Bahasa tuduh makin mudah direproduksi atau diulang-ulang di media sosial hingga menjadi ujaran kebencian yang diarahkan untuk mencapai target tertentu. Penggerak literasi Maman Suherman (52) menaruh kekhawatiran terhadap ujaran kebencian yang dimanfaatkan untuk memenangi pemilihan kepala daerah hingga presiden akan melahirkan anak haram demokrasi, yaitu permusuhan abadi di antara masyarakat pendukung yang menang dan kalah.
Maman meyakini betul bahasa tuduh di dalam ujaran kebencian itu harus dilawan dengan menghidupkan literasi. Menghidupkan literasi inilah jalan keluar untuk merawat demokrasi yang menjamin kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, hingga kebebasan dalam berpolitik.
Menghidupkan literasi menawarkan dialog yang bermartabat. Menghidupkan literasi menangkal lahirnya anak haram demokrasi.
Bagaimana cara menghidupkan literasi sebagai jalan keluar dari persoalan ujaran kebencian yang kini kian merebak melalui media sosial? Berikut petikan wawancara dengan Maman Suherman, Rabu (15/11), di Jakarta.
Apa yang dimaksud dengan literasi?
Literasi bukan hanya persoalan membaca dan menulis. Literasi bukan semata mengatasi persoalan buta huruf. Dalam berbagai pelatihan jurnalistik dan kepenulisan, saya selalu mengutarakan ada enam literasi dasar. Keenam literasi dasar itu mencakup literasi baca tulis, numeral, digital, finansial, sains dasar, serta budaya dan keragaman.
Apakah yang menjadi hal terpenting dari literasi-literasi dasar tersebut?
Tahu target. Kita harus tahu target untuk mengenal dan menghidupkan literasi-literasi tersebut. Misalnya, pada generasi milenial yang tidak suka dengan pekerjaan rutinitas. Generasi milenial yang “malas”, seperti malas berbelanja di pasar konvensional lalu beralih belanja online (daring). Generasi milenial melihat kemudahan dalam berbelanja daring, kemudian dari sinilah bisa tergerak untuk menghidupkan literasi digital dan literasi finansial. Generasi milenial yang beralih belanja daring menjadi lihai juga berjualan secara daring. Di sinilah, generasi milenial menghidupkan literasi digital dan literasi finansial setelah tahu target.
Dari sebuah survei, 60 persen generasi milenial itu belanja gadget (gawai) melalui online.
Bagaimana dengan minat baca yang masih rendah?
Inilah yang terpenting di dalam gerakan menghidupkan literasi, yaitu memiliki minat membaca. Berdasar data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia memiliki nilai 0,001. Ini artinya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya ada satu orang yang benar-benar memiliki minat baca. Kemudian peringkat minat baca dari survei 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60.
Saya selalu mengajak orang untuk membaca. Saya sendiri selalu membaca buku. Dalam tiga hari selalu menyelesaikan satu buku. Buku yang dibaca, karena melalui buku kita memperoleh kedalaman. Melalui buku, ada suatu dialog dengan penulisnya. Membaca buku berbeda dengan membaca teks di internet atau media sosial. Kuncinya, di dalam membaca bisa ada verifikasi dan konfirmasi. Ketika tidak mengetahui maksud bacaan di dalam buku, verifikasi dan konfirmasi bisa dilakukan dengan cara membaca ulang teks-teks lainnya di dalam buku.
Fenomena yang terjadi di media sosial, kerap kali orang membaca tanpa kemampuan verifikasi dan konfirmasi. Kemudian dari bacaan itu membuat tulisan atau tanggapan terhadap suatu masalah. Di sinilah sering menimbulkan bahasa tuduh, kemudian menjadi ujaran kebencian di media sosial.
Bagaimana tidak, kita memiliki minat baca rendah, tetapi masyarakatnya tergolong yang paling cerewet. Ini bisa dilihat melalui tingkat penggunaan media sosial seperti Facebook. Kita termasuk yang paling tinggi di dunia. Ketika minat baca rendah, dan tingkat cerewetnya tinggi, kita bisa tahu yang dicerewetkan itu apa isinya.
Apa yang membuat minat baca masyarakat rendah?
Akses terhadap buku bacaan yang kurang memadai. Belum lagi tentang akses mendapatkan isi atau kualitas buku bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena itulah, saya terlibat di dalam gerakan rumah literasi yang bertujuan agar buku yang menjemput pembaca. Artinya, di beberapa daerah saya terlibat mendorong gerakan buku menjemput pembacanya. Ini dengan menghadirkan buku ke tengah-tengah masyarakat.
Seperti di Purbalingga, Jawa Tengah. Saya mendukung dengan menyalurkan buku-buku bacaan kepada salah satu penggerak literasi masyarakat setempat. Sehari-hari orang itu bekerja dengan menawarkan hiburan naik kuda untuk berkeliling menikmati pemandangan kaki Gunung Slamet. Ketika sepi wisatawan, ia mengangkut buku-buku dengan kudanya ke desa-desa dan mengajak anak-anak untuk membaca buku.
Di Mandar, Sulawesi Barat, saya membantu menyalurkan buku-buku kepada penggerak literasi dari masyarakat setempat. Buku-buku itu dibawa dengan perahu menuju pulau-pulau kecil. Kemudian anak-anak pulau itu membacanya.
Belum lama ini, saya membantu menyalurkan sejumlah dana dari komunitas ibu-ibu di wilayah Jakarta Barat untuk membeli lagi sebuah kapal di Mandar. Kapal itu untuk membawa buku-buku ke pulau-pulau di sekitarnya.
Untuk gerakan literasi seperti ini, banyak orang mau peduli. Tetapi, mereka tidak tahu atau tidak punya saluran untuk kepedulian itu.
Ketika membaca buku-buku, bacaan apa yang disarankan?
Saya selalu mengajak orang untuk membaca, tetapi tahu target. Seperti di Jepara, masyarakat banyak yang bergerak di bidang usaha kayu atau furnitur. Saya mengajak mereka untuk membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan bidang usaha mereka.
Selain itu, Jepara memiliki ibu literasi, yaitu Kartini. Saya mengajak masyarakat Jepara untuk benar-benar menjaga reputasi itu dengan menghidupkan literasi. Jepara harus melanjutkan citra-cita Kartini. Mereka sekarang sudah membangun Rumah Literasi Jepara.
Di sini, saya selalu mengemukakan tiga hal penting mengenai penyediaan bahan-bahan literasi. Yang pertama, literasi teknis yang berisikan bahan bacaan sekadar untuk dibaca atau untuk bahan menulis. Kedua, literasi fungsional. Di sini penyediaan bahan-bahan literasi itu menunjang kebutuhan target pembacanya. Misalnya, untuk masyarakat pertanian dengan menyediakan buku-buku pertanian, atau buku-buku kelautan untuk masyarakat pesisir.
Yang ketiga, literasi budaya. Ini mengenai buku yang sudah menjadi kebutuhan. Penggerak literasi di sini harus memiliki kemampuan untuk bisa menghidupkan buku.
Apa contohnya?
Di Palembang. Ada penggerak literasi yang menghidupkan buku sastra melalui kegiatan membaca puisi. Di Mandar, dari buku-buku tentang kelautan, akhirnya dapat membuat museum maritim. Di Gorontalo, juga melalui gerakan literasi diadakan kegiatan baca puisi bersama. Lokasinya dipilih di suatu keramaian yang dipenuhi kendaraan bentor atau becak motor yang selalu bising.
Bentor-bentor itu memiliki pemutar musik dan selalu menyetelnya kencang. Ketika mengetahui ada baca puisi, pengemudi bentor tidak lagi menyetel musiknya keras-keras.
Bagaimana dengan bacaan yang ada di internet atau media sosial?
Tetap saja, verifikasi dan konfirmasi itu sebagai kata kunci di dalam literasi.
Sikap apa yang harus dimiliki pada saat membaca informasi di media sosial?
Harus mempunyai kemampuan membedakan di antara “katanya” dan “nyatanya”. Contohnya, kutipan tentang orang beropini, memang ini menjadi fakta. Tetapi, isi opini orang tersebut belum tentu fakta. Di sinilah kemampuan membedakan antara “katanya” dan “nyatanya” itu menjadi penting.
Juga mengenali perlakuan terhadap media sosial. Ini sangat penting untuk tahu perbedaan antara yang bersifat pribadi atau sosial. Ada suatu pengalaman, ketika seorang murid mengunggah gosip tentang keburukan gurunya di media sosial. Kemudian guru itu mengetahuinya dan ini menjadi persoalan. Di sinilah letak penting mengetahui fungsi media sosial itu bukan bersifat pribadi.
Bagaimana sebaiknya menulis di media sosial?
Saya sering menyinggung ada 5 R yang harus dipatuhi untuk menulis di media sosial. Yang pertama, R di dalam iqra. Iqra berarti membaca. Membaca di sini, yang dibaca adalah buku. Karena membaca buku itu dapat memverifikasi dan mengonfirmasi. Membaca buku seperti berdialog dengan penulisnya. Dengan kebiasaan membaca buku, tidak akan begitu mudah berkomentar di media sosial sebelum mampu membuat verifikasi dan konfirmasi.
Kedua, riset. Ketiga, reliabilitas atau keyakinan untuk menulis sesuatu tidak salah. Keempat, reflecting atau bermakna reflektif. Caranya, menulis sesuatu dengan sudut pandang yang disepakati bersama dalam melihat suatu masalah. Baru kelima, R di dalam write atau menulis yang benar.
Di dalam menulis di media sosial, ada tiga saringan, yaitu benar, baik, dan bermanfaat.
Bagaimana dengan ujaran kebencian yang banyak ditulis di media sosial?
Iya, sekarang ini bahasa tuduh digampangkan hingga menjadi ujaran kebencian di media sosial. Bahasa tuduh itu diduplikasi, dimanipulasi, kemudian diulang-ulang terus-menerus supaya dianggap sebagai kebenaran dan ini menjadi bahaya. Bahayanya lagi, ada orang yang bisa hidup dengan cara seperti itu. Mereka sampai memiliki jargon “dosa kami tanggung” melalui bisnis mereproduksi bahasa tuduh menjadi ujaran kebencian untuk mencapai target politik tertentu.
Bayangkan, di tahun 2018 nanti kita akan menghadapi sebanyak 171 pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Ujaran kebencian melalui media sosial akan selalu muncul untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ujaran-ujaran kebencian yang dibiarkan dan diulang-ulang itu nanti bisa menjadi suatu kebenaran.
Ujaran kebencian di dalam pilkada bisa melahirkan anak haram demokrasi, yaitu permusuhan abadi di antara masyarakat pendukung yang menang dan kalah.
Untuk menghadapi ujaran-ujaran kebencian, kita harus memiliki jalan keluar. Salah satu jalan keluarnya, mari kita menghidupkan literasi.
Masyarakat literer atau berliterasi itu memiliki kemampuan membaca, kemudian memikirkan dan mengolahnya. Ketika ingin menuliskan hasil pengolahannya, bisa menulis dengan benar, baik, dan bermanfaat. Pada akhirnya, masyarakat literer selalu mampu membuka ruang-ruang dialog bermartabat.[]
*) Baca juga pada Kompas Cetak, Sabtu 18 November 2017, halaman 26