Tanggal 29 Juli sampai 1 Agustus, Ruang Baca Tanah Ombak, di Jalan Purus III No.30E Padang,  dipercaya Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, menjadi tuan rumah sekaligus penyelenggara “Residensi Literasi” dalam program “Peningkatan Kapasitas Pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Kegiatan yang diikuti 20 peserta dari kabupaten/kota ini bertujuan untuk memberi kesempatan pada pengelola TBM untuk belajar dan merasakan langsung proses membangun gerakan literasi di Tanah Ombak. Selain itu, kegiatan ini juga untuk memerkuat kinerja relawan, membangun jaringan, sekaligus mengasah keterampilan menulis, baik artikel maupun narasi cerita. Acara dibuka oleh Kasie Budaya Baca M. Alipi dan ditutup oleh Kasubdit Keaksaraan dan Budaya Baca, Kastum.

Sebagai TBM yang dipercaya sebagai tuan rumah pelaksanaan residensi, Tanah Ombak menganggap ini bagian penting dalam proses pengembangan dan penguatan internal. Kegiatan ini juga sekaligus untuk berbagi pengalaman.  Kami meyakini sesungguhnya setiap orang adalah guru yang  juga murid: disini terjadi proses saling belajar. Hakikatnya, belajar itu bisa pada siapa saja dan berlangsung sepanjang hayat. Spirit inilah yang membungkus residensi literasi ini.

Ada hal yang menarik ketika menerima tantangan sebagai tuan rumah bagi teman-teman dari berbagai provinsi yang ingin berbagi pengalaman di Tanah Ombak. Pertama, adalah bagaimana peserta secara tidak langsung menjalani ritme dan proses keseharian pengelola, relawan, dan anak-anak Tanah Ombak. Dengan cara ini, peserta merasakan kesulitan dan tantangan yang dihadapi, dari hal yang sederhana sampai pelik. Residensi literasi ini, bisa kita istilahkan “mencicipi proses gerakan langsung dari sumbernya”.

“Jauh Panggang” dari Hotel

Hal menarik kedua, ketika peserta harus menginap di rumah warga, makan dengan masakan tuan rumah (relawan), menikmati fasilitas yang tersedia di tempat residensi, di sinilah kehidupan relawan sesungguhnya dimulai. Sebagai gambaran, Tanah Ombak berada di ujung sebuah gang yang dulu sebelum Tanah Ombak ada, dikenal dengan “Gang Setan”.

Ketika masih menyandang gelar “Gang Setan”, gang ini hampir tak pernah ada orang luar yang berani masuk. Kesan seram, tidak bersahabat, kumuh, perempuan-perempuan perokok, judi, dan anak remaja tanggung yang hoby “ngelem”, serta para lelaki yang mabuk minuman keras, ditambah satu sama lainnya saling melontar kata kasar, menjadi gambaran keseharian gang tersebut.

Kala itu, mendengar keluarga atau teman ditangkap polisi karena kasus kriminal, adalah hal biasa. Mendengar seorang anak menyebutkan ayahnya sedang dipenjara, adalah hal biasa. Mendengar seseorang mengatakan ayah mereka tewas karena menenggak minuman keras oplosan, adalah potret yang begitu adanya.

Nah, ketika ada beberapa peserta residensi yang pertama kali masuk gang Tanah Ombak merasa tidak nyaman adalah hal lumrah adanya. Apalagi sepanjang gang hingga “markas besar” Tanah Ombak, yang dekat pagar rumah susun Pantai Padang, di kiri kanan masih terlihat banyak perempuan yang merokok, berpakaian urakan, dan kadang jika sore, mereka lesehan sambil bermain kartu dengan taruhan uang.

Padahal, bila dibandingkan tiga tahun lalu, sebelum Tanah Ombak hadir, pemandangan demikian, sudah jauh lebih baik.  Jalan sudah relatif lebih bersih dan  sudah ada tumbuhan hijau. Juga dapat dirasakan, nyaris tidak ada menenggak minuman keras, minimal dekat Tanah Ombak. Judi sesekali memang ada, namun secara umum mereka sudah bisa menerima orang luar yang masuk. Kini, orang luar sudah keluar masuk gang tersebut terutama untuk kepentingan berkunjung dan berkegiatan di Tanah Ombak, berbagi kebaikan dalam banyak hal. Hal ini secara perlahan, mengubah perilaku warga sekitar menjadi lebih baik, mereka mulai terbuka. Walau, beberapa orang, masih belum menerima sepenuhnya kehadiran Tanah Ombak. Hal itu biasa dan wajar dalam sebuah gerakan.

Aura kurang sedap semacam itulah yang ditangkap oleh hampir semua peserta residensi ketika hari pertama datang. Bagi kami, ini hal yang paling penting dirasakan oleh para peserta residensi, karena, dengan merasakan bagaimana relawan Tanah Ombak pada akhirnya bisa menikmati hal-hal “kurang sedap” itu sebagai bumbu gerakan literasi yang dijalankan Tanah Ombak. Tentu berbeda ceritanya, jika kami dari Tanah Ombak, diundang berbagi pengalaman di sebuah hotel berbintang. Dalam ruang sejuk, makanan enak, tidur nyaman, rasanya kurang  “dahsyat” menceritakan kehidupan riil semata dalam tayangan slide.

Dengan dikirim langsung ke “tempat peristiwa”, narasi yang disampaikan ke peserta jelas menjadi lebih menggetarkan. Fakta dan realita, tak perlu lagi diceritakan. Pengalaman, proses serta hal-hal yang menyangkut gerakan yang menyentuh hati dan pikiran, menjadi sangat menarik untuk dibagi.

Kami di Tanah Ombak, sejak semula sudah bisa bayangkan ekspresi atau perasaan “galau” peserta ketika diberi tahu bahwa tempat menginap mereka tak ada WC, kecuali numpang ke ruang baca Tanah Ombak, di seberang jalannya. Warga sekitar Tanah Ombak, rata-rata tak memiliki WC. Jika mereka buang hajat, cukup pergi ke pantai atau membungkusnya dengan kantong kresek, lalu dilempar ke semak-semak. Malah, dulu sering mereka lempar ke samping markas Tanah Ombak. Kotoran manusia itu, kadang hinggap di atap rumah, jika itu terjadi, pertanda di antara mereka sedang bermusuhan.

Kami menangkap dengan jelas, perasaan risih di wajah para peserta. Mesti begitu, sebagai tuan rumah kami pura-pura tak menyadari hal itu. Dalam hati saya berkata dan tersenyum jahil, “Rasain kalian, dikirim untuk merasakan sisi menyebalkan orang-orang Tanah Ombak!” Biarlah selama empat hari mereka merasakan apa yang dirasakan warga dan anak-anak Tanah Ombak, selama bertahun-tahun. Jika kelak menjadi kenangan, rindu mereka adalah merasakan yang indah dari pemandangan tak indah.

Tentu bagi yang terbiasa diundang kegiatan dan nginap di hotel, tiba-tiba diberi fasilitas sedahsyat di Tanah Ombak, perasaan ingin pulang adalah hal yang pasti muncul. Secara kasat mata, lingkungan Tanah Ombak, betul-betul negeri secuil yang masih berantakan tapi tengah dipaksa belajar menata peradaban. Namun, bagi kami sebagai tuan rumah, menganggap program yang mengajari betapa pentingnya penderitaan, adalah syarat mutlak yang harus dilalui dan dinikmati oleh para relawan literasi. Kerja keras tanpa bayaran, upaya maksimal tanpa pujian, pencapaian prestasi dalam cemoohan, adalah sesuatu yang harus dipahami oleh para relawan dalam melakoni perjuangan di ranah literasi, apalagi di tengah masyarakat bawah semacam di lingkungan Tanah Ombak. Relawan tak boleh cengeng, dalam mengabdi pada masyarakat di dunia literasi.

Menempatkan peserta Residensi Literasi di Tanah Ombak, kami menyebutnya “Jauh Panggang dari Hotel”, semacam jauh dari kenyamanan hotel. Apalagi membayangkan toilet dan kamar mandi yang bersih, ada air hangat, nyaman, sungguh di Tanah Ombak sensasinya berbeda: perasaanmu dalam mandi dan buang hajat tidak menjadi pertimbangan penting, karena memang itulah adanya yang kita punya.

Hantu Buku di Malam Minggu

Anak-anak Tanah Ombak, sudah diberitahu kalau mereka akan kedatangan tamu jauh dari berbagai provinsi. Itu artinya, bakal ada kehilangan dalam hati, ketika dalam beberapa hari bersama, tahu-tahu pisah. Anak-anak Tanah Ombak mudah merasa dekat dengan orang asing, tamu-tamu yang sempat nginap. Ini beda dengan ayah dan ibu mereka.

Sebelum ada Ruang Baca Tanah Ombak, tak ada orang lain yang peduli pada mereka dan teman-teman. Citra negatif orang Gang Setan, bahkan sampai ke sekolah, mereka sering dicap anak-anak nakal, diremehkan, padahal di sekolah mereka juga banyak yang berusaha baik. Namun akibat cenderung dianggap nakal, banyak yang memilih berhenti sekolah, seperti Edo dan Yudhi. Dua anak pintar yang terpaksa berhenti sekolah karena sikap guru yang selalu menuding segala kesalahan di kelas bersumber dari mereka. Yudhi diberhentikan, karena menghantam teman sekelas hingga luka, Edo berhenti walau diantar kembali oleh kami ke sekolah, karena perlakuan guru yang kurang manusiawi padanya. Kini keduanya, menjadi relawan setia Tanah Ombak, siap tempur untuk kerja fisik terutama. Kita sedang mengupayakan ujian paket bagi keduanya, yang di luar dugaan mereka termasuk tekun membaca buku.

Anak-anak Tanah Ombak selalu gembira jika harus tampil untuk tamu-tamu, apalagi tamu jauh. Mereka akan total. Karena mereka menyadari, biasanya tamu jauh mudah dekat dengan mereka, mau diajak ngobrol, mau menjawab pertanyaan mereka. Dan mereka akan sedih, ketika tamu-tamu yang merupakan usia kakak-kakak mereka itu pergi. Rasa kehilangan tiba-tiba itu bisa kami rasakan dari mata yang berkaca-kaca, pertayaan yang resah, “Apakah kakak dan abang-abang itu akan datang lagi?” atau, dari cara mereka melepas kepergian sang tamu diam-diam.

Begitulah. Sabtu malam, 29 Juli, Residensi Literasi dibuka oleh M. Alipi. Hadir Pak Lurah yang dalam sambutannya merasa bangga. Motivasi dari Pak Alipi, yang jika disimpulkan berarti mengajak pada para pegiat literasi untuk menempa diri, bergerak bersama dan berbagi pengalaman dalam Program Residensi Literasi. Bagaimana menikmati kehidupan sebagai relawan dengan nilai-nilai keiklasan, perjuangan. Juga disampaikan, setiap relawan harus memiliki kemampuan menulis. `

Anak-anak Tanah Ombak pun tampil dalam berbagai atraksi seni, termasuk guru hebatnya anak-anak, Pak Syuhendri (Abe Pong) dibantu Robby W Riyodi (Obe). Pada malam pembukaan dengan pentas seni, sesungguhnya kami tuan rumah tidak semata ingin membahagiakan tamu, tapi juga ingin memperlihatkan anak-anak ini adalah produk belajar Taman Bacaan Masyarakat, Ruang Baca Tanah Ombak. Kami juga ingin mengawali dengan sesegera mungkin membaurkan semua keluarga besar Tanah Ombak dengan peserta residensi literasi.

Mereka dihadirkan sebagai hantu buku yang telah menjadi salah satu program unggulan dan populer Tanah Ombak. Di Tanah Ombak, setiap Malam Jumat, sekali dalam sebulan, anak-anak tampil dengan wajah gaya hantu versi mereka. Kebetulan malam 29 Juli merupakan pembukaan residensi literasi, mereka dihadirkan sebagai hantu buku malam minggu. Mereka muncul dengan pantun membaca, seni tradisi, baca kutipan buku, musik dan lagu, serta bernyanyi bersama dengan gembira.

Ruang Belajar Bersama

Materi yang diberikan selama kegiatan Peningkatan Kapasitas Pengelolaan TBM dalam residensi literasi terikat dalam empat hal besar, yaitu manajemen TBM, kerelawanan, menulis artikel serta membangun jaringan. Selain pemaparan soal manajemen TBM dan kerelawanan yang dirangkum sekaligus dengan pengalaman-pengalaman penting relawan dan pengelola Tanah Ombak, peserta juga diajak langsung merasakan bagaimana atmosfir gerakan menemui pembaca dengan Vespa Pustaka.

Di hari pertama dan kedua, kami sengaja memilih jam sore, Minggu dan Senin, mengajak peserta langsung ke lapangan dengan Vespa Pustaka, menemui anak-anak pembaca buku di kawasan Sebrang Pabayan dan Muaro Lasak. Dua lokasi ini, merupakan pinggiran pantai, dekat objek wisata. Muaro Lasak di kawasan Pantai Padang sedang Sebrang Pabayan di kawasan dekat Gunung Padang. Pemilihan waktu untuk kegiatan tersebut, bagian dari praktik menjadi relawan Vespa Pustaka, bagaimana secara langsung peserta residensi bisa menarik suatu kesimpulan untuk menginspirasi melakukan hal yang lebih hebat di daerah masing-masing. Pertimbangan lain, untuk menghilangkan jenuh sekaligus melumpuhkan kantuk yang mengancam.

Dalam pemaparan materi, kita juga menghadirkan Henry Pong, Gus tf dan Arlin Teguh untuk berbagi wawasan dan pengalaman. Khusus Henry Pong berbagi kisah awal sebelum Tanah Ombak berdiri, kemudian bagaimana menjalin interaksi dengan warga serta bagaimana menyiasati mereka. Gus tf, seorang sastrawan Indonesia, berbagi kiat dan praktik menulis artikel yang kemudian melahirkan tulisan-tulisan dalam buku ini. Begitu juga, dengan Arlin, bagaimana menyiapkan diri dengan yakin untuk meraih kesuksesan dalam semangat berbagi. Sementara saya, selain bagaimana mengatur sebuah gerakan, membranding TBM dan program kerja, serta membangun jaringan sekaligus memanfaatkan media sosial untuk kepentingan gerakan yang lebih besar.

Kita ingin, Tanah Ombak menjadi ruang belajar bersama, ruang yang luasnya tak berhingga. Karena itu, untuk mengakrabkan semangat dan emosi satu sama lain suasana yang dihadirkan, adalah keseharian Tanah Ombak, dalam belajar, berkreasi, berkelakar, berbagi pengalaman dan memahami pengetahuan dan pengalaman baru. Ruang tak berhingga, secara formal, materi tetap dipaparkan secara sistematis dan substantif, namun pada giliran lain semua bisa dirasakan, diamati, dipahami melalui lingkungan dan interaksi. Tujuannya, biar esensi residensi bisa sama artinya dengan merasakan langsung proses antara satu sama lain untuk saling menginspirasi.

Pada Lidah Kalian, Kenangan Kami Titip

Bu Des (Desma Rosi) dan Adek (Cahaya Karmila), kebagian jatah kerja: menyiapkan makan dan sarapan serta terkait kosumsi peserta residensi. Amanah yang diberikan kepada juru masak, terutama Bu Des, adalah menyiapkan segala sesuatu untuk konsumsi bagai menghidangkan makan bagi keluarga tercinta. Tentu apa yang kita masak, sajikan, semua atas dasar begitulah cinta dihidangkan apa adanya.

Bu Des yang memang juru masak relawan, terutama setiap kegiatan Minggu di Tanah Ombak, menerima “amanah dapur” tersebut, dengan senang hati. Jika ada perasaan takut mengecewakan, itu wajar, sebagai tuan rumah yang ingin lidah tamunya bahagia dalam rasa. Bagi kami, makanan yang dihidangkan, adalah masakan rumahan Orang Minang (Padang), yang berbeda jauh dengan di rumah makan. Karena, masakan yang khas dan enak itu, justru ada di rumah-rumah masyarakatnya, karena yang di restoran atau warung Padang, sudah lazim bagi banyak orang.

Bersama Adek, Bu Des, kemudian dibantu relawan lain, seperti Uniq, Winda, Finny, Wila, dan yang lain, suasana meja makan, baik pagi, siang dan malam, tak ada kegaduhan (mudah-mudahan semua puas atau pasrah menerima apa adanya, he..he).  Untuk snack dan sarapan pagi, kita memanfaatkan jualan tetangga sebelah yang modalnya kita bantu melalui jaringan Tanah Ombak beberapa bulan lalu.

Literasi Teh Telur

Hal paling seru, tentu hal yang semua terlibat. Kita namakan materinya: Literasi Teh Telur. Literasi teh telur, adalah bagaimana memahami resep teh telur, dan manfaat minuman tradisional orang Minang tersebut bagi stamina. Orang Minang, pada umumnya, menyukai minuman ini. Pak Kastum, yang baru saja mendarat sore hari di Tanah Ombak, langsung meminta Bu Des, membuatkan teh telur. Padahal pesta teh telur baru akan dimulai pukul 22.00. Dasar Pak Kastum, dengan modal “rayuan maut” berhasil meluluhkan Bu Des dan Adek untuk menghidangkan teh telur. “Saya suka teh telur. Kalau minum ini staminanya bisa tahan berapa lama?”  Nah lo, susah kan jawabnya?

Memperkenalkan teh telur kepada peserta residensi, sejatinya bagian dari literasi bisnis  yang dijalankan oleh Tanah Ombak. Minuman khas Minang ini hampir ada di seluruh Indonesia, bisnis teh telur bakal berpeluang untuk menambah biaya operasional TBM. Mana tahu, bisa jadi selingan. Mana tahu lagi, bisa jadi menu penambah stamina untuk para relawan ketika lelah bekerja dalam gerakan literasi.

Di balik semua itu tentu saja, kehadiran teh telur terbukti mampu memacu kegembiraan bersama. Di malam penutupan, kita ingin menabung momen indah. Mulai dari memecah kulit telur, menyisihkan putih telur dan memasukkan kuning telur ke gelas, sampai mencampurkan gula lalu dikocok sampai kental. Proses merebus teh dan menuangkannya sampai terhidang, adalah sisi lain yang bisa dirasakan bersama.

Ketika semua mengocok telur yang dicampur gula dengan ikatan lidi kelapa sepanjang 30 Cm, terdengar suara paduan yang sahdu. Cok cok cok cok, begitu kira-kira bunyinya. Satu sama lain saling tersenyum, lalu sama-sama menikmati.  Hal yang ditawarkan dari suasana ini, kita butuh kenangan khas. Setidaknya, melalui masakan Bu Des, lewat teh telur yang dirasakan lidah peserta residensi dan Tim Kemendikbud dapat merasakan betapa kita pernah bersama dalam suasana yang riang. Dan ini salah satu yang akan diingat pada suatu masa kelak. Setidaknya, pada lidah kenangan kami titip, bahwa kita pernah makan dari hidangan yang dimasakkan dari nyala kompor yang sama, yaitu kompor Bu Des.

 

Video Tiga Menit Obe

Tim kerja khusus Magang Literasi di Tanah Ombak, relatif kompak dan solid. Semua bekerja dan memiliki inisiatif yang satu sama lain cukup saling mengisi. Fahmi, Riski, Yudi, Edo dan Ismawardi, terlihat bersemangat sebagai relawan sejati Tanah Ombak. Karena mereka sehari-hari memang acara sudah terbiasa bekerja.

Khusus Obe (Robby W Riyodi) yang ditugasi sebagai juru foto/video, yang harus merekam seluruh kegiatan Residensi Literasi. Salah satu kekuatan Tanah ombak, adalah dokumentasi yang nyaris lengkap. Setiap momen ada foto, ada video, dan beberapa posting di media sosial.

Tugas Obe tidaklah ringan, karena dia tidak boleh lengah pada setiap momen menarik dalam Magang Literasi. Padahal, dia juga harus membantu kegiatan lain. Yang penting, Obe paham, acara empat hari, divideokan maksimal lima menit saja. Nah. Hasilnya, bekerja berhari-hari menyeleksi hasil rekaman, Obe malah berhasil merekam kegiatan dalam sebuah video tiga menit (silakan tepuk tangan). Sekarang Video tersebut, sudah bisa ditonton melalui Youtube. Sekaligus sebagai bukti, juga laporan ke publik, ini kegiatan memanfaatkan uang negara, Alhamdulillah telah selesai dengan baik.

Penutup

Residensi Literasi ini, sungguh sangat berarti bagi Tanah Ombak. Dengan program ini, ada catatan bermakna, bahwa Residensi Literasilah yang tepat untuk peningkatan kapasitas pengelola TBM. Bukan teori apa yang akan diadopsi, melainkan pengalaman merasakan langsung proses dari tempat yang dipilih itulah yang member arti. Baik bagi yang residensi, maupun yang dipercaya sebagai tuan rumah.

Kesadaran yang kami tanamkan dalam hati, Tanah Ombak dipilih bukan karena hebat atau terbaik, melainkan mungkin pada saat ini proses kami memiliki proses yang bisa dijadikan inspirasi untuk mengembangkan gerakan masing-masing berdasarkan potensi daerah masing-masing.

Terima kasih kami ucapkan kepada  Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas kepercayaan yang diberikan kepada Tanah Ombak.  Kepada peserta Residensi Literasi, kami memohon maaf jika ada yang tidak berkenan di hati. Bagi kami, hanya ada rindu, keinginan bersama lagi untuk saling berbagi dan menyemangati. Tapi entah kapan?

Salam Sukses mulia!

Yusrizal KW, Ketua Ruang Baca Tanah Ombak