Pagi ini saya kembali membaca tentang Najat Vallaud-Belkacem.
Di masa kecilnya, dia memakai baju seadanya dengan rambut dikuncir ekor kuda, membawa tongkat, dan menggembalakan domba. Ya, sehari-harinya, dia adalah seorang gadis gembala di sebuah desa kecil di dekat Nador, Maroko.
Siapa bisa menduga, ketika dewasa, gadis kecil penggembala domba ini diangkat menjadi menteri pendidikan dan penelitian Prancis.
Tentu, posisi itu tidak turun begitu saja dari langit. Najat berusaha ekstrakeras untuk meraihnya. Kala hendak berkuliah di Paris Institute of Political Studies, gurunya melarangnya mendaftar. Alasannya, sekolah itu mahal sekaligus susah dimasuki. Tekad dan langkah kaki anak kedua di antara tujuh bersaudara ini tak surut sedikit pun.
Najat tetap mendaftar, belajar tak henti dan diterima. Dia juga harus bekerja paruh waktu di dua tempat untuk membayar biaya kuliahnya. Di kampus itu pula, dia bertemu Boris Vallaud yang kini menjadi salah seorang penasihat Presiden Prancis Francois Hollande. Mereka sama-sama aktif di Partai Sosialis. Keduanya menikah pada 27 Agustus 2005.
Jauh sebelum itu, Najat sudah terbiasa hidup keras. Saat belum lagi remaja, ayahnya memboyongnya bersama ibu, dan kakak tertuanya, Fatiha, ke Amiens, kawasan pinggiran Prancis. “Ayah saya tak punya masalah. Tapi, kami, saya, ibu, dan kakak, mati-matian beradaptasi dengan kehidupan baru,” katanya seperti dikutip Vogue. Dia bahkan sempat terheran-heran saat melihat mobil. Hal langka di daerah asalnya.
Belum lagi diskriminasi yang datang dari lingkungan sekitarnya. Bahkan saat dia sudah menjadi anggota parlemen di Rhone-Alpes. Waktu itu, dia mengadakan perjamuan makan malam dan mengundang tamu yang belum terlalu mengenalnya. Ketika tamu itu datang, Najat menyambut dan membantunya melepaskan mantel. Tamu itu lantas bertanya di mana sang pemilik rumah.
“Hingga saat ini di Prancis, kalau ada perempuan dengan kulit berwarna yang membuka pintu rumah di kawasan mewah, selalu dianggap pembantu,” tulis ibu si kembar Louis-Adel Vallaud dan Nour-Chloe Vallaud ini. Sejak saat itu, dia semakin mantap mengabdikan hidup untuk menghilangkan diskriminasi.
Sorotan terhadap karir gemilang Najat mulai terjadi saat Presiden Francois Hollande menunjuknya menjadi juru bicara pemerintah dan menteri hak-hak perempuan pada 16 Mei 2012. Beberapa bulan setelah itu, Hollande memberinya tanggung jawab untuk memerangi homofobia.
Najat kemudian menjabat menteri pendidikan dan penelitian pada 25 Agustus 2014. Penunjukan itu menjadikan dia sebagai menteri pendidikan termuda yang pernah dipunyai Prancis.
Satu yang tak terlupa kurekam dalam ingatan saat membaca kisah Najat:
Saat masih kanak-kanak, yang diakuinya sebagai momen-momen terbaik dalam hidupnya adalah ketika bibliobus (mobil perpustakaan keliling) menyambangi kawasan tempat tinggalnya. Karena bibliobus-lah dia bisa membaca beragam buku.
Teman-temanku, pustakawan bergerak, teruslah #tebarvirusliterasi #berbagirasamerdeka pada anak-anak di pelosok-pelosok negeri ini. Satu, 10, 100, 1000 di antara mereka, insya Allah akan menjadi Najat-Najat berikutnya. Akan menjadi Hatta-Hatta berikutnya, yg menjadikan buku sebagai “pasangan hidupnya yang pertama”.
Dari huruf yang cuma 26
Dari kata yang terserak dan tersusun menjadi kalimat
Dari kalimat yang menyatu mewujud buku
Mimpi itu
Terus diuntai
Dan
Harapan itu
Lilin-lilin itu
Akan terus menyala
Menjadi api kehidupan. []