Setiap penyair saya kira adalah pencipta realitas, itu bahkan diakui oleh Albert Camus yang absurdis dan bukan penyair dan tak jelas bertuhankan apa selain dirinya sendiri sehingga karenanya ia disebut juga eksistensialis.
Absurdis tidak mencipta realitas tapi justru sangat mengakui bahwa satu-satunya kekuatan yang senantiasa sekaligus sukar tapi bisa dilawan subjek adalah realitas, dengan syarat subjek konsisten dan berani mengambil risiko.
Saya tidak tahu berapa banyak absurdis yang juga menurunkan gambaran-gambaran simbolik mereka ke dalam sikap mereka sendiri dalam dunia praktis? Apakah Meursault merupakan potret praktis Camus, kita tidak tahu. Yang jelas, dalam kehidupan konkret absurdis itu teramat langka, dan Firman Venayaksa adalah salah satunya! Ia sebenarnya sendirian seperti Meursault. Tapi ia menghindari humanisme dan eksistensialisme awal yang masih menolak Tuhan itu. Karena itu pada puisinya saya bisa temukan jalan sunyi itu adalah Yang Simbolik Pemilik Segala Realitas: Tuhan.
Tak terhitung aksinya membakar janggut kekuasaan di hadapan kita sekalian yang dan itu mengandung risiko yang membahayakan dirinya sendiri. Absurd sekali! Jika Meursault itu bergaya lugu, polos, dan tak pernah merasa salah dengan pilihan diri, Firman tidak. Ia heroik di ruang realitas sosial. Firman baru tampak lugu di hadapan kesendirian, sebab ia tak punya siapa-siapa selain Tuhan yang tak terhindarkan secara simbolik.
Blar ini membuat saya bisa mulai melihat bahwa sadar atau tidak memang inti Firman Venayaksa adalah seorang penyair sehingga segala aksinya itu dapat kita pahami sebagai suatu pilihan metodologis untuk mendapatkan sari pati hidup yang ternyata adalah melankolia.
Melankolia jelas bukan lagi perlawanan di ruang medsos yang bersifat lebih segera dan reaktif akibat psikologi sosial itu. Melankolia adalah sejenis nyanyian yang lahir dari meditasi menyusuri jejak-jejak aksi sosial yang telah dilewati subjek. Blar adalah unsur ikonik bagi teriakan yang berdampingan dengan melankolia perlawanan.
Tapi jalan mana yang paling banyak diambil motoris Firman dalam puisi-puisinya ini? Karena di ruang real penuh batu terjal Firman sudah bertindak kongkret mengkritik, memprotes, menyentil, membakar, mengumpat, bahkan kadang pasang dada dan kuda-kuda di ruang puisilah ia punya kesempatan mengambil jalan sunyi sambil sesekali melihat spion ke arah jejak-jejak itu. Maka puisi-puisinya seperti lagu-lagu macam Avenged Sevenfold yang blar-blar-nya alih-alih menciptakan perlawanan macam demonstran malah mengundang air mata sajian drama. Saya juga heran mengapa justru pada nyanyian-nyanyian yang keras selalu terkandung kelembutan tiada tara, dan sebaliknya pada karya-karya yang superlembut malah kerap terdapat kekerasan batin yang ditutupi kuasa tertentu di balik konvensi-moral-estetik.
Dalam puisi pada buku–dan judul ini suatu ikonisitas yang pas sekali dengan tema diskusi kita–subjek mengambil jalan paling ekstrem lagi: lembar demi lembar mengajariku cara menyendiri. Ada paradoks kalau ingat sepak terjangnya di bidang literasi yang di-blar-in melalui jaringan motor literasinya itu, bahwa ternyata ke sana-ke mari bertualang menjalin silaturahmi itu pada tujuannya adalah untuk belajar menemukan diri. Tidakkah ini pesan paling penting dari moli: tanpa kemampuan belajar cara menyendiri, kita tak ubahnya kumpulan ugal-ugalan di jalan raya (dalam puisi koloni ia menyebut kepongpong pada mereka yang baru ugal-ugalan tanpa hasil kontemplasi). Ini hebat sekali. Dan lebih hebat lagi jika hal ini menjadi perspektif kritis untuk mereka yang kerjanya hanya membaca dan tidak bersilaturahmi. Karena dunia buku, kata Firman dalam puisi yang sama, adalah dunia yang menghimpit aku. Maka dunia kepongpong juga stempel buat para akademisi yang tidak ke mana-mana!
Pesan-pesan simbolik serupa itu sesungguhnya menyebar dalam beberapa yang lain. Dalam puisi requiem belajar itu tidak hanya soal belajar menyendiri mencari diri, tetapi juga belajar memahami gegagalan. Dengan kata lain, membaca jika kita kembalikan pada posisinya saat ini yang pejuang literasi tidak sekadar membaca buku, tapi membaca diri dan kehidupan dalam arti luas. Ada pepatah Prof Damarjati Supajar yang bisa saya sulamkan di sini, bahwa menurutnya ‘membaca itu adalah membatinkan yang lahir dan menulis adalah melahirkan yang batin’. Ini bisa saya rasakan pada puisi-puisi Firman, alih-alih ia menunjukkan diri sebagai seorang doktor, ia memilih puisi sebagai jalan untuk menunjukkan pembatinannya pada kehidupan dan menulis adalah melahirkan pengalaman batinnya ini.
Akhirnya harus saya akui bahwa satu hal yang sukar ditransformasi ke dalam pembelajaran menulis puisi adalah soal keberanian memasuki hidup ini. Orang tidak cukup menjadi doktor meja tulis (ini istilah Brower), tapi harus juga memasuki hidup dengan tubuhnya. Anak didik tidak cukup mengenal teori puisi, mereka harus mengenal kehidupan. Maka yang paling penting adalah melahirkan pribadi-pribadi berani macam Firman ketimbang melahirkan para doktor meja tulis yang tipis hubungan sosial yang dapat menyebabkan tipisnya kontemplasi subjek didik.
Mengapa Afrizal Malna penting? Karena ia bekerja dengan pikiran dan tubuhnya. Mengapa Chairil penting? Karena ia memandang iseng sendiri itu tidak pantas bagi manusia. Mengapa Firman Venayaksa bermakna? Karena ia membenarkan inti hidup bukan membaca sekaligus bukan berkeliaran. Inti hidup baginya adalah dialektika keindividuan yang sunyi dan silaturahmi yang nge-blar-in publik yang sedang tidur pulas.
Masukilah hidup dengan blar-blar-blar, jangan takut, agar kau bisa rasakan air matanya, keringatnya, kecupannya, laparnya, panasnya, doanya, Tuhannya, bunga-bunganya, hujannya, hutannya, terjalnya. Tidak ada puisi yang indah. Yang indah adalah kehidupan yang indah.
***
Pada saat kumpulan puisi ini datang ke tepi kolam kecil depan rumah saya, petang lagi hujan, dan segera saya terharu dan bisa menangis menyaksikan Firman selaku dosen, teman, adik, rekan kerja, sahabat bercanda, aktivis penggiat literasi, dll., merekam air matanya di spion-spion perjalanan nge-blar-nya ini.
Betapa tidak, sangat jarang kami bertemu, dan ketika membaca berbagai puisi barunya ini rasanya saya sedang diajaknya menyusuri jalan-jalan batinnya itu. Ia betapa dekat seakan tak mau puisinya saya baca nyaring. Ia teriak tapi dikalahkan hujan gerimis. Ia menahan tangis, tapi basah pula di atas kata-katanya sendiri. Ia berkata dalam “subuh” pada kelopak dunia ini, kita ditakdirkan satu akar. namun tak kuasa kita/ melepas daundaun yang luluh dan jatuh.
Saya bisa rasakan, tanpa harus dihitung jumlahnya, betapa banyak puisi Firman di sini yang bersinggungan dengan alam metafisik tempat Yang Simbolik menjadi satu-satunya pemilik segala realitas.
Tuhan, batin saya, Engkaulah Maharealitas itu, dan betapa besar karuaniamu memberi manusia kemampuan mencipta dan membaca realitas lain yang diperjumpakan kata. Tanpa penyair, kata-kata kami hanya keras, hanya penuh kebenaran sepihak, penuh moralitas palsu, penuh kuasa menindas, penuh kepongpong kosong. Terima kasih Tuhan.
Semogalah puisi-puisi ini membawa penyairnya ke jalan sunyi tempat-Mu menunggu kemanjaannya pulang seperti saat ia pulang ke pelukan ibunya di saat masih kanak ketika halaman rumahnya dikunjungi kekupu cantik. Amin.[]
Arip Senjaya, dosen sastra dan filsafat FKIP Untirta.