Oleh. Atep Kurnia*

Ketika saya kecil kata “derentén” demikian akrab di telinga, terutama saat Hari Raya Idulfitri tiba. Kata tersebut tentu saja ditimba dari bahasa Belanda, “dierentuin” yang berarti kebun binatang, di telinga serta lidah Sunda menjadi “derentén”.

Dulu, setiap tibanya hari lebaran, banyak warga yang tinggal jauh dari Kota Bandung, sengaja pelesir ke kebun binatang di dekat Jubileumpark atau Babakan Siliwangi itu. Dari Cicalengka di timur Kabupaten Bandung, misalnya, keluarga saya akan menggunakan kereta api lokal dan turun di Stasiun Bandung, lengkap dengan bekal berupa nasi timbel, uras atau leupeut, gorengan kacang dapros, dan lain-lain.

Kebiasaan ini barangkali masih berlangsung hingga sekarang, meski saya sendiri sudah lama sekali tak lagi melakukannya. Tinggal kenangannya saja, seperti juga yang saya baca dari berita-berita lama. Seperti yang direkam Entjep dalam rubrik “Panganggoeran” berjudul “Papanggihan dina Lebaran” (Sipatahoenan, 19 Januari 1934/3 Sawal 1352). Hari Lebaran 1934, kata Entjep, cuaca di Bandung panas dan hujan (“Dina dinten Lebaran teh, aja panas sareng aja hoedjan di Bandoeng mah”).

Secara berkelakar Enjep mengatakan situasi tersebut tidak menghalangi orang untuk berziarah atau pelesir ke tempat-tempat rekreasi, meski menyebabkan bedak yang dikenakan luntur karena keringat dan muka jadi belang. Demikian pula ke kebun binatang, katanya banyak yang pelesir ke situ untuk bersilaturahmi dengan para penghuninya (“Ka dierentuin [kebon binatang] oge re noe ngahadja pelesir ka dinja, meureun hajang silatoerachmi djeung noe araja di dinja”). Oleh karena ada yang pupurnya luntur, Entjep bilang khawatir tertukar dengan kuda zebra (“Lamoen di Dierentuin aja sebra mah, palangsiang matak pahili, sanadjan teu sakaroepa oge”).

Penghuni kebun binatangnya juga turut diberitakan. Dalam edisi 21 Desember 1935 (25 Puasa 1354) dikatakan untuk liburan mendatang, maksudnya saat Lebaran, ada atraksi baru (“Tambah deui bae pikaresepeun teh, babakoenan keur baroedak, anoe moal boa bakal nambahan ramena dina pakantji n.b.d”) berupa tikus putih lengkap dengan kandangnya yang diatur rapi (“Beurit barodas ajeuna mah, noe prakprakan pamatoehan djeung disina matoehna katjida apikna”) dan baling-baling untuk bermain mereka (“Djaba ti eta teh, di djero koeroeng aja kokoletjeran, paranti tjoetjoeutan”).

Demikian juga ular yang diberi kandang baru mulai dipamerkan pada 7 Desember 1937 atau 3 Sawal 1356, dalam Sipatahoenan edisi 8 Desember 1937 (“Bedja ti Kebon Sato”). Di situ disebutkan, “kandang oraj anoe kakara anggeus ngamimitian ditongtonkeun ka djelema rea”. Ular yang dipamerkan hanya yang tidak begitu berbisa, belum memasukkan yang sangat berbisa (“Pikeun saheulaanan anoe diteundeun di eta kandang teh woengkoel oraj2 anoe henteu maratih bae”).

Jumlah pengunjung Kebun Binatang Bandung pada hari Lebaran memang mencengangkan, karena bisa mencapai puluhan ribu. Dalam edisi Sabtu, 26 November 1938 atau 3 Sawal 1357 yang bersumberkan dari kantor berita ANETA, bangsa Indonesia yang berkunjung pada hari Lebaran ke Kebun Binatang berjumlah dari 40.000 hingga 50.000, naik berkali lipat dibandingkan dengan hari sebelumnya yang hanya berjumlah 500 orang (“Aneta mere bedja, jen dina powe Rebo geus aja 500 Indonesier anoe daratang ka kebon sato, tapi dina powe Kemisna [powe lebaran] djadi tambah nepi ka kira2 40 a 50.000 oerang”).

Salah satu penyebabnya adalah pada hari tersebut tidak dipungut karcis masuk kebun binatang (“Ieu pantes oge loba noe ngagoenakeun kasempetanana powe lebaran ongkoh powe eta teh pikeun Indonesier mah diperekeun [teu koedoe majar]”).

Menjelang lebaran tahun 1359 (1940), Bavian, seekor monyet dari Sulawesi, melahirkan tiga ekor anak. Dengan adanya penghuni baru itu, konon menurut wartawan dengan berkelakar dalam Sipatahoenan edisi 30 Oktober 1940 (28 Puasa 1359), para pengurus Kebun Binatang Bandung menantikan para pengunjung pada hari Minggu dengan membawa makanan bagi yang baru saja melahirkan itu (“Pangoeroes Kebon Sato katjida ngarep2na soepaja dina powe Ahad n.b.d. oge loba noe merloekeun ngalajad ka noe anjar ngadjoeroe sarta etang2 njeumpal noe saroemping teh disoehoenkeun soepaja kersa njandak djeroek, roti, koeweh djeung boeboeahan …”).

Tentu saja, tempat rekreasi lainnya banyak pula dijadikan tujuan pelesir pada hari Lebaran. Misalnya Situ Aksan, danau buatan, di Kota Bandung, dalam berita Sipatahoenan edisi 29 November 1938 (6 Sawal 1357). Menurut berita bertajuk “Sitoe Aksan djeung Lebaran” itu dikatakan bahwa tiada danau paling terkenal di Kota Bandung selain Situ Aksan, yang biasa dijadikan tempat berekreasi, terutama berlayar, oleh segala bangsa.

Konon, nama danaunya diambil dari nama pemiliknya yang bernama Aksan, tetapi danau itu kemudian dibeli oleh Bank DENIS (“Ari noematak dingaranan Sitoe Aksan teh, sabab anoe kagoengan eta sitoe djenenganana Djrg. Aksan. Ajeuna mah eta sitoe teh geus lain kagoengan Djrg. Aksan, tapi bogana DENIS”).

Menurut berita, sejak hari lebaran hingga hari Minggu (27 November 1938), banyak sekali yang mengunjungi Situ Aksan, untuk berlayar atau hanya bermain-main, dari pagi hingga sore. Pendapatan dari sewaan perahu pun sangat banyak, apalagi sewaan per jamnya dipungut f. 0,50. Demikian pula para pedagang yang mangkal di danau itu. Pada hari Lebaran, keceriaannya ditambah dengan pementasan Longser Abang Lege.

 

 

Keterangan foto:

 

Pada hari Lebaran tahun 1938, jumlah pengunjung ke Kebun Binatang Bandung mencapai puluhan ribu orang. Sumber: Sipatahoenan, 26 November 1938.

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang