Hari itu adalah hari libur nasional. Saya menyempatkan diri untuk mudik ke rumah. Saya bisa menikmati kebebasan menghirup udara rumah, menikmati suasana ramai keponakan-keponakan saya, kakak saya yang bercerita kesana kemari dan suara bising kesibukan ibu saya. ini adalah suasana yang paling saya rindukan ketika saya disibukkan dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Namun semua yang ada di rumah kini, sangat berbeda dengan yang terjadi sepuluh tahun lalu saat saya masih anak-anak.
Keponakan pertama saya asyik seharian menikmati permainan yang ada di laptop, keponakan kedua saya asyik dengan playstasion. Kakak saya sibuk dengan telepon genggamnya. Di ruang belakang, ibu saya menunggui nasi yang hampir matang sambil menghancurkan bumbu dengan blender. Di depan rumah, bapak asyik dengan mobil yang sedang menikmati musik dan mencoba AC baru di mobilnya. Atas dasar situasi ini, dalam benak saya terbesit pemikiran bahwa dunia telah berkembang, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah mengubah sendi kehidupan.
Sepenggal aktivitas keluarga saya saat ini membuat saya menyimpullkan bahwa dalam jangka waktu tertentu terdapat kehidupan yang sangat berbeda. Tiga perbedaan perbedaan yang saya alami sendiri saat ini yakni perbedaan dalam hal informasi, transportasi, dan teknologi komunikasi. Rupanya tiga hal ini yang kemudian menjadi pembeda seluruh dimensi kehidupan dulu, saat ini, dan masa depan. Perbedaan yang terjadi dalam keluarga saya, tentu saya kira sama seperti yang terjadi dimasyarakat.
Berbagai perubahan yang terjadi saat ini dalam kehidupan sehari-hari seyogyanya mengubah pula pola pendidikan kita. Konsep pendidikan masyarakat seharusnya mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan masa kini, agar masyarakat dapat adaptif dan kompetitif di masa yang akan datang. Namun, untuk mewujudkannya tentu tidak hanya dengan satu tangan, yaitu seorang pendidik. Akan tetapi, komponen yang ada di dalam masyarakat harus sepenuhnya terlibat dan mendukung kegiatan yang disandingkan untuk masyarakat.
Pegiat literasi pada umumnya, merasa ingin semua masyarakat di sekelilingnya pintar dengan buku. berbagai usaha mencari buku pun dilakukan agar buku-buku yang tersedia menarik minat masyarakat. Apakah benar itu yang masyarakat harapkan? Apakah buku yang banyak akan membuat masyarakat menjadi literet? Ada yang menjawab ya atau tidak. Itu pasti. Seorang pegiat literasi adalah pendidik. Maka, tentu saja pegiat literasi harus tahu tentang pendidikan. Menurut Yunus Abidin, seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, ada empat kompetensi utama yang perlu dimiliki oleh generasi muda dan masyarakat pada umumnya, yakni kompetensi berpikir, kompetensi bekerja, kompetensi berkehidupan, dan kompetensi menguasai alat untuk bekerja.
Sebagai pegiat literasi yang berkecimpung dalam pendidikan masyarakat tentunya perlu mengetahui empat hal ini agar mengetahui tujuan yang akan dicapai dalam menggerakkan literasi di masyarakat. Bukan hanya soal buku yang banyak, administrasi yang lengkap, perizinan yang bernotaris, itu hanya sebagai bagian dari mempermudah dalam bergiat. Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana buku sebagai media literasi para pegiat literasi dapat menjadi sumber yang menyenangkan bagi masyarakat. Media tentu memerlukan seseorang yang menggunakan dan objeknya. Pegiat literasi harus bisa bertanggungjawab dengan media [buku] yang disandingkan dan berjajar rapi di rak buku. mempertanggungjawabkan dari konteks pengetahuan dan konteks budaya. Pegiat literasi dituntut untuk bisa mempunyai kemampuan berbicara. Itu pasti. Berbicara yang imajinatif, kritis dan berpikir kreatif dengan nilai-nilai etika dan estetika yang dapat membunyikan bahasa.
Keterampilan berbicara yang dimiliki oleh pegiat literasi inilah yang nantinya dapat memberikan kesan positif dalam setiap ajakannya. Membuat program kegiatan yang kekinian yang dapat menggali potensi masyarakat. Memang tidak mudah mempunyai keterampilan berbicara tapi semua butuh proses yaitu dengan belajar [membaca]. Inilah yang sedang saya dan kawan-kawan relawan pustaka lakukan di Wadas Kelir. TBM harus selalu mampu menjadi bunglon. Menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat.
Pada dasarnya, abad 21 memang sudah mempermudah kegiatan masyarakat, namun mempermudah bukan berarti meremehkan komunikasi langsung. Ada rasa saling menghargai dan menghormati yang masih membudaya di negeri ini yang perlu kita syukuri. Kegiatan yang dilakukan oleh TBM yang mengundang masyarakat dengan proses ajakan [lisan] akan memberikan kesan lebih dihargai dan merasa diharapkan kedatangannya. Masyarakat pun akan senang dengan kegiatan yang dilakukan oleh pegiat literasi.
Salam Literasi! J
Semoga Bermanfaat!