Oleh. Atep Kurnia*

 

Dalam Urang Banjarsari jadi Inohong di Bojongrangkong (1998: 99), Rachmatullah Ading Affandie (RAF) menyebut-nyebut bedil lodong, petasan, dan mercon secara bersamaan.

Kata RAF, “Sarua jeung di mana-mana bulan Puasa mah ramé téh ku merecon, petasan jeung bedil lodong. Aya 4 toko (Cina) nu ngajualan petasan téh, geus likuran mah dirogrog ku barudak nu ngabuburit, dilalajoan petasan jeroeun kaca teh” (Sama dengan di mana-mana, pada bulan Puasa ramai dengan [yang menyulut] mercon, petasan, dan bedil lodong. Ada empat toko milik orang Tionghoa yang menjual petasan. Ketika tanggal 21 hingga 29 toko itu dikerubungi anak-anak yang ngabuburit. Mereka menonton petasan di balik kaca).

Memang dalam buku Sunda banyak yang memberi keterangan tentang petasan. Kita, misalnya, dapat menemukan keterangannya dalam Babalik Pikir (1932, 2002) karya Samsoedi, Sudagar Batik (1980, 2004) karya Ahmad Bakri, dan Harewos nu Gaib (2005) karya Ki Umbara.

Tokoh Si Emed dalam Babalik Pikir (1932: 24) merasa panas hati sebab teman-temannya telah membeli petasan. Inilah kutipannya: “Babaturan Si Emed kabeh oge geus barogaeun pepetasan, nu sagepok, nu dua gepok. Ari nu pangreana pepetasan Si Junan: cecengekan sapuluh gepok, cacabean lima gepok, elangan arpus atawa siongka lima bungkus jeung rereokan dua gulung.”

Si Emed pun kemudian merajuk-rajuk kepada ibunya yang telah menjanda agar membelikannya petasan. Ibunya bergeming. Tapi karena kasihan, terpaksa ibunya menjual padi. Tapi alangkah naas, saat hendak membeli petasan di Pasar Baru, Bandung, uang yang dibawa Si Emed, raib dicopet orang.  

Dalam Sudagar Batik (1980, 2004) pun ada gambaran seperti itu. Pada novel ini si anak yang malang adalah tokoh Si Inen. Dia merasa sedih sekali tidak terlaksana membeli baju baru dan petasan, karena kambing yang dijual kepada Sanukri belum dibayar. Padahal sebelumnya: “… ari tepung jeung babaturanana di geusan ngarit atawa ngala suluh taya deui nu dicaritakeun teh iwal ti karaesep dina lebaran nu engke, make pakean weuteuh bari nyeungeutan pepetasan.”

         Sementara Ki Umbara memotret kebiasaan menyulut petasan saat malam lebaran. Ia menuliskannya dalam carpon “Ngaraya” (Harewos nu Gaib, 2005). Latar ceritanya daerah Kuningan Timur tempo dulu. Ceritanya berkisah seputar perjuangan seorang lelaki untuk untuk menyambangi kekasihnya sambil membawa petasan yang kemudian disulut di rumahnya, saat malam lebaran.

Judul “Ngaraya” pun sudah merujuk pada petasan. Kata ini merupakan kata kerja untuk menyulut berecon (mercon, petasan) di rumah bebene (kekasih) ketika malam lebaran. Petasan-petasan tempo dulu pun keluar, ada: berecon sapu, sabrang, mata kucing, elong panganten, tatamburan, dan mamarieman.

Dari bacaan di atas saya mendapatkan kesan penggunaan petasan kian ramai saat mamaleman (malam tanggal 21 hingga 29) hingga Lebaran tiba. Di mata anak-anak, mamaleman dipandang sebagai saatnya untuk menunjukkan petasan dan pakaian baru untuk lebaran. Mereka yang belum mempunyainya, jelaslah bersedih hati. Tapi ada juga yang tetap berharap orang tuanya segera membelikakannya.

Entah kapan orang Sunda mulai menyulut petasan, tapi yang jelas, pemakaiannya telah lama. Di antaranya Moh. Ambri (1892-1936) menggambarkannya dalam “Poe anu Dimuljakeun ku Urang Sunda” (Volksalmanak Soenda 1940). Menurutnya “Dina mamaleman, jalma-jalma teh nyararing nepi ka isuk, atawa di sarararena oge sok geus peuting pisan; di unggal imah mabra caraang, malah di pakarangan oge, tampolana ka pipir-pipir mani raang, malah jiga nu paloba-loba. Pating borobotna merecon, pating beledagna petasan sakapeung mah mani teu puguh dengekeuneunana, ngaguruh asa kaindit.”

Dari berbagai berita dan laporan Sipatahoenan antara 1925 hingga 1941, saya jadi mengerti keberadaan petasan merupakan sumber pemasukan bagi pemerintah kabupaten di Priangan, karena dikenai pajak. Umumnya petasan disulut pada acara-acara tertentu, mula-mula biasa dilakukan oleh orang-orang Tionghoa untuk perayaan Imlek, Tjap Go Meh, Peh Tjun, dan lain-lain. Itu sebabnya diperlukan izin menyulutnya dari pemerintah dan pada gilriannya pemerintah kolonial mengenakan pajak.

Produsen, distributor, dan toko petasan pun memang orang Tionghoa, seperti Firma Tiong Sing en Zonen di Zuider Pasarstraat 15, dengan “PEPETASAN! Kaloearan Rembang, Koedoes” (Sipatahoenan, 29 Juni 1935); Toko Eng Bouw di Pasar Baroe 105, yang menyediakan “roepi2 MERTJON sareng PETASAN” (Sipatahoenan, 25 November 1937); Firma Tiong Sing di Zuider Pasarstraat, dengan “pepetasan Tjap Singa” (Sipatahoenan, 9 September 1939); dan Toko Tan Tiam Hin di Zuider Pasarstraat 27 (Sipatahoenan, 28 Oktober 1940). Semua usaha itu ada di Bandung.

Namun, seperti yang sudah diungkap dalam buku-buku Sunda, petasan berkaitan erat dengan Ramadan. Sejak dulu, ada orang yang mencari logika di balik hal tersebut, meskipun berupa sindiran pahit.

Dalam tulisan “Tabligh 17 Romadhon” (Sipatahoenan, 25 November 1937) dikatakan, “Saoerna, dina ieu boelan teh wadjib oerang getol matja tasbih, oelah ngan hajang senang wae, hajoh megat Laelatoel Kadar teh ti peuting, bari hajoh ditjaangan lampoe, magar teh Malaikat bisi poekeun tjenah, borobot dihormat koe pepetasan!” (Katanya, pada bulan ini kita wajib rajin membaca tasbih, jangan mau haya senangnya belaka, terus saja menanti Lailatul Kadar saat malam, seraya terus memberi penerangan dengan lampu, karena takutnya Malaikat merasa gelap, dan diberi hormat dengan menyulut petasan!).

Pembicara dalam acara itu, menyatakan bahwa tradisi menyulut petasan saat bulan Puasa merupakan sesuatu yang sia-sia. Dan bisa jadi secara tersirat, ia hendak menyatakan bahwa tradisi tersebut ditimba atau sebagai hasil akulturasi dengan budaya Tionghoa yang dalam adat-istiadatnya memang erat terkait dengan petasan.

Dari pihak berwenang di Hindia Belanda, yaitu polisi, residen, bupati, hingga panglima angkatan perang turut mengajukan aturan menyulut petasan beserta hukuman bagi pelanggarnya. Tentu saja ini demi mencegah terjadinya hal-hal yang diinginkan. Di antaranya seperti yang dikabarkan dalam Sipatahoenan edisi 27 Desember 1938, 30 Oktober 1939, dan 25 September 1940.

Dalam edisi 30 Oktober 1939, misalnya, dikatakan, “Lantaran ti mimiti tanggal 1 Poeasa oge geus aja noe njeungeut petasan, malah basa malem Ahad djeung peuting tadi oge beuki tambah loba, perloe diingetkeun jen noeroetkeun larangan poelisi noe kaseboet meunang njeungeut petasan teh dina tanggal 2, 4, 6, 8, 10 djeung 11 November n.b.d ti poekoel 6 nepi ka 10 peuting” (Sebab sejak tanggal 1 Puasa pun sudah ada yang menyulut petasan, bahkan malam Minggu dan malam tadi kian banyak, sehingga perlu diingatkan bahwa menurut larangan polisi [waktu] yang diperbolehkan menyulut petasan adalah tanggal 2, 4, 6, 8, 10 dan 11 November yang akan datang dari pukul 6 hingga 10 malam).

Aturan lainnya, pada tanggal 12 November 1939 diperbolehkan menyulut petasan dari pukul 6 hingga 12 malam dan pada tanggal 13 November dari pukul 6 pagi hingga pukul 12 siang (“Dina tanggal 12 November meunang njeungeut ti poekoel 6 nepi ka poekoel 12 peuting djeung dina tanggal 13 November ti poekoel 6 isoek-isoek nepi ka poekoel 12 beurang”).

Memang, sejak dulu banyak orang yang celaka karena petasan. Misalnya anak bernama Binang di Pandeglang yang terluka muka dan lehernya akibat petasan yang disulut saat lebaran (Sipatahoenan, 29 November 1938). Dagangan petasan di Kampung Pagantungan, Serang, terbakar habis karena ada api dari petasan yang disulut oleh anak-anak (Sipatahoenan, 2 November 1939). Tiga orang mengalami kecelakaan karena petasan saat pergantian tahun 31 Januari 1939 ke 1 Januari 1940 di Bandung, yang pertama tubuhnya terbakar, sementara dua orang lagi rumahnya mengalami kebakaran (Sipatahoenan, 6 Januari 1940).

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang