Hari-hari besar yang jatuh pada bulan Mei mengandung falsafah hidup yang sangat penting. Mari kita melakukan penelusuran ke awal bulan, di sana ada Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei. Kemudian di pertengahan, 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Kemudian diakhiri pada hari ini, Sabtu 20 Mei, yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pendidikan-buku-kebangkitan, menjadi satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Ketiganya sambung-menyambung membentuk sebuah narasi besar nan diidamkan; Indonesia yang sejahtera dan berkemajuan.

Pendidikan, buku dan kebangkitan, pada bulan Mei ini seolah menemukan momentumnya. Pucuk momentum itu bernama literasi. Geliat literasi seperti menjanjikan narasi pendidikan, buku dan kebangkitan sekaligus, untuk menemui kenyataan.

Kebangkitan Literasi 

Kebangkitan literasi dimulai saat para pegiat literasi diundang Presiden Joko Widodo ke Istana pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2017 yang lalu. Menurut saya, undangan ini memiliki tiga makna. Pertama, ini semacam apresiasi pemerintah terhadap perjuangan tak kenal lelah para pejuang literasi yang telah mendekatkan buku kepada rakyat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, betapa heroiknya para pegiat literasi mendekatkan buku kepada masyarakat. Ada yang menggunakan perahu, kuda, andong, angkot, motor, dan sebagainya demi menjangkau daerah pelosok. Presiden seolah menegaskan bahwa pegiat literasi kini tak lagi berjuang di jalan sunyi, karena ada pemerintah beserta perangkat-perangkatnya yang menemani, menyisi di kanan dan kiri.

Kedua, undangan itu menjadi semacam simbol bahwa pemerintah menaruh harapan besar pada literasi sebagai anak panah pendidikan. Kita tentu telah sama-sama mafhum bahwa dunia pendidikan kita seolah asing dengan dunia literasi. Plagiasi dan aktivitas contek mencontek di dunia pendidikan telah menjadi berita yang kerap kita santap. Kedua aktivitas destruktif ini, dari sekian banyak persoalan lainnya, merupakan bukti sahih dari gagalnya institusi pendidikan kita dalam mewariskan semangat literasi kepada peserta didiknya. Nah, bertemu dan berbincangnya Presiden dengan para pegiat literasi menjadi semacam penyatuan kekuatan dalam mendobrak kejumudan dunia pendidikan kita.

Ketiga, undangan ini berarti banyak bagi pemerintah untuk mencegah disintegrasi bangsa. Pemerintah seolah ingin menggandeng para pejuang literasi dan mendukung upaya pengentasan buta aksara. Masih tingginya angka buta aksara ditambah makin tak terbendungnya arus teknologi dan informasi membuat masyarakat dengan mudah menyantap berbagai berita hoax. Berita hoax yang menjadi viral itulah yang selama ini membikin gaduh negara kita. Hoax seolah-olah menjadi alarm bahwa krisis sesungguhnya bagi bangsa, dan ini mengancam keutuhan NKRI, adalah krisis buku dan bencana buta aksara. Tragedi 0 buku seperti yang diungkapkan Taufiq Ismail, menjadi sebenar-benar tragedi dalam arti yang sesungguhnya.

Presiden Jokowi, pada bulan Mei ini bahkan menepati janjinya untuk menggratiskan ongkos kirim buku saban tanggal 17—kecuali bulan Mei gratis ongkir pada tanggal 20. Ini bukan hanya menjadi kabar gembira bagi para pegiat literasi, namun menjadi semacam gerakan nasional untuk sama-sama tergerak mendekatkan buku sedekat-dekatnya. Dan Presiden Jokowi, jauh sebelum peringatan Hardiknas 2 Mei 2017, telah melakukan kampanye buku dengan cara jalan-jalan ke toko buku dan membeli sejumlah buku.

Literasi Kebangkitan

Mesti kita sadar bahwa pekerjaan para pegiat literasi sangatlah berat. Wilayah NKRI yang luas dengan kondisi alam dan infrastruktur yang belum memadai menjadi satu dari sekian banyak penyebabnya. Ada tiga pekerjaan yang (harus) dilakukan para pegiat literasi. Pertama, membuka akses buku kepada masyarakat, dan ini masih terus dilakukan. Kedua, mengentaskan buta aksara. Buku sudah ada, distribusnya pun dimudahkan pemerintah dengan bebas ongkir saban tanggal 17 tiap bulannya melalui PT Pos Indonesia, namun angka buta aksara masih demikian tingginya. Kemdikbud, per tahun 2015, mengeluarkan data bahwa sebanyak 3,56% penduduk Indonesia masih buta aksara. Itu artinya, ada sekitar 5,7 juta orang yang belum melek huruf. Ketiga, menjadikan membaca sebagai aktivitas fungsional (budaya). Poin yang ketiga ini merupakan pekerjaan abadi, yang takkan rampung dalam hitungan jemari.

Literasi merupakan investasi leher ke atas, bukan leher ke bawah. Literasi itu mengenyangkan kepala, bukan membuncitkan perut. Paradigma inilah yang harus terus ditanamkan para pegiat literasi kepada siapa saja, terutama kepada penerima manfaat literasi. Makanya, rasanya agak tabu, meski tidak terlarang, beranggapan bahwa literasi bisa mendongkrak kesejahteraan.

Menjadikan literasi sebagai pendongkrak kesejahteraan tentu saja merupakan pekerjaan yang mahaberat. Akan tetapi, bagi masyarakat yang sudah teriluminasi literasi, kesejahteraan tidak melulu soal terpenuhinya kebutuhan perut dan derivasinya. Yang paling fundamental, literasi bisa mengubah cara pandang orang tentang kesejahteraan.

Bagi orang yang sudah merasakan manfaat literasi, kesejahteraan bukan lagi tentang pemenuhan kebutuhan makan semata. Tentu saja orang yang melek aksara akan menjadi lebih cerdas dan taktis dalam upaya memenuhi tuntutan kesejahteraan diri dan keluarganya. Tetapi lebih jauh dari itu, dia akan memahami bahwa kesejahteraan ditentukan pula oleh kebijakan pemerintah.

Kesadaran akan hal ini akan menghadirkan efek yang lain, yakni munculnya kepedulian sekaligus daya kritis. Orang yang melek aksara akan peduli dengan sesama yang belum sejahtera, dan pada saat yang sama muncul daya kritisnya untuk mengentaskan kesenjangan sosial. Kepedulian dan daya kritis kolektif akan memiliki posisi tawar yang kuat dalam menghadapi setiap keputusan politik yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini sudah terjadi, maka literasi sudah betul-betul menginspirasi kebangkitan.

Mudah-mudahan.*