Sebagai seorang penulis, saya ingin agar tulisan saya menyentuh sisi personal pembaca. Apa pun latar belakangnya. Menjadi hal yang menyenangkan ketika pembaca merasa tak digurui tetapi justru mendapatkan dorongan dari dalam untuk melakukan perubahan. Jujur, ini bukan pekerjaan yang mudah.

Dalam derajat tertentu, saya menganggap bahwa menulis sama dengan berbicara. Bedanya, berbicara bisa diwakili dengan gerakan nonverbal untuk meyakinkan pembicaraan kita. Tetapi dalam menulis, kita tidak bisa menyertakan gerakan nonverbal itu. Padahal kerap kali, dalam komunikasi, nonverbal inilah yang menjadi bumbu utama terjalinnya sebuah hubungan yang memungkinkan orang bisa berkomunikasi dengan baik. Prinsipnya sederhana, orang tidak akan bisa menjalin komunikasi dengan orang lain kalau terjadi hubungan yang jelek di antara keduanya.

Psikolog dan komunikolog Anita Taylor (1977) pernah berkata begini: “Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting. Banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”

Sehebat apapun pesan yang kita sampaikan (lisan atau pun tulisan), begitu kata Taylor, jika hubungan kita sebagai penulis (komunikator)dengan pembaca (komunikate) tidak terjalin dengan baik maka risiko kegagalannya sangat besar. Artinya, agar pesan (message) kita sampai dan diterima, yang harus kita perhatikan bukan hanya pesannya melainkan juga relasi. Penulis harus membangun hubungan dan kedekatan dengan pembacanya. Jalaludin Rakhmat (1985) mengatakan bahwa setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya menyampaikan isi pesan; kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal—bukan hanya menentukan content tetapi juga relationship.

Mohammad Fauzhil Adhim menawarkan cara yang bagus dalam menjalin relasi antara penulis dengan pembaca. Adhim mengajak kita membuka Al Quran dan menyaksamai surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw: QS. Al ‘Alaq. Ayat pertama berbunyi, “Iqra bismirobbikalladzi khalak.”

Mari kita cermati kata Rabb pada ayat pertama surat Al ‘Alaq tersebut. Rabb artinya Tuhan (merujuk pada tauhid rububiyah). Lalu siapakah Tuhan? Tentu saja Allah. Namun Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai Tuhan, bukan Allah. Dengan memakai logika manusia, pada ayat pertama surat Al ‘Alaq itu, Allah mengenalkan diri sebagai Tuhan—bukan langsung seperti: Bacalah dengan menyebut nama Allah—dengan tujuan manusia menerima dulu bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Tuhan. Setelah manusia bersepakat bahwa pencipta alam semesta bernama Tuhan, Dia kemudian menyebutkan sifat-sifat Tuhan itu pada ayat-ayat selanjutnya. Allah menjelaskan bahwa Tuhan itu alladzi khalak (yang menciptakan), Tuhan adalah yang khalaqol insaana min’alaq (yang menciptakan manusia dari segumpal darah), Tuhan juga yang Al Akram (Yang Maha Pemurah). Sampai di sini, logika manusia akan menghentikan pencarian dan kembali sepakat bahwa Tuhan yang demikian adalah Allah Swt.

Perhatikan, sebelum Allah mengatakan dan memberitahukan bahwa Dialah yang menciptakan dan menguasai segala sesuatu (pada ayat-ayat selanjutnya), Allah menjalin relasi terlebih dahulu dengan manusia. Setelah terjalin hubungan yang erat, barulah Allah “memperkenalkan” diri-Nya.

Konsep relationship sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al ‘Alaq dalam konsep penulisan yang sudah populer, tambah Adhim, akan menjadi kaidah to show not to tell. Misalnya, kita ingin menulis dengan tujuan agar pembaca mengagumi Rasulullah. Dengan hanya menuliskan bahwa Rasulullah adalah seorang yang baik, orang awam belum tentu akan bersepakat dengan kita. Tapi coba tuliskan bahwa suatu ketika Rasulullah ditarik gamisnya oleh seorang Arab Badui karena menginginkannya, Rasulullah dengan segera memberikannya. Atau suatu hari Rasulullah bercanda denga nenek-nenek serta menyapa setiap orang yang dijumpainya, bermain dengan Hasan dan Husein, serta menggendong Umamah—cucunya—ketika beliau shalat. Maka tergambar dengan terang bahwa Rasulullah baik banget ya.

Menunjukkan (to show) akan membantu penulis (lewat tulisannya) untuk menjalin relasi dengan pembaca. Sedangkan to tellhanya akan memperlebar jarak antara penulis dan pembaca.*

*) Fatih Zam, tulisan pertama kali dimuat di www.dpk.banten.go.id