Dalam satu dekade terakhir, gerakan literasi di Indonesia makin menggeliat. Bahkan, gerakan ini bukan hanya terafiliasi ke kalangan elite-akademik seperti sastrawan, penulis, jurnalis, sejarawan, pustakawan dan para pemikir. Kini gerakan literasi telah disambut dengan semarak oleh kalangan non-elite akademik seperti tukang becak, sopir angkot, sopir bemo, tukang cilok, kelab motor dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. keterlibatan mereka murni dari dorongan pribadi dengan dana swadaya. Ada yang menggelar lapak buku di pusat-pusat keramaian, ada yang membawanya ke hutan-hutan menemui masyarakat terpencil, ke rumah-rumah, puskesmas, kolong jembatan dan sebagainya (Venayaksa, 2018).

Pemerintah pun menyambut positif gerakan literasi yang demikian semarak di masyarakat. Bahkan pada momen Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2017), Presiden Joko Widodo mengundang para pegiat literasi ke Istana, sebagai bentuk penghargaan sekaligus meminta gambaran utuh mengenai geliat itu di lapangan.

Akan tetapi, di tengah massifnya gerakan literasi, masih ada sekelompok orang yang mencederai semangat itu. Baru-baru ini, pada 3 Agustus 2019 sekelompok masyarakat secara sepihak telah melakukan razia buku di salah satu toko buku di Makassar. Buku-buku yang dirazia adalah buku yang mereka tuding mengajarkan Marxisme dan Leninisme. Sebelumnya, razia buku juga terjadi di Probolinggo, yang dilakukan oleh aparat. Dua orang penggiat literasi yang tengah menggelar lapak baca gratis dirazia lantaran terdapat buku yang dituding berpaham serupa.

Ini ancaman serius dan preseden buruk bagi nalar kritis dan demokrasi Indonesia. Ada kelompok masyarakat yang memerankan diri seolah memiliki wewenang untuk mengatur apa yang layak dibaca dan apa yang tidak boleh dibaca masyarakat. melarang buku berarti melarang orang mendapatkan ilmu pengetahuan artinya melarang orang menjadi cerdas (@tanah.merdeka, 3 Agustus 2019). Padahal, razia atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak, tidak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah konstitusi pada 2010.

Oleh karena itu, Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) mengajukan keberatan dan menyatakan sikap berikut ini:

  • Forum TBM MENYATAKAN bahwa pelarangan atau razia buku merupakan bentuk represi pada hak masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang telah dijamin oleh Undang-Undang
  • Forum TBM KEBERATAN dengan berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kelompok masyarakat maupun aparat yang melakukan razia buku tanpa melalui prosedur konstitusi yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
  • Forum TBM MENUNTUT Pemerintah untuk secara tegas menegakkan hukum agar tidak ada lagi pelarangan atau razia buku
  • Forum TBM MENGIMBAU kepada masyarakat dan penggiat literasi di seluruh Indonesia untuk tetap menggelorakan kegiatan literasi.
  • Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Selanjutnya, kami membuka ruang diskusi dengan berbagai pihak, agar kejadian ini tidak terulang lagi.

Jakarta, 5 Agustus 2019

Pengurus Pusat Forum TBM

(+62 878-7161-6662, Dr. Firman Hadiansyah)