Oleh. Atep Kurnia*
Sejak dulu di Tatar Sunda, penentuan masuknya bulan Ramadan ditentukan dengan perhitungan (hisab) dan terlihatnya bulan (rukyat). Mengenai hal ini antara lain saya membaca polemik Soetisna Sendjaja, ketua Nahdlatul Ulama (NU) Tasikmalaya, dengan D.K. Ardiwinata, pegawai Raad Agama Kabupaten Bandung, dalam Sipatahoenan tahun 1935.
Soetisna (“Raad Agama”, Sipatahoenan, 24 Desember 1934) memulai tulisannya dengan kasus perbedaan hari pertama berpuasa (“koe kadjadian retjolna poeasa sareng boentoetna hal eta”). Ia menyebut-nyebut keputusan penghulu kepala Tasikmalaya pada 14 Desember 1924 yang antara lain menyatakan “Roejat beunang netepkeun hakim Tasikmalaja koedoe ditoeroet” (Rukyat hasil menetapkan hakim Tasikmalaya harus diikuti). Soetisna menulis lagi artikel bertajuk “Raad Agama” dalam Sipatahoenan edisi 24 Januari 1935.
Namun, yang membuatnya bekerut kening adalah butir keempat keputusan penghulu, yaitu “Saha-saha noe henteu poeasa poe Djoemaah bareng djeung panetepanana hakim eta djalma doraka sarta wadjib qodo” (Barang siapa yang tidak berpuasa pada hari Jum’at sesuai penetapan [hakim Tasikmalaya] maka orang yang bersangkutan durhaka dan wajib qada).
Sementara D.K. Ardiwinata menulis artikel “Raad-Agama” (Sipatahoenan, 5 Februari 1935). Ia antara lain menyebutkan “Ari beda nanggalkeun poeasa di nagara ieu djeung nagara itoe mah geus biasa ti baheula, kawasna saban-saban taoen bae, sabab di nagara ieu aja noe bisa nendjo boelan, ari di nagara itoe mah teu aja, oepamana. Toeroeg-toeroeg tina perkara nanggalkeun boelan mah memang ti baheula oge oelama teh geus djadi doea partij: anoe ngoeatkeun kana hisab reudjeung anoe ngoeatkeun kana roejat”.
Artinya, perbedaan penanggalan puasa di negara ini dan negara itu sudah jamak sejak dulu kala. Agaknya berlangsung setiap tahun, sebab di negara ini sudah dapat melihat bulan, sementara di negara itu tidak terlihat bulan, misalnya. Apalagi dalam perkara penanggalan bulan memang sejak dulu ulama sudah terbagi menjadi dua pihak: ada yang memperkuat kepada hisab dan ada yang memperkuat kepada rukyat.
Intinya, ada perbedaan pendapat antara Soetisna dan Ardiwinata dalam soal siapa yang berhak menentukan masuknya bulan Ramadan. Karena polemik tersebut terus berlangsung. Ardiwinata sempat melontarkan pernyataan bahwa “poeasa noeroetkeun hisab bener, roe’jat bener” (Puasa menurut hasil hisab benar, dan hasil rukyat pun benar”). Sedangkan pada tulisan penutup polemik (“Raad Agama [Panoetoep]” dalam Sipatahoenan, 28 Maret 1935), Soetisna antara lain menyatakan pendapat Ardiwinata tentang pekerjaan penghulu, “di antarana roe’jat sareng atoeran zakat pitrah anoe geus kabiasaan di Priangan” (di antaranya rukyat dan aturan zakat fitrah yang sudah menjadi kebiasaan di Priangan).
Praktik hisab, antara lain, dapat disimak dari keputusan Raad Agama Kabupaten Majalengka saat memutuskan mulai berpuasa tahun 1356 Hijriah/1937 Masehi dalam Sipatahoenan edisi 16 Oktober 1937. Di situ antara lain dikatakan, “Tg. 1 Sja’ban 1356 dina sore malem Rebo (6 Oct. ’37), ngawitan boelan Poeasa powe Djoem’ah (5 November ’37) sakitoe oge moen teu roe’jat (nendjo boelan) dina sore malem Kemis. Demi lebaranana dina powe Ahad (5 December ’37) moen teu roe’jat sore malem Saptoe” (Tanggal 1 Syaban 1356 pada sore malam Rabu [6 Oktober 1937), mulai masuk bulan Ramadan hari Jum’at [5 November 1937], itupun bila tidak rukyat [melihat bulan] pada sore malam Kamis. Sementara lebarannya jatuh pada hari Minggu [5 Desember 1937]). Demikian pula yang diputuskan oleh Raad Agama Bogor pada tanggal 7 Oktober 1937 (Sipatahoenan, 22 Oktober 1937).
Setahun kemudian, Congres PPDP (Perhimpoenan Penghoeloe dan Pegawainja) terkait Puasa dan Idulfitri tahun 1938 menetapkan “Mimiti poeasa taoen Hidjriah 1357 (taoen ieu) ninggang dina powe Salasa tanggal 25 October 1938, ari lebaran Idulfitri ninggang dina powe Kemis tanggal 24 November 1938, kadjaba lamoen aja roejat (bisa ningal tanggal) dina samemehna” (Mulai puasa tahun Hijriah 1357 [tahun sekarang] jatuh pada hari Selasa tanggal 25 Oktober 1938, sedangkan lebaran Idulfitri jatuh pada hari Kamis tanggal 24 November 1938, kecuali bila ada rukyat [dapat melihat tanggal] sebelumnya) (Sipatahoenan, 23 Agustus 1938).
Perbedaan hari dimulainya puasa Ramadan dengan kocak oleh Rachmatullah Ading Affandie (RAF) dalam Dongeng Enteng ti Pasantren (1961, 1998). Pada paragraf pertama tulisan “Poe Kahiji” (hari pertama), RAF menulis, “Padahal mah ngan kahalangan ku sawah Madhari kampung teh. Maksud teh, kampung pasantren kuring jeung kampung tatangga. Tapi naha atuh, ari mimitina Puasa henteu sarua?” (Padahal kampung itu hanya terhalang dengan sawah milik Madhari. Maksudku, kampung tempat pesantren saya berada dengan kampung tetangga. Tetapi mengapa hari pertama berpuasanya tidak sama?).
Menurut RAF, orang yang menentukan saat masuknya waktu puasa atau lebaran di kampung adalah kiai (“di kampung mah nu nangtukeun mimiti Puasa atawa Lebaran teh Ajengan ‘pamingpin’ pasantren”). . Baik melalui hisab maupun rukyat. Keputusan kiai kemudian diikuti masyarakat sekampung. Oleh karena itu, atas keputusan kiai, yang misalnya ternyata disampaikan sehabis Isya menyebabkan banyak perempuan berkeramas malam-malam (“Loba nu peuting-peuting kuramas awewe mah. Da beja yen puasa isuk teh bada Isa”).
Keadaan itu pula yang menyebabkan selisih sehari mulainya puasa dengan kampung tetangga, tempat tokoh “kuring” (saya) nyantri. Beduk tanda masuknya puasa telah ditabuh. Itu artinya keesokan harinya harus berpuasa. Tokoh “kuring” dan temannya yang akan botram (pesta makanan di alam terbuka) sebelum puasa, terperanjat. Tetapi mereka menyiasatinya dengan pergi ke kampung tetangga yang belum berpuasa. Karena menurut kiai, bila kita bepergian ke suatu tempat yang hari itu belum berpuasa, tapi keesokan harinya, kita boleh tidak berpuasa, sebab taklid kepada orang kampung tersebut. Dengan syarat, pergi dari pagi hingga selepas asar.
Esok harinya, tokoh “kuring” dan teman-temannya memancing ikan di kolam milik sang kiai. Setelah mendapatkan ikan, mereka menuju kampung yang belum berpuasa tersebut. Mereka memasak ikan, makan, dan tiduran. Selepas asar, barulah pulang ke pesantren.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang