“Anak adalah makhluk Tuhan paling perasa. Diam-diam anak memantik rasa dari pengalaman-pengalaman keseharian anak. Dan dari sinilah anak akan belajar banyak mengenai emosi. Meski jarang disadari oleh orang tua bahwa anak telah memahami emosi di dirinya.”

Satu hal yang tidak bisa terlepas dari anak-anak adalah bermain dan menangis. Mengapa? Karena inilah dunia anak. Dunai anak yang paling menyenangkan meski terkadangan karena satu dan lain hal anak tiba-tiba menangis.

Tentu, dua kejadian ini yang tidak bisa terpisahkan dari anak-anak. Anak-anak menyadari inilah dunianya. Dunia yang akan mengajarkan anak-anak banyak hal. Tentang ilmu dan tentang pengetahuan yang akan anak sendiri dapatkan tanpa mendapat rangsangan orang lain.

Seperti kali ini, sebuah pengalaman bermain yang mengesankankan. Menyimpan pesan manis untuk Saya sebagai orang yang lebih tua dari mereka. Dari seorang anak berumur dua tahun.

Namanya Hafiz. Anak laki-laki yang kini baru beumur dua tahun. Dia mempunyai Kakak yang kini duduk di bangku TK. Seperti biasa sambil menghabiskan waktu sore sebelum magrib, kedua anak itu bermain di kamar. Mereka bermain sekolah-sekolahan. Kakaknya menjadi guru, dan Hafiz menjadi muridnya. Semua perlengkapan tas, buku, bolpoin, crayon, meja belajar pun tertata rapi. Hafiz siap untuk bermain sekolah-sekolahan. Dengan berekting seperti guru, Kakak mempersiapkan pembelajaran, dengan meminta Hafiz untuk membuka buku yang ada di tas. Hafiz mengambil dan membuka buku (yang mana buku itu adalah buku dongeng kesayangan Kakaknya). Ya. Sekolah pun dimulai. Si Kakak mulai beraksi. Mengambil spidol, kemudian menuliskan huruf A di papan tulis. Si Kakak meminta Hafiz untuk menuliskan hal yang sama di kertas. Namun, Hafiz tidak menghiraukan perkataan Kakaknya. Hafiz sibuk membolak-mbalikan buku dongeng bergambar yang baru ia ambil di tas. Si Kakak tak mau kalah. Kertas dan boloint diberikan pada Hafiz. Namun, Hafiz tidak mempedulikannya. Hafiz masih saja asyik dengan buku dongengnya. Si Kakak juga tidak mau kalah, untuk mengajak Hafiz belajar, mengikuti apa yang sedang dikerjakan oleh si Kakak dengan menyodorkan kertas lagi. Untuk kedua kalinya Hfiz menolak dan lebih memilih untuk membuka buku dongeng bergambar. Melihat Hfiz tidak mau mendengarkan perkataan Si Kakak, Si Kakak mengambil buku dongengnya, sambil berkata, “Hafiz belajar! Lihatnya nanti!” Hafiz dan Si Kakak berebut buku dongeng yang akhirnya membuat bukunya sobek. Seketika Si Kakak menangis kencang. Tangisannya membuat seisi rumah menghampiri si Kakak. Melihat Si Kakak menangis, Hafiz pergi keluar kamar dan duduk di depan televisi sambil menundukan kepala sendirian. Saat ditemui oleh tantenya, Hafiz langsung berlari dan minta digendong. Raut mukanya sedih. Akhirnya, Tante membawa keluar rumah dan mengajaknya ke warung. Saat ditanya, “Hafiz mau minta apa?”. Seketika tatapan matanya menuju bawah, ada rasa bersala dalam diri Hafiz, sambil perlahan berkatan, “Beli buku buat Kakak.” Mendengar jawaban Hafiz, Tante memeluk erat dan mencium kening Hafiz. Tante melihat ada penyesalan dan rasa bersalah dalam diri Hafiz. Tante menggendong kembali menemui Si Kakak yang sedang menangis. Sambil berjalan lambat, Hafiz menyodorkan tangannya, sambil berkata, “Maafin Hafiz ya Kak.” Si Kakak yang masih sesengukan menyodorkan tangannya untu bermaafaan. Sambil berkata, “Tapi, Hafiz tidak nakal lagi ya!”

Ada banyak pesan manis yang tersirat dari cerita pengalaman di atas, bahwa tanpa banyak di sadari orang tua, anak banyak belajar mengelola emosi pada dirinya melalui pengalaman dan kejadian yang sudah anak rasakan sebelumnya. Yang pertama, kita lihat anak sudah mampu mengenali bagaimana rasa bahagia. Ketika Hafiz dan Si Kakak mulai bermain sekolah-sekolahan. Di sini dapat kita lihat bahwa bermain sekolah-sekolah adalah suatu kegiatan yang dapat membuat anak merasa bahagia. Kedua, anak sudah mengenali emosi kesal. Ketika Si Kakak meminta Hafiz untuk mengikuti apa yang dilakukan Si Kakak namun karena Hafiz tidak mengikuti perintah Si Kakak, Si Kakak menjadi kesal dan menangis. Di sini kita lihat bahwa anak akan timbul rasa kesalnya ketika tidak mendapatkan respon yang seperti yang diharapkan.  Ketiga, anak sudah mengenali rasa bersalah. Rasa yang ketiga ini menjadi rasa yang jarang disadari orang tua. Bahwa anak pun sebenarnya sudah memiliki rasa bersalah. Dari cerita di atas, kita melihat seorang anak yang menyadari kesalahannya karena sudah menyobek buku kesayangan si Kakak hingga mengkibatkan si Kakak menangis.

Sungguh, ternyata dari bermainlah anak-anak banyak mengenal rasa. Hingga tanpa di sadari orang tua, dalam proses bermain anak sejatinya sedang menyerap setiap pengalaman yang dihadapi. Yang berdampak pada pembentukan pikiran anak yang dapat mengembangkan kekuatan mental bawaannya. Sebuah pesan manis dari Montessori dalam bukunya yang berjudul The Absorbent Mind, yang saya temukan sendiri, di kehidupan nyata. Bahwa “Kesan-kesan  (pengalaman) tidak hanya memasuki pikiran anak, namun kesan itu membentuk pikiran anak.”[]