Oleh. Atep Kurnia

“Hirup katungkul ku pati”. Demikian yang tertulis di permukaan badik yang bihari saya miliki dan sekarang entah di mana. Ungkapannya sepadan dengan “memento mori” dalam bahasa Latin.

Menjelang akhir tahun ini, kata-kata itu terus terngiang-ngiang saat saya bolak-balik Cicalengka-Cikudapateuh, di atas kereta api.

Apakah aktivitas menulis saya selama ini terkait dengan ungkapan di badik? Itu pokok soalnya.

Bila dipikir bolak-balik, ada benarnya. Bukankah Hippokrates bilang “ars longa, vita brevis”. Bukankah Goenawan Mohamad menyatakan “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”. Bukankah kata Sapardi Djoko Damono “Yang fana adalah waktu, kita abadi”.

Selama tahun 2022, lebih dari 3 × 4 × 12 artikel yang saya tulis, tiga judul buku yang diterbitkan (satu terjemahan), dan sekian banyak buku yang saya sunting. Ditambah tambahan cicilan pada akhir tahun ini.

Terlepas dari motif hobi membaca dan menulis, motif menambah pengetahuan atau boleh disebut perspektif pertumbuhan, dan motif tambahan penghasilan, selama di perjalanan Cicalengka-Cikudapateuh kian terasa saya diburu-buru waktu. 

Dengan kata lain, saya sadar tengah berhadapan dengan kematian yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Dalam bahasa ibu saya dikatakan “paeh teu nyaho di mangsa”. Atau barangkali dalam kata-kata Heidegger disebut sebagai “Sein-zum-Tode”.

Meski masih bekepala empat, saya merasa sudah mulai menua. Uban mulai tumbuh di sana-sini di antara rambut yang hitam. Mata sudah mulai terasa rabun, bila dipakai untuk melihat yang agak jauh pun pandangan mengabur. Telinga tidak lagi mendengar setajam ketika masih umur dua puluhan. Geligi sudah ada yang rontok di kanan dan kiri mulut, jadi agar sukar mengigit makanan yang keras. Dan lain-lain dan lain-lain kemunduran fisik.

Apalagi tinggi anak sulung saya sudah mengalahkan saya. Posturnya lebih tegap dan berisi ketimbang saya yang kerempeng. Demikian pula anak kembar saya, sekarang seakan hendak menyusul kakaknya. 

Dalam keadaan demikianlah saya aktif menulis. Dalam pengertian, saya sangat berharap dapat menghasilkan berbagai tinggalan yang mudah-mudahan kelak masih dapat dikenang orang. Peribahasa dalam bahasa ibu saya menyatakan “gajah paeh ninggalkeun gading, maung paeh ninggalkeun belang, manusa paeh ninggalkeun amal kahadean” (gajah mati meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang, manusia meninggalkan amal kebaikan).

Itu sebabnya dalam peribahasa lain dalam bahasa ibu saya disebutkan “hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja” (hidup jangan bertemu akhir, mati jangan bertemu kabar). Singkatnya, jangan sampai diberitakan meninggal. Artinya, saya akan tetap ada dalam ingatan orang dan dikenang atas jejak-jejak yang saya tinggalkan.

Sekali lagi, saya teringat ungkapan “hirup katungkul ku pati” yang terpahat di permukaan badik saya yang sekarang sudah hilang itu.

Cikancung, 31 Desember 2022-1 Januari 2023