Oleh. Atep Kurnia

Setiap kali memeriksa pekerjaan menyunting laporan-laporan teknis di kantor, termasuk membantu mengedit bahan presentasi, kata-kata “tumbukan antar lempeng tektonik” kerap kali muncul. Lama-lama, kata-kata tersebut terasa klise, karena barangkali terlalu sering.

Tetapi saya harus menanggapi serius kata-kata tersebut saat mengalami beberapa kali getaran gempa bumi beberapa waktu lalu. Pertama pada dini hari Minggu, kala gempa terjadi pada 20 November 2022, yang berpusat di dekat Pangandaran. Kedua, saat terjadinya gempa bumi yang terjadi pada 21 November 2022, Senin siang, berpusat di Cianjur dan menimbulkan korban harta dan jiwa yang demikian banyak sebagai dampaknya. Dan ketiga, waktu terjadinya gempa yang berpusat di Garut, pada 3 Desember 2022, sore hari.

Dari peristiwa bertubi-tubi, saya berubah pikiran. Saya jadi yakin seyakin-yakinnya atas keterangan laporan dari kantor yang menyebutkan bahwa gempa bumi di Indonesia terjadi karena adanya interaksi empat lempeng teknonik, yaitu Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Samudera Indo-Australia, Lempeng Samudera Pasifik, dan Lempeng Laut Filipina. Pertemuan keempatnya menyebabkan terbentuknya cekungan muka, cekungan belakang, jalur magmatik, pola struktur geologi, sumber gempa bumi dan sumber pembangkit tsunami (tsunamigenic).

Dari rangkaian peristiwa gempa bumi itu juga membuat saya bertanya-tanya. Karena dari dulu kebumian Indonesia keadaannya terjepit di antara lempeng tektonik dan rentan terhadap kejadian gempa bumi, bagaimana nenek moyang kita menanggapi peristiwa geologi tersebut?

Usut punya usut dari berbagai pustaka lawas, saya mendapati nenek moyang kita juga mengganggap bumi yang kita tinggali ini memang rentan terhadap gempa bumi. Hanya saja, mereka menggambarkannya dengan mitos berupa bumi yang ada di tanduk hewan, utamanya sapi atau kerbau. Sekalinya hewan tersebut bergerak, maka bumi akan bergerak-gerak dan menjadi gempa.

Dalam hal ini, saya harus menghaturkan terima kasih banyak terhadap orang-orang Eropa, lebih khususnya Belanda, yang paling tidak sejak pertengahan abad ke-19 sudah merekam dan mencatat mitos-mitos yang berkaitan dengan gempa bumi. Saya antara lain dapat mengikuti tulisan F.C. Wilsen (“Bijgelovigheden der Soendanezen”, 1857), S. Coolsma (Twaalf Voorlezingen over West-Java, 1879), G.A. Wilken (Het animisme bij de volken van den Indischen archipel, 1884), R.A. van Sandick (In het rijk van vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, 1890), S.W. Visser (“Aardbevingen en Getijden”, 1931), dan lain-lain.

Menurut hasil penelitian mereka, hampir semua bangsa Melayu-Polinesia menganggap bahwa bumi ini berbentuk lempengan datar yang ditahan oleh semacam makhluk gaib, biasanya dalam bentuk seekor hewan. Dalam kepercayaan Dayak Ngaju oleh Naga-galang-petak, menurut orang Batak oleh Nagapadoha, menurut orang Sunda seekor sapi jantan, dan kata orang Bolaang Mangondow oleh seekor kerbau. Bila hewan-hewan tersebut bergerak, misalnya karena digigit serangga, maka bumi akan bergetar dan menimbulkan gempa.

Bila mendapati gempa bumi, leluhur orang Sunda dulu kerap berkata atau berteriak “Aya! Aya! (ada! Ada!) yang berarti maksunya, “kami masih ada di sini”. Dengan demikian diharapkan sapi jantan atau kerbau yang memanggul bumi di tanduknya itu akan memahami bahwa tugasnya memanggul Pulau Jawa tetap. Karena manusianya masih ada. Demikian pula dengan orang Bali yang akan mengatakan “Idup! Idup!” (hidup! Hidup!) atau orang Batak yang meneriakkan kata “Suhul!”.

Dalam hal ini pula, kita patut bersyukur orang Eropa di masa lalu telah berupaya mencatat gempa-gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia. Arthur Wichmann (1851-1927), ahli geologi bangsa Jerman ini telah membukukan dua jilid Die Erdbeben des indischen Archipels (1918, 1922). Isinya berupa rekaman 61 gempa regional dan 36 tsunami yang terjadi antara 1538 hingg 1877 di Indonesia. Demikian pula yang telah dilakukan oleh O.W.J. Schlencker melalui  Statistics of Earthquakes and Volcanic Eruptions Recorded in the Dutch East Indies during the Years 1869-1916 (1921).

Hingga sebelum Indonesia merdeka, apa boleh buat memang kita akan selalu bersandar pada keterangan orang-orang Eropa, termasuk Belanda. Betatapun, dari informasi yang mereka kumpulkan kita jadi tahu bahwa sejak dulu dan dulu sekali, tanah air kita memang kerap dilanda gempa bumi, dan leluhur kita menyikapinya dengan “kewaspadaan” berupa peringatan-peringatan terhadap fenomena kebumian tersebut.

Kata-kata seperti “aya” dalam bahasa Sunda, kata “idup” dalam bahasa Bali, dan kata “suhul” dalam bahasa Batak, misalnya, membuktikan bahwa leluhur kita memang sudah akrab dengan gempa bumi. Pada beberapa hal, kata-kata tersebut, sekali lagi, menurut hemat saya, adalah sebentuk kewaspadaan mereka kala menghadapi gempa bumi.

Kini, dengan kehadiran Badan Geologi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan lembaga-lembaga negara lainnya yang melakukan penelitian dan penyelidikan kebumian serta yang menangani kebencanaan, seyogyanya kita menjadi lebih melek terhadap fakta bahwa negara kita memang rentan terhadap peristiwa gempa bumi.

Kini, semestinya kita tidak akan keliru informasi mengenai kejadian gempa bumi. Bila pun ada yang keliru, dapat dipastikan itu karena ada orang yang sengaja membuat kabar bohong, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu saat kejadian di Garut. Bila kita tetap berpegang kepada keterangan dari pihak lembaga negara, dapat dipastikan informasinya absah.

Apalagi bila kita lihat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah lama juga mengupayakan kampanye mitigasi bencana gempa bumi sejak dini melalui berbagai publikasinya. Misalnya buku Gempa! (2019) oleh Dewi Cendika, Ketika Gempa di Sekolah (2019) karya I Gusti Made Dwi Guna, Selimut Gita (2019) oleh Tyas KW, Bahan Ajar Multikeaksaraan Mitigasi Bencana Sebelum Gempa Bumi (2020), Bahan Ajar Multikeaksaraan Penanganan Masa Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi (2020), dan lain-lain.

Bila demikian halnya, memang seharusnya kita sekarang sudah harus melek terhadap potensi gempa bumi di tanah air.