Kandape Topelinja, nama tersebut akan terdengar sangat aneh bagi orang di luar Sulawesi Tengah. Kandepe sendiri memiliki arti memiliki arti gubuk ditengah hutan atau di tengah kebun. Sedangkan Topelinja artinya orang yang senang berjalan-jalan. Apabila digabungkan, pengertian Kandepe Topelinja adalah rumah singgah bagi para pejalan. Hal tersebut disampaikan Agus Saleh dalam sebuah acara webinar yang dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Setelah tragedi di Poso di awal tahun 2000-an, banyak yang mengalami trauma berkepanjangan. Apabila dilihat dari aspek ekonomi, jelas konflik ini banyak merugikan pihak. Terlebih dilihat dari aspek sosial, 27 ribu warga mengungsi ke Palu, Makassar, dan Manado. Hal ini tentu sangat merugikan untuk sebuah wilayah dalam membangun sebuah sistem administratif yang baik. Poso pada waktu itu menjadi sorotan banyak publik.

Adalah Agus Saleh sosok inspiratif dibalik Kadepe Topelinja. Ia peduli terhadap masa depan anak- anak Poso lewat jalur literasi. Selain itu, Kandepe Topelinja menjadi rumah (ruang) singgah utuk siapa saja. Tidak terbatas dari ras, agama, serta budaya.

Dari Kelurahan Tegal Rejo Muncul Cahaya

Di Kelurahan Tegal Rejo, Poso Kota Utara, tahun 2018 Kandepe Topelinja didirikan serta menyebarkan cahaya literasi ke setiap penjuru Poso. Banyak orang-orang yang datang hanya sekadar singgah, ada pula yang berdiskusi, meminjam baca serta meminjam buku, serta aktivitas kegiatan lainnya.

Kegiatan serta program yang muncul dari TBM Kandepe Topelinja, lahir dari kepekaan teman-teman pengurus serta relawan, tentunya dari Agus Saleh sendiri dalam menyikapi realitas sosial yang terjadi. Seperti pendampingan terhadap anak-anak korban kekerasan serta ibu rumah tangga yang mengalami korban kekerasan dalam berumah tangga (KDRT).

Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk teman-teman yang tergabung di TBM Kandepe Topelinja, karena untuk konsoisten serta telaten dalam mendamping itu sangat luar biasa susah. Akan tetapi dengan ikhtiar yang baik, didukung pula oleh warga masyarakat, maka hal itu menjadi spirit untuk terus bergerak dalam mendampingi warga masyarakat yang menjadi korban KDRT.

Fokus lain dari program yang dilaksanakan oleh TBM Kandepe Topelinja adalah toleransi dan keberagaman. Program ini direalisasikan dengan kampanye serta diskusi-diskusi publik yang digelar secara rutin.

Di sadari atau tidak, bahwa program yang telah dilaksanakan oleh TBM Kandepe Topelinja adalah bentuk dari Multiliterasi. Terlihat adanya elaborasi pendampingan serta toleransi dan keberagaman yang lahir dari sebuah peristiwa yang melatarbelakanginya, yaitu tragedi Poso.

Sasaran yang dilakukan bukan hanya terdapat anak-anak, melainkan juga pada orang dewasa yang memang menjadi saksi sejarah kerusuhan di Poso. Hal ini adalah praktik luar biasa yang dilakukan oleh TBM Kandepe Topelinja.

Dalam konteks TBM Kandepe Topelinja, TBM bukan hanya sekadar ruang, akan tetapi menjelma menjadi sebuah gerakan sosial yang memiliki peranan penting dalam memulihkan rasa sakit yang terjadi dalam tubuh masyarakat.  Semua itu dilakukan hanya dan hanya demi mewujudkan generasi penerus, khususnya di Poso, yang dapat melihat dunia diliputi cinta kasih dan kedamaian.

Memajukan Anak-Anak Poso Melalui Jalur Literasi

 Belajar tidak hanya dari buku, bisa juga mendapatkan pelajaran atau belajar dari alam. Hal ini dilakukan pula oleh TBM Kandepe Topelinja.  Contoh kasus seorang anak yang bernama Wiwit (anak spesial, dari lahir down syndrome) yang tidak suka dengan hitung-hitungan dan membaca. Akan tetapi Wiwit ini ingin dan mau belajar, Agus Saleh menggunakan metode lain dalam memberikan pelajaran kepada Wiwit. Salah satunya belajar dengan menggunakan cabai (rica dalam bahasa Poso). Belajarnya di kebun, di mana Wiwit memetik cabai tersebut dan menghitungnya.

Wiwit tidak suka belajar dengan cara menulis, ia lebih senang dengan melakukan (tindakan). Seperti yang diajarkan oleh Agus Saleh di TBM Kandepe Topelinja melalui metode panen cabai serta memungut sampah.

Kasus Wiwit serta apa yang dilakukan oleh TBM Kandepe Topelinja adalah bentuk dari multiliterasi dalam membangkitkan kepercayadirian serta menyerap informasi memanfaatkan lingkungan sekitar. Karena setiap anak berbeda dan unik, kecerdasan terasah bukan hanya berlandaskan pada teks. Ada banyak macam tipe pembelajar, salah satunya yang dilakukan oleh Agus Saleh bersama Wiwit.

Banyak metode lain yang dilakukan oleh Agus Saleh di TBM Kandepe Topelinja. Hal ini tidak lain hanya untuk mentranformasikan informasi kepada anak-anak dengan baik. Dan ia (Agus Salim) memilih jalur literasi dalam memajukan anak-anak di Poso.

Program lainnya yang masih seirisan dengan pendidikan serta peningkatan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan adalah “Adopsi Terumbu Karang”. Pentingnya pelestarian terumbu karang, di mana Indonesia sebenarnya memiliki laut yang sangat luas dan indah, tidak terkecuali di Poso. Dengan mengadopsi satu terumbu karang, masyarakat sudah menjadi orang tua asuh untuk satu baby coral, lebih pentingnya lagi masyarakat sudah peduli terhadap lingkungan.

Setiap terumbu karang yang diadopsi, teman-teman dari TBM Kandepe Topelinja akan melaporkannya secara berkala kepada orang tua asuhnya melalui media sosial. Dengan Apnea Poso Community, TBM Kandepe Topelinja berhasil melakukan kegiatan ini, dengan mendatangkan 90 orang sebagai orang tua asuh untuk 124 baby coral.

Kegiatan yang bertitik tekan pada isu-isu pendidikan lingkungan serta kemanusiaan menjadi program prioritas dari TBM Kandepe Topelinja. Serta telah menjadi inspirasi banyak TBM di Indonesia. TBM Kandepe Topelinja adalah cahaya dari Poso dalam menerangi cinta kasih serta kedamaian.