Oleh: Atih Ardiansyah FZ

Ada hal menarik ketika Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten mengangkat tema “Literasi Cerdas Untuk Kesejahteraan” pada Banten Book Fair (7-12 Mei 2018). Mempertemukan “literasi” dan “kesejahteraan” jelas sebuah langkah yang berani. Terhitung berani karena tema itu akan bertemu dengan pertanyaan yang agak sukar dicari jawabannya: “Apakah literasi mampu meningkatkan kesejahteraan?”

Tentang literasi, Provinsi Banten memang boleh menepuk dada. Pada periode sebelum-sebelumnya angka buta aksara mencpai 261.000 jiwa, secara signifikan tereliminasi hingga hanya menjadi 3.100 jiwa (2017). Kemudian, ada satu pertanyaan lagi: “Apakah menurunnya angka buta aksara secara otomatis mampu menurunkan angka kemiskinan di Provinsi Banten dan Indonesia pada spektrum yang lebih luas?”

Menurut data yang dirilis UNDP (2005), Indonesia termasuk negara yang memiliki nilai melek aksara yang cukup tinggi, yakni 87,9%. Angka tersebut jauh melampaui negara-negara berkembang lainnya seperti India, Bangladesh, Nepal, Ghana, Etiopia dan Mozambique yang memiliki nilai melek aksara di bawah 63% (Literacy of Life, Unseco Report, 2005). Tetapi, angka yang mestinya menggembirakan itu justru berbalik menjadi mengerikan karena Indonesia masih dikategorikan sebagai negara miskin.

Data UNDP ternyata memiliki kemiripan dengan data yang dirilis BPS Provinsi Banten. Peningkatan angka melek huruf rupanya tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan. Angka kemiskinan di Banten justru mengalami peningkatan, di tengah gencarnya kampanye literasi dan ditandai dengan turunnya angka buta aksara. Sejumlah 649,19 ribu warga Banten berada dalam garis kemiskinan pada 2014 lalu melonjak ke angka 690,67 ribu jiwa pada 2015. Melihat fakta ini, angka melek aksara dan kesejahteraan sungguh bagai kambing dan hujan yang sukar sekali dipertemukan.

Masyarakat kita—termasuk pemangku kebijakan—barangkali masih terjebak pada persepsi yang sama tentang pengentasan buta aksara, yakni asal melek huruf semata. Sehingga bisa kita lihat dengan jelas polanya: anak disekolahkan, dikenalkan huruf-huruf, bisa membaca, selesai. Teknis saja sifatnya.

Beberapa program yang dicanangkan Pemprov Banten sebenarnya sudah cukup strategis. Gerakan Banten Membaca dengan Satu Desa Satu TBM (Taman Bacaan Masyarakat) pada 2017 merupakan langkah tepat dalam mendekatkan masyarakat pada akses informasi. Begitu pula pada era WH-Andika, program (kampanye) 1000 perpustakaan pun merupakan kebijakan yang ditunggu-tunggu realisasinya. Tetapi, untuk tinggal landas dari kemiskinan ke kesejahteraan—bukan hanya buta aksara menuju melek aksara—pekerjaan belum selesai.

Paradigma Kesejahteraan

Tentu kita jangan tergesa-gesa berpersepsi bahwa melek aksara dalam tingkatan fungsional akan menyulap seseorang menjadi sejahtera. Sejahtera dalam hal ekonomi atau pendapatan, dalam satu sisi bisa saja terjadi. Tetapi yang paling fundamental adalah bahwa efek literasi akan mampu mengubah seseorang dalam memandang arti kesejahteraan.

Kesejahteraan, bagi orang yang kegiatan membaca sudah menjadi budaya baginya, bukan lagi tentang soal pemenuhan kebutuhan perut semata. Orang yang melek aksara dibandingkan dengan yang buta aksara mungkin saja akan lebih cerdas dan taktis dalam memenuhi tuntutan kesejahteraan diri dan keluarga. Tetapi lebih jauh dari itu dia akan memahami bahwa kesejahteraan ditentukan pula oleh kebijakan pemerintah.

Kesadaran ini membuktikan bahwa literasi mampu menghadirkan kepedulian dan daya kritis. Kepedulian dan daya kritis yang sifatnya kolektif akan memiliki daya ubah yang besar dalam menggoyang setiap keputusan politik yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Literasi melahirkan kesadaran. Kesadaran kolektif bisa membangkitkan daya kritis. Daya kritis yang konstruktif bisa mendorong kebijakan yang berpihak pada masyarakat. kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat bisa menjadi pengungkit kesejahteraan. Kiranya demikianlah jembatan literasi dan kesejahteraan.*

*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di sini