Beberapa waktu lalu saya ke luar kota untuk mengunjungi seorang pengarang untuk kebutuhan riset novel terbaru saya. Terakhir kali kami bertemu enam tahun yang lalu, itu pun karena kami diundang di acara yang sama. Saya sedikit syok dengan perubahan yang dialaminya. Ia kini menjadi tak bisa berhenti bicara bila sudah diberi kesempatan. Memang, dulu kami tak dekat–kami dulu hanya sempat bertukar sapa–dan tak mengenal satu sama lain. Tapi setahu saya dalam sejumlah forum diskusi dalam acara yang kami hadiri itu, dia tidak sevokal ini. Karena tabiatnya yang baru saya ketahui tersebut, saya tidak leluasa mengungkapkan maksud kedatangan saya. Walaupun secara tidak langsung ia meminta saya untuk menyimak apa saja yang dikatakannya sebab sedikit-banyak bualannya akan berhubungan dengan apa yang hendak saya cari, saya tetap merasa dikendalikan dan itu sungguh membuat saya tidak nyaman.
Materi pembicaraan kami–lebih tepatnya dia–menyasar ke mana-mana. Tentang budaya, sastra, sejarah, kesenian, politik, dan lain-lain. Tak terbantahkan, ia memiliki pengetahuan luas dan yang lebih penting lagi adalah, entah ia sadari atau tidak, ia benar-benar mendominasi pembicaraan.
Sebagai seseorang, yang secara psikologi, bertipe dominance–yang (juga) gemar berbicara, menyukai keramaian, selalu mencari panggung, memiliki naluri memimpin yang kuat, dan bukan pendengar yang baik–saya merasa terintimidasi. Awalnya, saya merasa sulit berkembang sebab saya nyaris tidak memiliki kesempatan menunjukkan siapa diri saya. Namun melewati dua jam pertama saya bisa berpikir lebih tenang hingga akhirnya sebuah bohlam menyala di kepala saya. Mengapa saya tidak memanfaatkan ini untuk menimba ilmu secara gratis? Saya tersenyum sendiri.
Meskipun belum satu karyanya pun yang saya baca, mendengarnya bicara benar-benar kuasa menerbitkan berbagai gejolak di kepala saya–tentang tumpukan bacaannya yang saya tebak lintas genre dan tebal-tebal, orang-orang cerdas di sekelilingnya, dan karyanya yang tentu saja bagus-bagus. Perihal yang terakhir membuat saya sempat merutuk tentang abainya saya dengan karya-karyanya selama ini.
Selama perbincangan, pikiran saya kerap mengembara pada judul buku-bukunya dan saya juga teringat kalau semua buku-bukunya ia terbitkan sendiri alias indie. Saya tahu, sebagian karya-karya bermutu dengan idealisme pantang-kompromi banyak lahir lewat jalur penerbitan ini. Kenyataan itu membuat saya makin cemas sebab saya khawatir tidak bisa mendapatkan buku-bukunya. Sebenarnya saya bisa mengungkapkan langsung kepadanya bahwa saya ingin membeli buku-buku karyanya langsung darinya sebab setahu saya buku-buku indie kerap dipasarkan sendiri oleh penulisnya. Namun kekhawatiran lain menyeruak: bisa-bisa saja dia mengira itu adalah trik saya untuk mendapatkan buku-bukunya secara gratis. Beberapa kali ia perlu memastikan apakah saya masih mendengar kata-katanya atau tidak karena saya kerap bengong ketika ia bicara. Meskipun sedang memikirkan hal-hal lain di waktu bersamaan, sebenarnya kebengongan saya tidak otomatis membuat kuping saya tidak menjalankan fungsinya sebagai indera pendengaran.
Tanpa disadari kami sudah berbincang hampir enam jam dan sebagai seseorang yang pertama kali bertamu, saya pikir saya tidak bisa bertahan lebih lama lagi meskipun itu takkan mengingkari kenyataan bahwa saya telah berada di rumahnya cukup (atau sangat) lama. Namun saya tentu tidak akan bertahan selama itu bila ia menunjukkan sinyal ketidaknyamanan dengan kedatangan saya dan sejumlah topik (kata lain dari sejumlah pertanyaan) yang saya ajukan. Ia malah tampak sangat senang, bahkan seolah menemukan eksistensinya, sebab ia berhadapan dengan seseorang yang haus ilmu seperti saya.
Entah bagaimana, hari itu saya lebih banyak mendengar daripada bicara. Menyadari hal itu, termasuk ketika menulis ini, sungguh menerbitkan kebanggaan. Saya telah berhasil membunuh hasrat untuk unjuk-kekuatan–meskipun karena terdesak keadaan.
Menjelang sore saya pamit. Seolah memberkahi suara hati kecil saya sepanjang hari, Tuhan menggerakkan pengarang-serba-tahu itu untuk menghadiahi saya tiga bukunya. Sebuah novel dan dua kumpulan puisi. Sesampai di rumah, hampir saja saya langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam agar saya memiliki waktu dan suasana yang leluasa untuk melahap buku-buku yang baru saya bawa itu apabila saya tidak melihat istri saya mengejar dua anak kami yang masih batita berlarian ke sana-kemari karena tak mau mandi.
Malam harinya, usai bermain dengan anak-anak dan mengantar mereka terlelap dengan dongeng Batu Belah Batu Betangkup yang diceritakan sebanyak empat kali dalam versi yang sama, saya pun membawa novel dan kumpulan puisi pengarang itu ke bale-bale di ruang tengah dan menyantapnya dengan posisi favorit: bersandar pada tumpukan bantal di salah satu sisinya.
O oh ternyata saya melahap tiga bukunya cepat sekali. Meloncat-loncat. Dengan tak henti mengutuk diri sendiri tiap beberapa menit!
Pengalaman membaca karya-karya pengarang-yang-hebat-berbicara itu memberikan saya pelajaran, bahwa kehebatan seorang pengkarya tetaplah dinilai dari karyanya, bukan dari kecakapannya berbual dalam mempresentasikan atau memasarkan isi kepalanya. Bukan!
Hemat saya, baiknya seorang pengarang membiarkan orang-orang (pembaca) tahu isi kepala pengarang lewat karangan-karangannya, lewat karya-karyanya, bukan dengan cara yang lain, termasuk dengan menjadi pembicara yang andal!
Tentu tak dilarang apabila seorang pengarang memiliki kecakapan berbual yang tak kalah hebat dengan mutu karangannya. Dan tak juga salah apabila seorang pengarang yang kemampuan mengarangnya tertinggal jauh dibanding kecakapannya berorasi, sebagaimana tidak-berdosanya-seorang-pengarang yang bernasib mengenaskan dalam mengarang dan berbicara. Yang mungkin menjadi menggelikan adalah apabila seorang pengarang tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa seorang pembicara yang memukau tentulah seorang pengkarya yang bermutu, lalu pengarang lain serta-merta menjadi minder karena kehebatan pengarang lain memamerkan wawasannya, lalu hiduplah pernyaataan yang menyesatkan: seharusnya setiap pengarang cakap menyampaikan isi kepalanya secara lisan!
Yang keliru adalah apabila seorang pengarang berpikir bahwa ia tidak perlu membaca (banyak) buku bermutu, tidak perlu mengikuti perkembangan dunia pengetahuan, tidak perlu menjadi kritis dengan lingkungan dan pemerintahan, sebab ia seribu-tujuh-ratus-dua-puluh-tiga persen percaya bahwa mengarang adalah tentang kecakapan memadu-padankan kata dengan imajinasi yang tak terbatas. Itu saja! Pengarang model begini telah semena-mena memberi pengertian pada ungkapan Mengarang adalah tentang bagaimana, bukan apa (yang dikarangnya).
O ya, saya lupa memberi tahu bahwa: buku-buku bagus selalu mampu membuat saya membaca dengan sabar, runut, dan utuh, bukan dengan loncat-halaman dan merutuk sepanjang pembacaan sebelum menempatkan buku tersebut di rak, di antara kelompok barisan buku paling berdebu sebab saya tak (lagi) tertarik membaca semua buku itu, sampai selesai.(*)