Apa sebenarnya yang paling diburu dalam seminar, pelatihan, lokakarya, talkshow, gathering, dan sejenisnya? Jawabannya adalah energi. Kekuatan yang menguar dari orang-orang, kata-kata, peristiwa, dan hal-hal yang kerap gagal kita beri nama.
Dalam dunia kreatif, saya memiliki analogi tersendiri atas energi ini.
Energi adalah dodol yang masih hangat. Kita semua kenal dodol, bukan? Panganan manis berbahan utama beras ketan, gula merah dan santan ini apabila sedang panas/hangatnya bisa dibuat-bentuk seperti apa saja–baik dengan membungkus atau menuangnya dalam cetakan–karena sifat fisiknya yang masih kenyal. Bahkan saat memasaknya di kuali besar pun, dodol ini tidak boleh berhenti diaduk, sebab kalau itu terjadi ia akan mengendap dan mengerak di dasar wajan. Ketika disajikan dalam keadaaan dingin, dodol takkan bisa dibentuk lagi. Bila ia diletakkan ke dalam loyang petak ia akan menjadi petak, ke dalam cetakan bunga ia seperti mekar karenanya, dan seterusnya dan seterusnya.
Energi yang kita tangkap dalam sejumlah acara-acara berfaedah, adalah dodol yang masih panas atau hangat itu. Ketika masih panas/hangat itu dodol adalah energi potensial. Semakin cerkas kita membentuk/mengarahkannya untuk gerakan-gerakan nyata, semakin dekat ia menjadi energi kinetik, semakin dekat wujudnya menjelma karya. Namun bila dibiarkan saja hingga dingin, energi potensial itu bukan hanya tidak berubah menjadi energi kinetik alias tidak menjadi apa pun, tapi juga kehilangan khasiatnya sebagai energi potensial itu sendiri. Semua yang didapat-tangkap dari kegiatan-kegiatan positif yang diikuti pun tinggallah wacana yang lambat-laun hengkang dari niat dan pudar dari ingatan.
Beberapa hari ini, 10-13 Desember 2017, saya bertemu dengan 39 orang pegiat literasi dalam kegiatan yang diinisiasi KPK dengan menggandeng Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Pusat di Jakarta di bawah tajuk Taman Literasi Integritas. Kegiatan yang bertujuan untuk “membentuk” kami menjadi bagian dari gerakan masif bangsa ini untuk melawan korupsi ini mau-tidak mau menggesek-benturkan saya dengan energi-energi yang bersilintas selama acara. Baik dari para pemateri, panitia, dan tentu saja dari para peserta.
Sekadar menyebut beberapa; Rekan sekamar saya, Babrak, memberikan “highlight” menarik tentang “menanamkan-ideologi-bertani” yang menjadi salah satu pendekatan yang ia terapkan di taman bacaannya di Jombang. Atau rekan satu grup saya, Ilma, gadis SMA yang sudah aktif terlibat dalam gerakan-gerakan inspiratif dengan pendekatan kreativitas dan lokalitas untuk menciptakan “dunia baru yang menyenangkan” bagi anak-anak di Purwakarta. Atau perempuan 50 tahunan, Ibu Diyah, yang begitu antusias membincangkan parenting dan keterlibatan orangtua dalam membangun karakter anak-anak di TK Masyitah 25 Sokaraja tempat ia mengajar.
Makin intens saya berinteraksi dengan para pegiat literasi itu (yang dalam acara ini kemudian disebut Panglima Integritas), makin angslup saya ke dalam ketiadaan, bahwa apa yang saya lakukan 6 tahun ini di bennyinstitute ini sungguh belum apa-apa, sungguh jalan di tempat, sungguh tidak seseksi gerakan mereka. Entah, pada titik ini, tiba-tiba saya berpikir bahwa, adakalanya sesekali “membiarkan diri menjadi inferior” adalah usaha membuang separuh air yang memenuhi gelas ilmu, kecakapan, pengalaman, dan gerakan yang selama ini kerap saya tenggak untuk terus bertahan.
Dan semuanya menjadi “makin akut” dan mencemaskan ketika pelatihan itu menghadirkan pembicara yang menyuarakan “lawan korupsi” dan sejumlah subkegiatan yang bertubi-tubi menyerang kesadaran saya dengan energi wajib yang melandasi visi-misi kehidupan ini: berintegritas! Ya, kekhawatiran itu susah payah saya letakkan di tempat yang baik dan benar, supaya serakan energi beberapa hari ini adalah energi kinetik yang menjadikan saya benar-benar berguna. Benar-benar menggiring saya jadi manusia yang utuh. Membuat saya bisa masuk surga.
Saya tak sabar pulang. Saya seperti sudah berpekan-pekan tidak mendongengi anak saya sebelum mereka terlelap, tidak memeluk istri saya dari belakang dan membisiki betapa bangga saya memiliki guru bahasa Indonesia yang menjaga 3 putri kami dengan cinta tanpa menepikan amanahnya sebagai guru bahasa Indonesia di pedesaan, tidak memerhatikan murid-murid saya di kelas dengan senyuman paling tulus dan teladan yang mumpuni.
Saya sudah menulis 4 esai selama di Jakarta. Namun gejolak ingin pulang itu terlalu kurang ajar mencabik-cabik kesadaran saya. Telahkah saya melakukan semuanya dengan perenungan dan rasa khidmat yang layak sehingga keriuhan itu tak sekadar bernama keriuhan. Saya tiba-tiba ingin mengunjungi bilik lain dalam diri saya, membuka pintunya dan bertanya, “Hai Kejujuran, kamu masih di sana?” untuk kemudian pulang dan memeriksa integritas saya dengan cekatan. Ya, cekatan! Sebab saya tak mau ia menjadi dodol yang dingin. Sebab saya tak mau menangis tanpa air mata, tanpa suara, dan tanpa apa-apa yang menjejak … di udara sekalipun.(*)
Jakarta, 13 Desember 2017