Saya masih ingat saat duduk di bangku SD kelas 3. Saya memiliki Guru wali kelas istimewa dan menjadi idola saya karena di depan kelas ia suka mempromosikan buku atau menceritakan isi buku. Tak hanya promosi buku, tapi pernah suatu hari masuk kelas dengan membawa puluhan buku. Mata saya berbinar penuh bahagia saat itu. Melihat buku-buku yang dibawa Guru wali kelas saya.
Buku-buku itu dibagikan ke saya dan teman-teman satu kelas. Setiap anak dapat satu buku. Kemudian Guru idola saya berkata yang membuat hati saya bahagia, “Karena perpustakaan sekolah tidak ada. Sekarang kalian baca buku ini secara bergilir. Setiap minggu tukarlah buku dengan teman lainnya sampai kalian membaca semua buku ini.”
Guru idola saya kemudian membagikan buku satu per satu, dan saya menerimanya dengan tangan gemetar bahagia. Inilah saat pertama kali saya akan membaca buku yang sesungguhnya. Selama ini saya hanya sering membaca Majalah Ceria, potngan Koran, dan cerita-cerita dari Ayah-Ibu saya.
Dan menakjubkannya, buku-buku yang dibagikan pada kami adalah buku-buku yang pernah dipromosikan dan diceritakan isinya oleh Guru wali kelas aya. Tentu saja, saya dan teman-teman sangat senang dan penasaran. Kami pun membaca buku tu secara bergiliran, terkadang berebut karena ingin membaca duluan buku yang kami anggap paling menarik. Buku yang sudah pernah diceritakan oleh Guru wali kelas saya.
Sungguh saya harus akui bahwa mempromosikan buku di depan kelas itu menakjubkan bagi saya. Menjadi titik tolak kedua bagi saya untuk suka membaca buku (tiik tolak pertama adalah kebiasaan Ayah-Ibu saya yang suka mendongeng). Pomosi buku membuat saya ingin membaca buku itu. Membuat saya suka membaca buku.
Kemudian, saat duduk di bangku SMP kelas dua, saya berkenalan dengan guru bahasa Indonesia yang mematangkan hobi membaca saya. Guru ini selalu antusias jika menceritakan sejarah sastra Indonesia dari angkatan Balai Pustaka sampai sekarang.
Yang dijelaskan tidak hanya sejarah angkatan sastra, tetapi novel-novel yang terbit dalam sejarah itu, kemudian Guru saya menceritakan isi novel itu dengan sangat menarik. Saya pun masih ingat cerita novel Dian Yang Tak Kunjung Padam, misalnya. Karena cerita dari Guru saya ini, saya pun bergegas langsung ke Perpustakaan Sekolah untuk mencari novel terebut, kemudian meminjam dan membacanya sampai selesai. Dan saya menjadi kecanduan membaca novel-novel karena Guru bahasa Indonesia yang suka mempromosikan buku di kelas.
Dari pengalaman masa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama ini, saya kemudian menjadi suka membaca. Inilah tonggak minat membaca saya yang didukung oleh peran guru-guru inspiratif saya yang suka mempromosikan buku di ruang kelas.
Sampai kemudian pengalaman saya dimatangkan saat duduk dibangku kuliah. Setiap Dosen memberi perkuliahan, dan kemudian menyebut judul buku, dan menceritakan isi teori dalam buku itu, saya pun akan penasaran. Saya akan mencari buku itu untuk saya baca. Saya merasa tidak ingin kuliah saya besok tidak tahu apa-apa soal materi yang akan dibahas.
Dari sinilah, saya kemudian menyadari bahwa minat dan hobi membaca buku saya dibentuk oleh orang tua dan guru-guru di sekolah yang sering menceritakan dan mempromosikan buku. Karena dipromosikan inilah, saya menjadi penasaran dan ingin tahu isi buku yang sebenarnya. Saya pun kemudian mencari buku tersebut untuk dipinjam atau dibeli, kemudian dibaca karena rasa penasaran yang tinggi.
Pertanyaannya sekarang, apakah guru-guru sekarang sering mempromosikan buku di depan kelas?
Saya pernah bertanya pada salah satu anak yang sering bermain di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Wadas Kelir yang saya kelola, “Apakah Bapak-Ibu guru sering mempromosikan buku di kelas?”
Anak itu balik bertanya, “Apa itu promosi buku, Pak Guru?” Saya menjawab, “Menceritakan bagian kecil isi buku yang menarik agar murid-muridnya tertarik membaca buku.”
“Contohnya?” Anak malah bertanya. Saya pun segera memberi contoh, “Nih, Pak Guru baru baca buku dongeng bagus. Judulnya Tiga Babi Kecil. Kisah tentang tiga babi. Dua babi yang tidak baik, dan satu babi yang baik. Tiga babi ini dilepas oleh orang tuanya untuk hidup bebas. Tiga babi ini diberi amanat untuk membangun rumah dan hidup sendiri. Tapi, saat ketiga babi itu mau membangun rumah, seekor srigala mengintai ketiganya. Srigala ingin memakan babi-babi itu. Siapakah babi yang selamat? Yuk, baca buku dongengnya yang menarik.”
“Bagaimana? Apakah kamu tertarik dengan cerita buku ini?” tanya saya, dan anak menjawabnya dengan anggukan kepala. Kemudian berkata, “Apakah di TBM Wadas Kelir ada buku ini?” Saya menjawab dengan tersenyum senang dan mengangguk. “Saya akan mencarinya. Bukunya bikin penasaran!” teriak anak itu sampil berlalu pergi menuju TBM Wadas Kelir dan mencari buku.
Saat anak ini sedang melangkah cepat, saya bertanya dengan berteriak, “Apakah Guru kamu pernah mempromosikan buku?” Anak ini membalikan tubuhnya dan berteriak, “Tidak! Tidak sama sekali!”
Saya mengelus dada sedih. Mempertanyakan apakah murid-murid di sekolah akan memiliki hobi membaca jika gurunya tidak suka membaca. Sebab karena tak suka membaca, maka guru tak bisa mempromosikan buku. Padahal, promosi buku membuat anak-anak penasaran dan termotivasi untuk membaca.
Saya punya pengalaman tentang promosi buku dalam peran saya sebagai orang orang tua. Saya dan istri di depan anak pertama saya Mafi (11 tahun) bercerita soal sosok tokoh luar biasa bernama Jack Ma, pengusaha Tiongkok yang sukses melalui Alibaba-nya.
Setelah selesai diskusi, malam harinya, istri saya chat: “Tadi Mafi tanya soal siapa Jack Ma. Saya pun menjelaskan dengan singkat. Kemudian saya sarankan untuk membaca bukunya. Langsung malam ini Mafi membaca buku biografi Jack Ma sampai 30 halaman sebelum akhirnya tidur.”
Dari kenyataan ini, kita menjadi tahu bahwa promosi buku jauh lebih menarik dari pada menyuruh membaca buku. Saat kita menyuruh bahkan memaksa anak membaca buku, maka ada ruang personal anak yang tidak nyaman. Tapi, saat kita sebagai orang tua dan guru mempromosikan buku, maka muncul rasa penasaran dalam diri anak. Rasa penasaran inilah yang kemudian membuat anak membaca buku yang dipromosikan guru dan orang tua.
Untuk itu, saya membayangkan betapa indahnya, jika ruang kelas, dalam setiap kegiatan belajar, selalu ada momen promosi buku. Maka semakin banyak buku yang dipromosikan oleh guru akan semakin banyak membuat anak-anak penasaran. Isi buku akan selalu diingat. Dan pada saatnya akan menggerakan anak-anak untuk mencari dan membaca buku tersebut.
Kita harus belajar dengan budaya promosi iklan. Di jalan-jalan banyak sekali papan ruko, spanduk, dan baliho dipenuhi dengan iklan promosi makanan, produk, sampai kemudahan hutang. Setiap hari kita dalam perjalanan selalu melihat dan membaca iklan promosi itu. Hasilnya, tanpa kita sadari, referensi iklam promosi itu masuk dalam memori kita. Dan saat kita sedang krisis menghadapi persoalan, maka iklan promosi itu menjadi salah satu referensi kita untuk mengatasi persoalan itu.
Misalnya, karena kita sering melihat iklan Bebek Goreng Merek Haji yang bertebaran di jalan, dan lihat warung makannya ramai. Maka saat kita sedang lapar, dan mencari warung makan yang tepat, ide kita akan langsung muncul dengan warung tersebut. Datanglah kita makan di warung tersebut. Promosi iklan sukses membuat kita makan di warungnya.
Begitu juga jika guru sering mempromosikan buku. Suatu saat akan ada momen di mana anak dalam keadaan krisi, mislanya boring. Saat dalam keadaan demikian anak merasa perlu mendapatkan hiburan. Anak pun akan memanggil referensi promosi buku gurunya. Anak tertarik kemudian akan ke perpustakaan dan mencari buku itu. Anak akan membacanya dengan senang.
Jadi, promosi buku itu keharusan. Harus menjadi tugas pokok guru dan orang tua untuk menabur benih minat dan hobi baca pada anak-anak. Sebab, tanpa promosi buku, buku-buku yang bagus dan menarik tidak akan sampai pada pembaca. Di sinilah hukum ekonomi literasi berlaku bahwa guru dan orang tua harus bisa menjadi sales dan pedagang isi buku. Melalui sales dan pedagang ini, buku-buku sedang dipromosikan untuk dibeli dan diambil kemudian dibaca.
Bukankah kita sebagai guru dan orang tua ingin murid dan anak-anak kita suka membaca buku. Maka, siapkan diri kita untuk menjadi pedagang literasi yang setiap hari mempromosikan isi buku di kelas dan dirumah. Dari sini kita sedang menyiapkan generasi yang literat.
HERU KURNIAWAN
Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir