Oleh. Moh Syaiful Bahri*

 

Judul Buku: Guru Posting Berdiri Murid Update Berlari: Transformasi Pendidikan Zaman Kerumunan Virtual

Penulis: J. Sumardianta & Dhitta Puti Sarasvati

Penerbit: Diva Press

Cetak: Cetakan Pertama, September 2022

Tebal: 272 Halaman

ISBN: 978-623-293-724-6

Membincang dunia virtual tidak akan pernah ada habisnya. Ini mungkin babak baru dari kebangkitan era digital. Meminjam perkataan Iqbal Aji Daryono dalam buku Sapiens di Ujung Tanduk bahwa kita ini nyebur ke sebuah dunia yang relatif baru, yang berbeda dengan dunia sebelumnya. Agar bisa lebih kaffah dengan dunia baru ini, semestinya cara pandang dan cara berpikir juga kita sesuaikan.

Perubahan besar dalam komunikasi di ruang-ruang digital cukup pesat mengubah, tidak hanya gaya hidup, lebih jauh tentang pemaknaan manusia atas realitas, tentang dirinya, dan bahkan tentang yang baik dan buruk. Inilah yang dalam bahasa Yuval Noah Harari, yang dipungut F. Budi Hardiman dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada, sosialitas homo sapiens berevolusi berkat gosip. Oleh karenanya, kesadaran atas komunikasi, perubahan dari komunikasi korporeal ke komunikasi virtual meningkatkan kompleksitas kesadaran.

Hari ini, orang bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Anak-anak misalnya, mengerjakan PR sambil lalu mendengarkan musik dan up-date status. Padahal otak manusia berbeda dengan prosesor komputer. Otak manusia itu serial bukan paralel (hlm. 12). Hari ini, gadget cenderung merampas orang untuk berpikir dan bertindak paralel. Cara pandang semacam ini melahirkan keseragaman dalam melakukan apapun. Tak menutup kemungkinan di dunia pendidikan pasca pandemi Covid-19. Pembelajaran beralih ke ruang virtual.

Buku Guru Posting Berdiri Murid Update Berlari: Transformasi pendidikan Zaman Kerumunan Virtual karya J. Sumardianta dan Dhitta Puti Sarasvati membentangkan dinamika pendidikan era digital. Perjumpaan guru dan murid tidak lagi dalam ruang kelas dan pembelajaran jarak jauh di depan layar menjadi habit guru dan murid. Kendati demikian, derajat guru tidak berubah. Guru di Indonesia secara umum bukan profesi terhormat dan terpandang dalam tatanan masyarakat industrial-kapitalis. Anekdot guru posting berdiri murid update berlari menggambarkan kemandegan profesi guru (hlm. 7).

Kumpulan tulisan ini sebagaimana dikatakan penulis, bisa dibaca kapan dan di mana pun. Bisa dimulai dari belakang ataupun depan. Yang jelas, karya ini mencoba untuk menelaah fenomena kerumunan virtual yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam realitas pendidikan. Sejauh ini, kredo kerumunan virtual hanya mencerdaskan kehidupan digital, mensejahterakan pemikiran nitizen dan terlibat dalam ketertiban dunia maya. Orang-orang sibuk untuk mencari sinyal daripada mencari siapa saja orang miskin yang seharian belum makan dan anak-anak yang putus sekolah karena biaya pendidikan.

Padahal kita semua tahu, internet mengorbankan sesuatu yang esensial, tapi mereka tidak mau kembali pada kebiasaan lama. Begitu sesorang mahir kecanduan media sosial, menurut Niholas Carr dalam the Sh@llows (2021), buku tidak diperlukan lagi (hlm. 15). Bahkan mungkin, dalam konteks pandemi Covid-19 sekolah dalam arti fisik juga tidak dibutuhkan. Handphone, komputer, ruang zoom, dan WAG telah menjadi sekolah tersendiri.

Tentu fenomena ini tidak berangkat dari ruang kosong. Fenomena “dunia yang dilipat” dalam satu genggaman gawai terjadi sejak Bill Gates (Microsoft) mempelopori operating system, Mark Zuckerberg (Face Book dan WhasApp) menciptakan social network, Larry Page (Google dan Android) mempekenalkan Search engine, dan Steve Jobs (Apple) terut memperkenalkan apps – aplikasi bisnis yang mempertemukan pembaharuan dengan pasar (hlm. 17).

Teknologi era old tidak ramah kecepatan. Butuh antre, menunggu dan tentu butuh waktu panjang. Iya, benar. Kita semua diajari cara untuk sabar. Lain halnya di era gadget serba ada dan cepat pula. Teknologi komunikasi dan informasi serta algoritma big data memungkinkan melakukan semua ini. apalagi dunia pendidikan, butuh kecepatan dan inovasi dalam melakukan pembelajaran. Sehingga guru dianjurkan juga paham media digital. Tidak boleh tidak. Sebab murid sudah alim di bidang ini.

Dalam bukunya, penulis juga bercerita perihal perjumpaan dengan buku Teaching Outside the Box: How to Grab Your Students By Their Brains karya Louanne Johnson (2015). Seperti yang diceritakan di bab kedua dalam judul “Are you Teaching Material?”. Guru dibagi menjadi tiga kategori, yakni “super”, “excellent”, dan “good”. Pertama super teachers adalah orang-orang yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk mendidik dan mengajar. Tidak semua guru bisa menjadi super teachers.

Mereka bukan hanya tepat waktu, tapi senantiasa datang lebih awal dan pulang lebih sore. Kegiatan belajar mengajar dirancang sesempurna mungkin. Kedua, excellent teachers adalah guru yang mencintai pekerjaan mereka. Kegiatan mendidik tetap jadi prioritas yang cukup utama. Mereka menghabiskan waktu yang cukup untuk merancang kegaiatan belajar mengajar yang menarik. Tapi, guru model seperti ini tidak akan terlalu ngoyo, apabila memang ada kepenting pribadi yang perlu didahulukan.

Ketiga, good teachers ialah guru yang akan memenuhi tanggung jawabnya dengan baik. Mereka tetap merancang kegaiatan dengan baik, memenuhi tanggung jawabnya ketika mengajar, memastikan bahwa siswa berproses dalam belajar, dan mendampingi siswa sesuai tanggung jawab. Tapi, di sisi lain mereka mempunyai batas sangat jelas antara kehidupan profesional dan personal. Ketika di rumah tidak lagi berpikir apa yang ada di sekolah, menyibukkan dengan kesenangan bersama keluarga dan teman, mungkin sedikit lupa dengan apa yang terjadi di sekolah. (hlm. 94).

Di sini, kita tinggal memilih, meskipun hidup tidak melulu soal pilah-pilih. Ingin menjadi atau memiliki guru yang super teachers, excellent teachers, atau good teachers. Tapi, yang jelas berada dalam dunia virtual tidak mudah, butuh energi ekstra. Jika tidak, akan terjebak pada kesenangan semu virtual dan mematikan akal sehat sebagai manusia.

 

*Moh Syaiful Bahri, pegiat literasi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.