Mas Khotib, wangsul!” (Mas Khotib, pulang!”) teriak seorang anak di kampung halaman.

Hari ini saya mudik ke kampung halaman. 1 jam lebih badanku di atas sepeda motor untuk menempuh perjalanan. Badan pegal sudah jelas. Rumahku berada paling ujung desa membuat anak kampung halaman melihat diriku pulang. Karena dengan pasti saya melewati rumah-rumah mereka. Sudah menjadi pemandangan sepeda motor saya dikejar-kejar olehnya.

Ku duduk depan sesampainya di depan rumah. Anak-anak memandangi penuh penasaran. Buku apa yang yang kana dibaca hari ini? Saya sudah mempersiapkan buku dalam tas.

“Badhe maos buku nopo?” (Mau baca buku?) tanyaku.

Saya membuka tas. Ku cari buku yang sudah dipersiapkan. Aneh. Tidak ada satu pun buku yang terbawa. Ku cari lebih teliti secara berulang-ulang. Namun hasilnya nihil.

“Bukune mboten dibekto. Ketinggalan teng kost”. (bukunya tidak dibawa. Ketinggalan di kost.) Kataku mencoba menyembunyikan lemas.

lhaaa. Ya permainan malih mawon mas sing kya dinten wingi”. (ya permainan saja mas seperti hari kemarin.).

Ternyata mereka masih semangat. Saya jadi ingat dengan buku yang pernah saya baca tadi malam. Akhirnya kubacakan buku dengan daya ingat dan dilanjutkan permainan. Mereka tetap antusias dan senang apa yang saya bawakan walaupun tanpa buku. Disinilah kreativitas diperankan.

Literasi sudah semestinya menyebar di setiap orang yang masih bernafas tanpa terkecuali. Perlu adanya penyadaran betapa pentingnya membaca. Tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Seperti halnya diri saya ini. Tahu penting membaca belum lama semenjak bertemu dengan dosen saya. Dan saya tahu dampaknya suka membaca. Dulu saya tidak suka membaca memang tidak ada bacaan yang dibaca. Melihat fenomena sekarang betul aneh.

1. Tidak membaca, tidak ada buku

Ini seperti halnya saya dulu. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat kampung halaman khususnya para orangtua dan di tempat lain. Rendahnya minat baca dengan minimnya bacaan. Terkadang ada buku bacaan namun tak sesuai dengan konsumsi yang semestinya. Tidak perlu disalahkan bilamana mereka lebih suka nonton tv, bermain gagdet, dan bermain bersama.

2. Suka membaca, tidak ada buku

Fenomena yang seharusnya diberi sarana prasarana yang harus memadai. Banyak sekali kalangan yang memang suka membaca namun tak ada yang dibaca. Mereka membaca apa yang ditemukan tanpa memilih. Ketemu koran dia baca koran, ketemu majalah ia baca. Seperti hal yang dilakukan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Pak Mahfud MD saat kecil setiap minggu ke kantor pos hanya untuk membaca koran.

3. Tidak membaca, ada buku

Hal seperti mungkin kurang motivasi dalam dirinya. Seringkali dalam sekolah mempunyai perpustakaan yang memadai namun banyak guru tidak memberikan keteladan untuk membaca. Bahkan guru tidak membaca sama sekali cuma hanya menyuruh. Begitu juga dengan halnya seorang pegiat literasi. Sebagai seorang pegiat literasi bukan hanya menyedia buku, mengajak anak untuk membaca. Sehingga seorang anak tidak tahu dampak positif dari membaca. Tidak bisa dipungkiri bilamana banyak sekali TBM yang berhenti ditengah jalan. Oleh karena sebagai seorang pegiat literasi maupun guru harus bisa meliterasikan dirinya sendiri terlebih dahulu.

4. Suka membaca, ada buku

Perlunya kreativitas dan inovasi untuk menjaga kekonstitenan seseorang untuk membaca. Jadikan membaca sebagai kebutuhan primer. Sudah tak ada alasan lagi untuk tidak membaca karena buku sudah ada. Tinggal melangkah lebih lanjut untuk berfikir kritis dalam pengetahuan.

Saya merasa masih ini menjadi intropeksi diriku dan semuanya. Apakah telah memberikan yang terbaik untuk masyarakat?. Hati masih terus mencari jawabannya. Literasikan hati dan raga akan menjadi yang terbaik.**