Oleh. Atep Kurnia*

 

Tanggal 3 Januari 1958 terjadi peristiwa penting terkait N.V. Papierfabriek Padalarang, karena pada tanggal tersebut perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari tiga dasawarsa itu diambil oleh Penguasa Perang di Staf Kwartier TT.III Bandung (Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda di Indonesia, 2001: 52).

Latar belakang pengambilalihan tersebut secara umum adalah masalah perekonomian yang sangat mendesak untuk segera diatasi setelah Indonesia  mendapat kedaulatan secara penuh dari Belanda pada tahun 1949. Sementara alasan terdekatnya adalah tercipta momentum akibat ketegangan hubungan Indonesia Belanda dalam masalah Irian Barat dan pelaksanaan dari keputusan pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) oleh pihak Indonesia pada tahun 1956 (Kanumoyoso, 2001: 1, 2, 53).

Pada 29 November 1957 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengesahkan suatu resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian mengenai masalah Irian. Kegagalan tersebut mengakibatkan timbulnya sikap anti Belanda di Indonesia. Pada 3 Desember 1957, serikat buruh di Indonesia mulai alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda, sekaligus menandai dimulainya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 5 Desember 1957 terbit perintah pengusiran oleh Departemen Kehakiman terhadap 46.000 warga negara Belanda. Pada 13 Desember 1957, Angkatan Darat (AD) menetapkan penguasaan atas perusahaan-perusahaan yang telah diambil alih. Tindakan ini dilakukan AD untuk menghindarkan jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut ke tangan komunis (Kanumoyoso, 2001: 3).

Sebenarnya upaya nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1951. Konteksnya adalah perlunya Indonesia memiliki bank sentral, yang menurut hasil KMB pada 2 November 1949 adalah De Javasche Bank (DJB). Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi DJB melalui Undang tentang Nasionalisasi DJB pada 15 Desember 1951. Indonesia membeli saham DJB senilai 8,95 juta gulden pada 3 Agustus 1951. Dengan modal saham tersebut Indonesia menyatakan berdirinya Bank Indonesia pada 1 Juli 1953 (Kanumoyoso, 2001: 34).

Sebelum diberlakukannya undang-undang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, pengambilalihan milik asing di Indonesia secara hukum diatur dalam Onteigeningsordonanntie (peraturan penyitaan hak milik) tahun 1920. Perusahaan yang diserahkan adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Jawatan Kereta Api, Jawatan Pos Telegram dan Telekomunikasi (PTT), Jawatan Pegadaian, Jawatan Angkutan Motor RI, dan perusahaan perkebunan. Sebagian lainnya berupa kerja sama yaitu Garuda Indonesia Airways (GIA) dari Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij (KNILM) dan perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschapij (KPM) (Kanumoyoso, 2001: 34-35).

Akhirnya, pemerintah Indonesia menerbitkan undang-undang nasionalisasi pada akhir 1958. Berdasarkan rapat parlemen tanggal 3 Desember 1958 disetujui pemberlakuan undang-undang tentang Nasionalisasi Perusahaan-

Perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Pengesahannya dilakukan pada 27 Desember 1958. Menurut undang-undang tersebut perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia dikenakan nasionalisasi dan menjadi milik penuh dan bebas negara Indonesia. Bagi perusahaan yang dinasionalisasi diberi ganti rugi sesuai dengan undang-undang tersendiri (Kanumoyoso, 2001: 49).

Lalu, bagaimana dengan N.V. Papierfabriek Padalarang setelah diambil oleh Penguasa Perang di Staf Kwartier TT.III Bandung pada 3 Januari 1958? Dalam pemberitaan koran-koran di Belanda pada minggu kedua Agustus 1958 masih dikatakan bahwa selama Agustus 1958, manajemen perusahaan niaga dan industri Belanda yang diambilalih oleh pemerintah Indonesia selama kampanye anti Belanda akan diserahkan dari pihak militer ke kalangan sipil. Menurut kabar burung, perusahaan Belanda yang ada dalam daftar pertama akan dinasionalisasi adalah cabang Philips, percetakan Kolff, N.V. Papierfabriek Padalarang, dan pabrik cat P. A. Regnault (Nieuwsblad van het Noorden; De Tijd; dan Het Parool, 12 Agustus 1958).

Realisasinya, menurut Kanumoyoso (2001: 66), pengelolaan perusahaan industri Belanda yang diambilalih dilakukan oleh Badan Penguasaan Industri dan Tambang (BAPPIT). Dari 179 perusahaan yang diambil alih, yang dianggap penting untuk masyarakat umum langsung dikendalikan oleh pemerintah, sedangkan yang kurang penting diserahkan kepada pemerintah daerah, dan dilakukan pengubahan nama menjadi bernuansa Indonesia.

Salah satu perusahaan industri yang diambil oleh BAPPIT Pusat adalah N.V. Papierfabriek Padalarang beserta anak usahanya, N.V. Letjes, dan dilakukan pengubahan nama menjadi Perusahaan Kertas Negara Padalarang/Letjes (Kanumoyoso, 2001: 90-92).***

 

Keterangan foto:

N.V. Papierfabriek Padalarang konon termasuk perusahaan Belanda yang pertama-tama akan dinasionalisasi. Sumber: Het Parool, 12 Agustus 1958.

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang