Secara sederhana, internet diartikan sebagai lalu-lintas pertukaran paket (informasi) yang diatur oleh perangkat (aturan) tertentu. Bila Anda mencari definisinya di Google, banyak sekali pilihan pengertian dengan diksi yang tampaknya kesulitan menginjak bumi.

Dalam perjalanannya, internet kerap mengalami kontekstualisasi pengertian. Beberapa tahun terakhir, ia menjelma saingan buku (fisik) sebagai jendela dunia. Citra positif itu terus melekat ketika sekolah, kampus, perpustakaan, perkumpulan kreatif semacam organisasi kebudayaan dan taman bacaan masyarakat (TBM) merasa (makin) bergengsi ketika fasilitas komputer dengan Wi-Fi mereka miliki. Kampanye Internet Sehat atau Internet Aman yang digalakkan oleh pemerintah ataupun lembaga dan komunitas yang peduli terhadap efek negatif yang ditimbulkan teknologi informasi, justru menjadikan posisi internet sebagai sumber ilmu pengetahuan makin kuat. Bahkan, karena kepraktisan dan alasan lainnya, internet dipandang lebih dibutuhkan daripada buku, koran, majalah, atau jenis media informasi berbahan kertas (fisik) lainnya. Kalangan–terutama orang tua–yang mulai mencemaskan pengaruh negatifnya dengan mengambil langkah “Kembali ke Buku” pun nyaris tak terdengar gaungnya sebab kalah jumlah dari mereka yang pro internet.

Penyimpangan sosial, hilangnya norma kesopanan, pelanggaran hukum, dan fenomena informasi palsu (hoax) adalah dampak negatif internet yang lebih dari cukup untuk menyebut bahwa teknologi informasi itu adalah serentetan bom yang waktu meledaknya selalu lebih cepat dari yang diperkirakan. Bahkan kalangan yang tidak menggunakan varian media sosial gencar mengampanyekan hidup tanpa (tergantung) internet. Biasanya, mereka menjual nostalgia sebelum tahun 2000-an sebagai jualanan. Meskipun beberapa pengampanye menunjukkan kontradiksitas sebab kampanye itu justru mereka lakukan di internet, di akun media sosial mereka sendiri.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa internet telah menjadi sebuah hegemoni atas kehidupan manusia modern. Menerima keberadaannya adalah keniscayaan, meskipun memperlakukannya dengan prinsip kehati-hatian bukanlah hal yang mudah, bahkan bagi penghuni kota (besar) hal itu adalah kemustahilan, sebuah utopia.

Di tengah riuh lalu-lalang pelbagai jenis informasi yang diantar oleh internet, penggunanya dituntut cerdas dalam memilah, menerima, mengolah, dan menyebarkannya, meskipun hampir mustahil mewujudkannya sebab gadget yang dapat digunakan oleh siapa-dan-di-mana saja. Kampanye internet sehat/aman pada akhirnya adalah lelucon dan kesia-siaan selama situs-situs yang bermuatan pornografi, amoral, dan hoax masih bebas hidup dan berkembang biak dengan gembira di bawah relatif-dan-biasnya batasan tentang hal-hal yang merusak itu sendiri.

Di sinilah, mereka yang terus mengupayakan masyarakat cerdas informasi atau biasa disebut pegiat literasi dituntut memainkan perannya. Atau dapatlah dikatakan, ini adalah tanggungjawab utama atas gelar mulia yang mereka sandang. Di era teknologi informasi ini, pegiat literasi yang biasa tumbuh dan berproses dalam wadah TBM dan komunitas literasi lainnya, dituntut sudah sembuh dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan internet. Mereka seyogyanya menjadi motor penggerak di tengah masyarakat, militan mengupayakan banyak perubahan, dan pelahap buku-buku bermutuatau bahkan para penulisyang terus melahirkan buah pikiran segar berorientasi solusi. Tak ada lagi waktu untuk membincangkan ini-itu sebab di saat yang sama pegiat literasi diharuskan membereskan tiga urusan sekaligus: mengisi kepala agar cerdas, mengisi dada agar stok ketulusan dan kesabaran tak gampang habis, dan tentu saja cakap memengaruhi orang lain.

Anak-anak dan remaja, dua kelompok besar pengguna internet yang cenderung melakukan banyak hal atas dasar kesenangan; agresivitas teknologi informasi yang nyaris tak terkejar, gerakan memasyarakatan internet sehat yang lebih kerap menjadi bumerang, dan kacaunya muatan dan batasan informasi sehat dan buruk, adalah kenyataan-kenyataan mengenaskan yang membuat tugas sosial ini menjadi jauh dari kata mudah. Bahwa jumlah para pegiat literasi tidak banyak adalah realitas lain yang seharusnya tak perlu dikemukakan sebab ia adalah ciri yang melekat pada kelompok mereka yang berjuang.

Keadaan di atas tak jarang membuat usaha dan harapan pegiat literasi seperti membentur dinding mahakeras atau seperti melawan arus di dalam sungai keruh yang melingkar sehingga bunyi salah satu potongan sajak Chairil Anwar—Hidup hanya menunda-nunda kekalahan–terdengar begitu harfiah, begitu pesimis.
Di tengah situasi buruk yang menggila dan nyaris tak terkontrol itu, pegiat literasi tak seharusnya hanya berkutat di bawah papan nama gerakan dengan segala visi-misi inkslusif namun dijalankan oleh relawan yang eksklusif, sebab internet telah menjadi salah satu jendela (rusaknya) dunia sehingga tiap individu yang memiliki kesadaran dan empati terhadap masa depan bangsa seharusnya terpanggil untuk menjaga jendela itu, menjadi pegiat literasi!(*)

Lubuklinggau, 26-27 Februari 2017