “Kitab Maulana” yang ditulis Bambang Qomaruzzaman.

“Jika setiap orang menyapu langkahnya sendiri, seluruh dunia akan bersih! Jadi kerjakan bagian Anda. Hari ini. Sekarang juga…” lanjut Maulana yang menyambung pada halaman 35.

Ngomong-ngomong, suara-suara yang menyalak tidak lagi terbentur pada dinding dada. Lenyap setelah 24 jam berlalu meninggalkan tempat singgah seorang kawan. Maulana tiba-tiba menasihati si ‘Aku’ yang selalu bertanya. Kali ini Maulana menjelaskan pertanyaan tentang dosa terbesar. Maulana menghentikan langkahnya, memandangi-‘ku’, seraya menjawab, “Menilai orang lain sebagai pendosa”.

Si ‘Aku’ sebenarnya belum berkenalan dengan aku sendiri, tetapi suatu hari ketika tulisan ini mulai diketik, perkenalan mulai dijajaki. Hanya saja, aku mulai mendengar suara gagah yang lain di tempat berbeda. Ia menyeka mulutnya yang dilumuri ludah amarahnya. Menyesap secangkir kopi dan disemburkan pada dinding sebuah ruang karena tersedak kata-katanya sendiri. O, ya, aku hampir lupa menjelaskan bahwa seekor burung itu adalah kesadaran.[]