Oleh Firman Venayaksa

(Ketua Forum TBM)

Induk literasi adalah membaca dan menulis. Lantas jika beranak-pinak menjadi beraneka dimensi dan pemaknaan literasi, maka kita tidak boleh mengesampingkan induk literasi itu. Bagaimana mungkin seseorang membaiat diri sebagai aktivis literasi tetapi tidak meluangkan waktu secara periodik untuk membaca dan selalu gagap ketika harus menulis? Tetapi demikianlah yang kerap terjadi karena aktivis literasi sekarang ini telah ngepop dan terlalu cihuy sehingga melupakan induk yang melahirkannya. Kualat! Pseudo-literasi; begitu istilah kerennya.

Namun, jangan-jangan, kekualatan itulah yang justru menjadikan gerakan literasi menjadi massif dan menyebar sehingga istilah literasi tidak hanya dimiliki oleh sekelompok intelektual elite yang menyatakan dirinya sebagai “pembaca serius” atau penulis. Sekarang ini istilah aktivis literasi tidak hanya berafiliasi dengan orang-orang dari dunia akademik, pustakawan, sastrawan, penulis, jurnalis, sejarawan, para pemikir. Dengan mudah aktivis literasi disandang oleh tukang bemo, tukang kuda, pramu bakti, anak motor, dan kelas marginal lainnya, yang dulu, sepertinya sulit untuk dikait-kaitkan dengan urusan membaca dan menulis. Perpustakaan yang brand image-nya hanya didatangi oleh pembaca serius dan berada di pusat-pusat kota bertransformasi dan mendatangi pembacanya di desa-desa. Buka lapak buku menjadi tren unik di emperan trotoar dan alun-alun dalam rangka Car Free Day, atau memanfaatkan ruang-ruang publik seperti Puskesmas, pos ronda, penjara, di bawah jembatan layang dan seterusnya.

Sebagai sebuah contoh, perkembangan dimensi literasi ini dipernyatakan pula oleh politisi sekaliber Fadli Zon yang dikutip dari CNN Indonesia “kita tidak temukan tokoh pendiri bangsa yang tidak membaca dan menulis, baru sekarang kita punya presiden bacanya (komik) Doraemon dan Shincan.” Pernyataan Fadli Zon merujuk pada pemberitaan di media yang menjelaskan bahwa Jokowi di waktu senggangnya senang membaca komik terutama Doraemaon, Shinchan dan Koping Ho.

Perspektif Fadli Zon persis seperti halnya memosisikan dimensi literasi yang kini berkembang. Dengan menilik referensi historis mengenai para pendiri bangsa ini, baginya, sekaliber Presiden, bacaannya harus berat dan berbobot. Membaca buku hiburan, picisan dan ngepop bukanlah konsumsi orang-orang yang dianggap elite di negeri ini. Di satu sisi, kita gandrung agar minat membaca bangsa ini menjadi lebih baik, tetapi di sisi lain, kita menjadi seperti polisi lalu lintas yang kerap menilang orang-orang membaca karena identitas keterbacaannya yang berbeda. Sebuah paradoksial yang unik. Fenomena ini sebetulnya terus terjadi sebagai sebuah fragmentasi dari dua kutub yaitu budaya tinggi dan budaya rendah yang turunannya diperlihatkan ke dalam istilah sastra serius dan sastra popular.

Storey (2002) mengutip pendapat dari Leavis dan Thompson yang menyalahkan fiksi populer karena menawarkan bentuk-bentuk adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. Selain itu mereka menambahkan, ‘bentuk kompensasi ini merupakan kebalikan dari rekreasi itu sendiri karena, ia cenderung—bukannya memperkuat dan menyegarkan kegemaran akan kehidupan, melainkan menambah ketidakmampuan seseorang dengan membiasakannya pada pengelakan yang mencerminkan kelemahan—pada penolakan untuk menghadapi realitas’.

Bentuk-bentuk adiktif yang dimaksud pada kutipan di atas adalah mempersepsikan fiksi populer sebagai candu bagi para pembacanya untuk berlindung di balik realitas kehidupan yang sebenarnya. Membaca fiksi populer dianggap sebagai bentuk pelepasan dan pelarian diri dari kerumitan hidup sehingga pembaca terbuai pada tema-tema cinta yang platonis, dan menjadikan tokoh-tokoh utama di dalam fiksi populer sebagai keterwakilan hasrat imajinya. Inilah yang dianggap oleh Leavis dan Thompson sebagai karya yang menawarkan bentuk-bentuk adiktif.

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Longhurst (dikutip oleh Storey, 2002) yang menjelaskan bahwa di masa sekarang membaca fiksi populer tidak lagi secara umum dipandang sebagai aktivitas yang berhubungan dengan sifat buruk yang dirahasiakan di mana seharusnya diakui orang dengan penuh malu. Cerita populer tidak bisa lagi dipahami secara memadai sebagai semata-mata narkotis dan pembacanya sebagai pecandu yang tak tercerahkan.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, dua kutipan tersebut menjadi bukti bahwa kebudayaan tinggi yang diwakili oleh “sastra serius” dan kebudayaan rendah yang diwakili oleh sastra/ fiksi populer terus menjadi diskursus di masyarakat.
Roolvink seperti yang dikutip oleh Teeuw (1955) menjelaskan bahwa sastra pada umumnya janganlah hanya dihargai dari sudut beletri (sastra indah), tetapi dapat juga ditilik sebagai pengukur barang apa yang hidup dalam jiwa suatu bangsa dan pengukur watak masyarakatnya. Dan jika dipandang dari sudut ini, maka roman picisan itupun dapat menarik hati bagi yang ingin memperoleh kesan tentang penghidupan serta tentang kesukaran-kesukaran yang dialami oleh bangsa Indonesia zaman sekarang.

Mindset di atas diperkuat oleh Damono (2009: 129) dengan mengutip pendapat Victor Neuburg, yang menyatakan bahwa di Inggris, telaah mengenai sastra populer baru dimulai dengan sungguh-sungguh sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Pernyataan ini menyiratkan bahwa sastra populer, kalaupun tidak bisa dikatakan diharamkan, merupakan anak tiri dalam kegiatan akademis yang berkaitan dengan ilmu sastra. Selanjutnya, di halaman yang sama, dikatakannya bahwa telaah semacam itu semakin menjadi penting berdasarkan anggapan bahwa sastra populer dapat memberi gambaran mengenai seperti apa sebenarnya ujud masyarakat yang relatively unlettered itu—bagaimana mereka berpikir dan merasa, sikap dan nilai-nilai yang diyakininya, serta cara mereka memandang kehidupan.

Sebagai sebuah contoh, kita bisa menangkap fenomena kebudayaan tinggi yang diwakili oleh sastra serius dan kebudayaan rendah yang diwakili sastra popular memiliki potensi untuk sama-sama dimaknai atas kerelativan sebuah karya sastra. Alih-alih mendikotomikan teks literer, buku yang kita baca akan sangat tergantung pada kebutuhan si pembaca.

Maka untuk menegasikan posisi gerakan literasi di Indonesia, kita tidak bisa dengan serta merta memakai cara berpikir Fadli Zon yang terlalu adiluhung atau kebiasaan Jokowi yang terlampau ngepop. Dua dimensi ini justru yang mengubah peta jalan literasi kita karena pencampuran dua hal itu. Untuk menuju pilihan buku-buku berbobot, kendaraannya justru dimulai dengan bacaan-bacaan ringan yang adiktif. Dengan demikian, posisi aktivis literasi yang penulis dan bukan; antara pembaca berbobot dan bukan, sebaiknya kita cari jalan tengahnya bahwa mereka sama-sama telah berkontribusi untuk kebaikan minat baca di Indonesia.

Dengan massifnya gerakan literasi yang diinisiasi, rupanya cukup mencuri perhatian dua calon presiden kita. Hal ini terbukti dengan visi misi dari kedua Capres yang sekarang ini sedang berkontestasi. Gerakan literasi masyarakat menjadi bagian dari visi misi mereka.

Paslon 01: “Mempercepat Gerakan Literasi masyarakat dengan memperbanyak perpustakaan dan taman-taman baca, serta pemberian insentif bagi industri perbukuan nasional”

Paslon 02: “Membangun perpustakaan dan taman-taman bacaan untuk mendorong gerakan literasi masyarakat”

Dari redaksi yang termaktub di dalam visi misi tersebut, para pengelola taman bacaan, penggiat/ aktivis literasi bolehlah sedikit berbangga atas perjuangannya membangun gerakan literasi. Dengan demikian, siapapun presidennya, gerakan literasi akan terus menjadi bagian dari skala prioritas di negeri ini. Imbasnya, pada Rembuk Nasional Pendidikan dan kebudayaan (RNPK) 2019 yang belum lama dihelat, Gerakan Literasi menjadi salah satu subtopik yang direkomendasikan.

Berikut rekomendasinya:

  1. Penyediaan buku bermutu, murah dan merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah 3T dengan berbagai strategi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
  2. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan buku bermutu, murah dan merata di daerahnya.
  3. Penguatan 10 unsur pelaku perbukuan untuk mengoptimalkan ekosistem perbukuan.
  4. Penguatan tatakelola sistem informasi perbukuan
  5. Perlunya penguatan regulasi mengenai gerakan literasi
  6. Perlunya kebijakan tentang pengaturan penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat dan lembaga sejenis
  7. Perlunya mekanisme pengiriman donasi buku untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam pengadaan dan pemerataan buku di TBM, perpustakaan desa dan sekolah serta lembaga sejenis
  8. Perlunya peningkatan kapasitas SDM untuk memperkuat gerakan literasi
  9. Perlunya setiap daerah menetapkan regulasi tentang pelestarian bahasa daerah dan pengutamaan bahasa Negara (Bahasa Indonesia)
  10. Perlunya model pelestarian bahasa daerah yang dapat diimplementasikan baik melalui jalur sekolah (muatan lokal) maupun nonsekolah (berbasis komunitas)
  11. Perlu pendayagunaan kekhasan lokal yang terkandung dalam bahasa daerah untuk mengungkapkan konsep baru.

Dari rekomendasi yang muncul di RNPK 2019, sinergi pemerintah dan masyarakat untuk penguatan gerakan literasi terlihat jelas. Sebagai sebuah gerakan, keterlibatan masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan. Bahkan yang menarik dari gerakan literasi ini, justru awal-awal dipantik oleh munculnya kepedulian komunitas-komunitas literasi di berbagai daerah yang tersublimasi, kemudian direspons dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah serta elemen-elemen lainnya. Sinergi yang baik ini telah terakumulasi melalui pelbagai istilah literasi yang tidak hanya merujuk pada urusan membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah gerbang menuju literasi dasar lainnya. Setidaknya ada 6 literasi dasar yang dipantik oleh Kemdikbud yang berdasar pada kecakapan abad ke-21 yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewargaan. Dengan 6 literasi dasar ini diharapkan bangsa Indonesia mampu untuk bersaing dengan warga dunia lainnya.

Untuk menguasai 6 literasi dasar itu, tentu kita tidak bisa hanya menyerahkan pada pemerintah. Sinergi perlu terus dilakukan walaupun di dalam prosesnya perlu ada komitmen untuk menyulam benang-benang literasi yang mungkin masih kusut.