Entah basa-basi atau tulus bin ikhlas, kerap orang bertanya, kok aku terlihat tetap awet muda. Bisa jadi karena hingga di usia 52, rambutku belum tumbuh-tumbuh, sementara tak sedikit bayi yang begitu mbrojol ke muka bumi saja, sudah lebat rambutnya. Tapi yang pasti, saya berpraduga baik, bahwa ucapan itu doa — agar saya tetap awet muda dan awet sehat, terus aktif bergerak, karena “hidup adalah bergerak” dan “bayi/anak yang sehat itu adalah yang banyak bergerak dan karenanya jauhi dari benda yang membuatnya malas bergerak: gadget, smartphone.”

Menanggapi pertanyaan itu, jawabanku selalu sama, karena hobiku: menjadi #pelancongliterasi . Karena dengan menjadi pelancong literasi aku selalu mendapat radiasi cahaya yang menyehatkan. Sinar berlian yang membuat hatiku selalu terpana dan berbuah bahagia.

Siapa mereka?

Para penulis buku, yang membuatku selalu bergairah untuk terus membaca, memahami bacaan, menjaga nalar dan merawat kewarasanku, dan tak henti menjadi pembelajar hingga jatah pulsa hidupku habis di semesta ini. Bukankah kita diminta untuk terus belajar, sejak keluar dari liang bunda hingga ke liang lahat?

Tak sekali-dua, aku berjuang untuk bertemu langsung penulisnya agar kubisa menyerap energi dahsyat yang mereka miliki secara langsung dan tak semata lewat percik perenungan dan pemikirannya yang dituangkan dalam wujud kitab. Menjalin silaturahmi tanpa henti, hingga meminta menjadi muridnya, sebagaimana hubunganku yang tak terputus dengan — salah satunya– Sapardi Joko Damono, meski aku bukan lagi mahasiswanya di Sosiologi Sastra, yang hingga kini memanggilku dengan panggilan sayang: Si Sontoloyo.

Ketika beberapa waktu lalu aku mendapat undangan ke Mesir, yang langsung terbayang di benakku adalah bagaimana bisa menghidu energi Naguib Mahfouz(peraih Nobel sastra 1988) dan Nawal el Sadawi “Perempuan di Titik Nol” — yang karya-karyanya sudah sejak lama kubaca — selain tentunya Sayyidah Nafisah, keturunan kelima Rasulullah SAW, yang juga guru pendiri Mazhab Syafi’i, Imam syafi’i.

Setiba di Kairo, kukunjungi mesjid dan kuziarahi makam Sayyidah Nafisah, mendoakannya dan berterimakasih atas butir-butir pengajarannya, yang cahayanya tetap kuterima meski abad kehidupan kami berbeda.

Sebagai info pelengkap, inilah garis darah almarhumah: Rasulullah SAW > Fatimah – Ali bin Abi Thalib > Hasan bin Ali > Zaid bin Hasan > Hasan bin Zaid > Nafisah (lahir di Mekkah, 145 H).

Beliau hijrah ke Madinah di usia 5 tahun, kemudian menikah, dan bersama suami berangkat ke Mesir pada 193 H. Di Mesir, ia menjadi guru banyak pembelajar, di antaranya Imam Syafi’i , yg hampir selalu menyempatkan diri mengunjunginya untuk belajar, setiap berangkat dan pulang dari Mesjid Amr bin Ash. Imam Syafi’i kemudian wafat pada 204 H, dan sesuai wasiatnya, ia meminta dishalatkan oleh gurunya, Sayyidah Nafisah. Jenazahnya pun dibawa ke rumah Nafisah, dishalatkan lalu kemudian dimakamkan. Sayyidah Nafisah sendiri wafat pd 208 H.

Makam dan masjid Sayyidah Nafisah

Aku juga berlama-lama di Kedai Kopi Al Fishawy yang sederhana, yang letaknya di tengah pasar, tak jauh dari mesjid dan makam Sayyidina Husein, cucu Rasul. Kududuk (katanya) di tempat Naguib Mahfouz dulu duduk. Kutatap foto-fotonya saat duduk di tempat itu, meminum kopi seperti yang (katanya) dulu dicecapnya saat berdialog dengan teman-teman diskusinya, dan saat menulis sejumlah karyanya.

Kutatap dalam-dalam patung wajahnya, saat berkesempatan ke Alexandria dan berkunjung ke musium indah dan bersejarah, Bibliotheca Alexandrina. Di atas tanah perpustakaan inilah dulu perpustakaan terbesar dunia pertama dibangun Ptolemeus II (sekitar 247/285 SM) dan kemudian dibakar habis pada 48 SM, lalu dibangun dan diresmikan kembali pada 2002.

Setelah penulis, lalu siapa?

Berlian-berlian dengan sinarnya yang selalu terpancar indah itu adalah para penebar ilmu sejati, salah satunya, para penggiat literasi sejati langsung di lapangan: pendiri, pemilik, penggerak taman bacaan masyarakat dan pustaka keliling, yang dengan tulus ikhlas terus #tebarvirusliterasi tanpa ambisi berlimpah dan aneh-aneh selain semata mengajak orang untuk tak henti iqra, iqra, iqra… baca… baca… baca…

Karena, jika (anggota) masyarakat sudah tertawan dengan bacaan, selalu terpapar virus literasi, “mabuk”nge-#BIR – baca, iqra, read, maka mereka akan menjadi (anggota) masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Apalagi jika para pejuang literasi dan orang-orang yang datang dan atau “dijemput” serta dijodohkan dengan buku oleh para pejuang literasi itu “berhasil” memadukan perintah pertama: iqra dengan surat kedua yang diturunkanNya ( Al Qalam – pena) alias menggoreskan penanya dan membukukannya, sungguh mereka telah menuju ke level masyarakat literer atau literat sejati.

Bukankah (gerakan) keliterasian, keberaksaraan itu tak semata untuk mewujudkan kemampuan keaksaraan dan kewicaraan semata? Tapi juga 4E: to educate, to empower, to enrich, dan TO ENLIGHTEN (yang memiliki spiritual insight). Mengedukasi, memberdayakan (bukan memperdayakan 😁😁😁), memperkaya (wawasan) dan MENCERAHKAN (MENYINARI).

Berlian-berlian itu menyinari, membuatku tersinari, tercerahkan. Dan aku beruntung menjadi pelancong literasi, yang berjalan ke mana-mana dan bertemu dengan berlian-berlian itu, termasuk saat pengukuhan  Panglima Integritas AntiKorupsi (sebuah hasil “pernikahan” indah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat) dalam rangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.

Sekali lagi, itulah resep “awet muda”ku. Terus disinari dan dikelilingi orang-orang baik. Berlian-berlian sejati.

Dan sampai kapan pun, pelancong literasi itu tak mungkin bisa menjadi berlian itu sendiri, meski berteriak-teriak, mengklaim ke sana ke mari, bahwa akulah Sang Berlian.

Aku tetap seorang pelancong literasi dan sudah sangat berbahagia dengan status buatanku sendiri itu. Dan sahabat literasiku semua, teruslah menjadi berlian, menyinari semesta ini dengan segala kebersahajaanmu. Tanpa perlu mengaku-aku sebagai berlian, kalian sudah bersinar dengan sendirinya.

Jika pun ada yang mengaku-aku sebagai berlian dengan memanfaatkanmu, hadapi dengan santai. Percayalah, semesta akan bekerja sendiri tanpa perlu kita teriaki untuk menempatkan semuanya pada porosnya. Dan, siapa pun tahu membedakan, mana berlian, mana yang ngaku-ngaku berlian. Bahkan yang berkalung berlian sekali pun, tetap tak akan bisa menjadi dan diaku berlian, meski tenggorokannya rusak untuk berteriak hingga parau meminta diaku berlian.

Dan, berlian, berada di kota atau di pelosok, disorot media atau pun tidak, di bawah sorot sinar lampu atau di kegelapan, tetaplah berlian.

Salam literasi.
Salam integritas.

Tabik.

*) BERLIAN – BERjuang di dunia keLIterasian dengan sepenuh keikhlasAN.