Oleh. Heri Maja Kelana
“Ya, namaku Rere. Sering dipanggil Re:”
“Itu nama sebenarku” Apa perlunya kamu tahu itu nama asli atau bukan?
“Apa perlunya? Membantuku? Apa gunanya buatku? Tidak!”
“Sudahlah, kalau mau jadi temanku, gak usah usik-usik soal nama! Panggil saja aku: Rere!”
……………………………………….
“Pelacur itu pekerjaanku!”
“Lebih tepatnya, pelacur lesbian”
“Lonte! Sampah Masyarakat!”
Ada tiga faktor penting yang kemudian menjadi sorotan saya ketika membaca novel yang berjudul “Re: dan peRempuan” karya Maman Suherman yang diterbitkan oleh KPG. Novel ini pertama kali terbit bulan April 2021 dan sekarang sudah cetakan kesebelas. Artinya novel ini laris di pasaran.
Ketika novel laris di pasaran, berarti sudah banyak yang membaca nove ini. Dan sangat mungkin bahwa novel ini dapat diangkat menjadi film layar lebar.
Sebelum berbicara pada isi novel, saya terintrupsi dengan cover bukunya. Cover bukunya gambar seorang berkacamata dan berkepala plontos, dan terdapat perempuan sedang duduk menghadap ke depan di belakangnya lorong dengan lampu-lampu yang mencitrakan realitas urban. Cover buku ini dibuat soft, gambar-gambarnya tidak terlalu terlihat jelas bahkan cenderung samar. Dari cover ini sekilas sudah dapat menangkap dari isi novel ini. Ditambah pada cover ditulis 18+. Titik masuk saya melihat buku memang dari cover. Kemudian masuk pada faktor-faktor penting yang saya lihat dari novel ini.
Faktor pertama yang akan saya soroti adalah realitas. Realitas bagi saya penting ketika masuk dan melihat lebih dalam tentang novel Re:. Untuk melihat realitas, saya meminjam pemikiran-pemikiran fenomenologi dari Edmund Husserl.
Edmund Husserl mengkritik paradigma orang modern yang cenderung pada naturalisme, psikologisme, serta historisisme. Realitas masyarakat, atau bahkan dunia pendidikan di Indonesia masih berpandangan pada naturalisme, menekankan pola berpikir yang rasional, empiris, serta masuk akal serta dibuktikan dengan fakta. Pola belajar positifistik naturalis ini bahkan sudah diajarkan mulai dari sejak SD.
Kritik selanjutnya adalah psikologisme. Edmund Husserl mengkritik cara kerja priskologi modern, yang hanya berkutat pada pola psikologi mekanis. Maksudnya perkembangan psikologi harusnya sudah melampaui pola mekanis yang diterapkan oleh kaum modernisme. Husserl membuka celah pada wilayah lain, bahwa pola mekanis psikologi ini harusnya sudah ditinggalkan, karena realitas yang terjadi sekarang sudah berbeda.
Historisisme juga dikritik oleh Husserl ketika memandang sebuah realitas. Pada konteks ini, manusia yang memiliki histori (sejarah) akan menekankan bahwa kebenaran akan tergantung pada konteks sejarah tertentu. Mungkin kita sering mendengar bahwa “sejarah” hanya milik orang yang menang. Husserl mengkritik cara pandang seperti ini.
Ketiga cara pandang di atas adalah cara pandang orang modern terhadap realitas. Pemikiran-pemikiran Husserl terhadap realitas banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir postmodern. Fenomenologi Edmund Husserl dapat dikatakan sebagai pintu masuk pada postmodern.
Kemudian, bagaimana kaitannya dengan novel Re:? Dari ketiga kritik Husserl di atas terkait realitas, terjadi pula dalam novel Re: dan peRempuan karya Maman Suherman ini.
Melihat (Aku) dari Mata Ketiga
Ketika membaca pertama novel Re: dan peRempuan, saya memosisikan diri sebagai pembaca saja. Pikiran saya tidak diganggu oleh macam-macam teori, referensi, realitas, dan lain sebagainya. Dan saya menikmati membaca novel ini yang mengalir dan ringan. Bahkan saya banyak menemukan kejutan-kejutan dari novel ini. Seperti misalnya istilah-istilah yang sebelumnya tidak saya ketahui, alur yang berbelok, serta kejutan lainnya. Akan tetapi, kenikmatan membaca saya terganggu ketika harus membedah buku Re: dan peRempuan. Karena yang pada mulanya membaca untuk kenikmatan, diarahkan untuk membaca pada tingkatan kedua. Membaca dengan pirikan yang sudah dirasuki oleh referensi-referensi untuk melihat lebih dalam dari novel ini.
Tokoh “aku” pada novel ini yang tidak sedikit pula mengambil peran sebagai narator. Sehingga tokoh aku menjadi tokoh sentral. Sedangkan tokoh Re: lahir dari realitas (tokoh Re: tidak akan hadir apabila realitas tidak menginginkan tokoh Re: hadir). Artinya tokoh Re: terbelenggu oleh realitas. Sedangkan “aku” tokoh sentral yang serba tahu. Maka keserbatahuan ini yang membelenggu tokoh aku.
Saya tertarik dengan tokoh aku yang serba tahu untuk menjadi pembahasan. Tokoh aku melihat fenomena dari mata ketiga. Mata ketiga yang saya maksudkan adalah mata postmodern. Tokoh Aku tidak berbicara mengenai naturalistik fenomena, juga tidak berbicara mengenai prikologi mekanis. Pun dengan histori.
Tokoh aku ketika melihat realitas bukan semata-mata realitas versi sendiri, tetapi adanya dialog yang dilihat oleh objek yang kita kenali dengan realitas. Maka yang terjadi adalah saling memengaruhi antara aku dan objek.
Hal ini yang saya senangi dari tokoh aku. Tokoh aku ini bagi saya tokoh yang berada diwilayah antara. Tokoh aku bukan sebagai penjaga moral, juga bukan sebagai penjahat. Tokoh aku ini bagi saya adalah tokoh yang dapat masuk pada bagian manapun tanpa ada kekhawatiran. Dari karakteristik itu, maka saya mengatakan bahwa tokoh aku adalah representasi dari postmodern.
Faktor kedua adalah keterkaitan penulis dengan karya. Ketika Rorand Barthes mengatakan bahwa “pengarang telah mati”, saya jadi berpikir kembali apa yang disampaikan oleh Barthes itu benar? Atau justru pengarang tidak pernah mati sebetulnya. Asumsi saya adalah ekses dari sebuah karya, dapat terjadi dengan cara apa saja. Misalnya dengan hanya membaca buku semata serta mendapatkan ekses dari apa yang sudah disampaikan dalam bukunya. Atau misalkan dengan cara kampanye atau launching dan bedah buku seperti yang sekarang dilakukan, baru mendapatkan ekses dari buku tersebut. Apa lagi misalnya seorang penulisnya adalah seorang aktivis dari kekerasan seksusal. Maka akan lebih mendapatkan ekses.
Pada cara pandang kedua, yang dikatakan pengarang telah mati menjadi tidak berlaku. Apalagi ketika pengarang ikut berbicara, membicarakan karyanya. Akan tetapi, hal ini penting dilakukan ketika akan mengejar ekses dari buku tersebut. Semisal buku-buku Re: yang sebenarnya sedang mengkampanyekan mengenai kekerasan seksual. Artinya buku Re: dan peRempuan ini ada keberpihakan.
Faktor ketika akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya. Paling tidak, saya sudah menikmati novel Re: dan peRempuan dengan dua cara. Pertama sebagai pembaca biasa, kemudian kedua sebagai pembaca yang kotor.
Dari kedua pembacaan tersebut, saya senang dengan pembacaan yang pertama. Pembaca pertama yang nyaman dan ingin membaca. Pembacaan ini sering saya lakukan ketika perjalanan dengan kereta atau pesawat. Buku-buku karya Maman Suherman termasuk buku yang say abaca ketika perjalanan.
*catatan ini disampaikan dalam pengkajian sastra #131 bedah buku karya Maman Suharman yang berjudul Re: peRempuan di Majelis Sastra Bandung, Sabtu 24 Juni 2023.