Oleh. Atep Kurnia*

 

Kemarin saya menonton lagi film ‎Almost Human (2019) yang disutradarai Jeppe Rønde. Dalam film berdurasi menit 46 itu, saya menemukan kutipan menarik yang disampaikan oleh Vincent F. Hendricks, Professor of Formal Philosophy dari University of Copenhagen, Denmark.

Antara menit ke-11:38 hingga 11:58, Vincent bilang, “Misinformation on the web is now to be considered a global challenge, on par with food security, inclusive growth, global health, and the rest of those… climate, and the rest of the

global challenges that we are facing right now. Misinformation is now on that massive a scale”.

Artinya, misinformasi di internet sekarang dianggap sebagai tantangan global, sama dengan keamanan pangan, pertumbuhan inklusif, kesehatan global, dan hal lainnya … iklim [global], yakni tantangan-tantangan global yang harus kita hadapi sekarang. Misinformasi kini berada pada skala yang massif.

Karena menjadi persoalan sejagat, misinformasi dicari-cari solusinya oleh hampir setiap negara. Bagaimana cara menangkal kabar bohong yang dapat merusak pemahaman, pengertian, kesadaran orang sedunia itu? Setelah saya melakukan penelusuran di internet, ternyata yang banyak dijadikan rujukan orang sejagat kala menangkal tantangan misinformasi adalah negara Finlandia.

Di negara Eropa Utara yang berbatasan dengan Swedia, Norwegia, dan Rusia itu, bahkan anak-anak seusia taman kanak-kanak dan sekolah dasar sudah diajarkan cara menengarai misinformasi, melalui pembelajaran literasi media. Literasi media memang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan di Finlandia.

Para siswanya diajari bagaimana iklan dan statistika dapat menyesatkan orang. Mereka diajari membedakan disinformasi (orang yang sengaja menyebarkan informasi bohong yang tahu bahwa informasi tersebut memang palsu) dan misinformasi (seseorang yang menyebarkan kabar bohong tanpa menyadari bahwa informasinya bohong). Mereka juga menciptakan media sendiri, seperti website dan video-video. Mereka mengembangkan pesan-pesan mengenai berbagai topik dan menghidangkan kepada sebayanya untuk mendapatkan saran dan komentar.

Secara umum, Finlandia memang mengedepankan pembelajaran sepanjang hayat. Itu sebabnya di Finlandia ada Media Literacy Week (minggu literasi media) yang dirayakan setiap bulan Februari. Itu pula sebabnya Finlandia, menurut Media Literacy Index tahun 2021, dianggap sebagai “yang paling potensial menahan impak kabar bohong dan misinformasi”. Demikian yang saya baca dari tulisan David J. Cord (Juni 2022, pada situs finland.fi).

Dengan potensi seperti itu, sebagaimana ditulis sciencedaily.com (2 Mei 2019), kemampuan para siswa Finlandia saat berhadapan dengan disinformasi dan misnformasi di media sosial dan internet lebih tinggi dibandingkan dengan para siswa di Amerika Serikat. Kata situs itu, para peneliti menemukan penyebabnya pada beragamnya kurikulum dan International Baccalaureate di Finlandia yang dapat memampukan siswa-siswanya memiliki pemikiran kritis.

Pemikiran kritislah intisari pembelajaran literasi media di Finlandia. Ini antara lain juga dinyatakan Sonakshi Datta (17 Januari 2023, goachronicle.com). Sonaksi menulis, “Across schools in Finland, children can be seen discussing news in groups. They can be seen talking about the intention of the news and articles, and how and under what circumstances these were written. In Finland, teachers provide school children with such assignments on a daily basis, with the opinion that just because the story or the content is good, it does not mean that it is the truth. The aim of such assignments is to help children identify fake news”.

Artinya, di sekolah-sekolah di Finlandia, anak-anak dapat dilihat sedang membincangkan berita-berita secara berkelompok. Mereka dapat dilihat sedang membicarakan tentang maksud dari berita dan artikel-artikel, dan bagaimana serta dalam keadaan apa berita dan artikel-artikel tersebut ditulis. Di Finlandia, para guru menyediakan tugas harian bagi anak-anak sekolah, dengan pemikiran bahwa jangan hanya karena kisah dan kontennya bagus itu berarti berisi kebenaran. Tujuan dari pemberian tugas-tugas itu adalah untuk membantu anak-anak mengindentifikasi kabar-kabar bohong.

Apa yang tertulis di atas mengingatkan saya pada pertanyaan-pertanyaan kunci kala menganalisis pesan media (“key questions to ask when analyzing media messages”) dari National Association for Media Literacy Education (NAMLE) Amerika Serikat. Pertanyaan-pertanyaan itu berada di tiga ranah, yaitu “audience & authorship”, “messages & meaning”, dan “representations & reality”. Setiap ranah mengandung pertanyaan-pertanyaan.

Bagi “authorsip” atau kepengarangan, yang ditanyakan adalah siapa yang membuat pesannya? Bagi “purpose” atau tujuan yang diajukan adalah pertanyaan siapa yang membuatnya? Siapa sasaran pesannya, dan bagaimana kita bisa tahu sasaran tersebut? Bagi “economics”, yang jadi pertanyaan “siapa yang membayar pesannya? Bagi “impact”, pertanyaan-pertanyaannya adalah siapa yang barangkali memperoleh keuntungan dari pesan yang dibuat? Siapa yang terganggu oleh pesan tersebut? Mengapa pesan tersebut penting bagi saya?

Di ranah “messages & meaning” berkisar di sekitar “content”, “techniques”, dan “interpretations”. Pertanyaan-pertanyaan untuk “content” adalah pesannya mengenai apa? Bagaimana tanggapanmu atas pesan tersebut? Apa gagasan, nilai-nilai, dan atau informasi yang dikandungnya? Apa yang tersiratnya? Apa yang mungkin disingkirkan dari pesannya padahal mungkin penting juga untuk diketahui. Pada ranah “techniques” yang dipertanyakan adalah teknik apa yang digunakan untuk membuat pesan? Mengapa teknik tersebut yang digunakan? Bagaimana teknik tersebut mengomunikan pesannya? Sementara yang jadi soal dalam ranah “interpretations” adalah bagaimana orang lain memahami pesan tersebut secara berbeda? Bagaimana interpretasi saya dari pesan dan apa yang saya pelajari mengenai diri sendiri dari reaksi atau interpretasi yang telah dikemukakan?

Ranah “representations & reality” terbagi dua kelompok pertanyaan, yaitu ke arah “context” dan “crediblity”. Yang termasuk pertanyaan “context” adalah kapan pesan dibuat? Di mana dan bagaimana pesan disampaikan kepada publik? Sedangkan pertanyaan dalam kelompok “credibility” adalah apakah pesan ini fakta, opini, atau yang lainnya? Apakah pesannya dapat dipercaya? Bagaimana kau tahu bahwa pesannya dapat dipercaya? Apa yang menjadi sumber dari informasi, gagasan, dan pernyataannya?

Butir-butir NAMLE itulah yang pasti diajarkan di sekolah-sekolah Finlandia agar para siswa dapat berpikir kritis kala memerangi disinformasi dan misinformasi. Dan seperti kata Vincent F. Hendricks, misinformasi haruslah segera ditangani, karena telah menjadi tantangan global.***

*Divisi Litbang Forum TBM