Kupandangi, ah sekali lagi, pikirku. Aku tak pernah jemu berhadapan dengan cermin dengan tangan kiriku memegang fotomu. Siapa pun di antara kami yang akan mengungkapkan hal apa pun, akan kami temukan kesamaan. Semua rindu terkumpul pada satu ruang senja yang selalu setia hadir di manapun kami berada. Sampai kini aku melihat kita sedang membuka sebuah misteri. Pernah kau bercermin kawan? Apa yang kau lihat? Di sini aku melihat pinang dibelah dua, yah kekuatannya seperti lubang hitam menarik sisi manapun dari diriku.

S

enja baru saja usai di Paris. Kulangkahkan kaki secepat mungkin beranjak menuju apartemen. Aku tak ingin kalah, berlomba dengan air langit yang tak tertahan lagi akan tumpah. Apartemenku tak jauh dari tempat senja yang selalu menjadi ruang transfer untuk senjamu hanya berjarak beberapa meter dari manara Eiffel. Aku berlari dan terus berlari, bukan aku takut pada air langit, tapi waktu untuk bertemu-Nya akan segera tiba. Dibutuhkan setunggal hati yang tangguh untuk tetap tawaduk di negara ini. Sebentar lagi aku sampai, pikirku, aargh seketika saja semua gelap, kakiku terganjal batu yang membuatku tersungkur ke bagian badan jalan. Parahnya mobil berwarna biru melaju begitu kencang  hingga ingatanku bepergian entah ke mana. Aku lupa segalanya. Amnesia.

L

angit bergemuruh. Awan hitam membentang di petala langit senja. Sebentar lagi air langit akan tumpah ruah menghunjam Bumi. Mata-mata sendu yang berbinar sedari tadi, kini padam. Bak rumah tak berpenghuni, senja telah gagal dinikmati. Kamu dan aku belum mampu menerima kejamnya langit yang merenggut keindahan itu. Di bawah kanopi pohon mangga yang rindang dan rerumputan yang basah kita masih membungkam kata-kata, membiarkan sepersekian detik air langit berderu bersahutan bersama halilintar yang terlihat berirama menyambar ke kiri dan ke kanan. Kulihat matamu berisi ragu, sesuatu yang terus mengganjal hati tentang senja yang kaumiliki.

Aku tak tahu apakah kamu menangkap hal yang sama, kebersamaan kita seperti merajut misteri. Gelak tawamu selalu dibumbui sesuatu. Yah rasa itu, rasa yang membuatku mengerti arti senja. Dahulu aku selalu merasa senja adalah keindahan yang percuma, karena ia hanya hadir di waktu penyisa terang. Kini aku mengerti bahwa senja adalah keindahan yang mahal. Tak semua orang dapat menikmatinya. Dia hadir di waktu sempit menuju gelap, memberi indah pada lanskap lalu tak lama senyap, pemanjaan mata yang singkat.

“Dani …” Perlahan kamu membuka kata-kata dengan tatapan nanar pada air langit. Aku hanya menggerakan kepalaku ke arahmu seraya menatap ekspresi wajahmu.

“Apakah kita akan seperti senja?” Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ambigumu.

“Maksudmu apa?” Aku balik memberi tanya.

“Yah, apakah kita akan menjadi seperti senja yang memberi keindahan sesaat lalu hilang?” Penjelasan pertanyaanmu terdengar lirih..

“Tak perlu khawatir karena hari ini air langit merampas senjamu, senja memang menghilang untuk sesaat tapi esok ia akan kembali dengan keindahan yang sama, bahkan lebih dari yang kamu duga,” jawabku. Di dalam hati sebenarnya pertanyaanmu memberiku rasa takut, aku seakan merasa esok hari kamu bersama senja akan memberikan ruang. Memori ini terus melintasi pikiranku selama empat tahun ini.

M

asih teringat jelas pagi ketika sinar surya tampak malu di balik kabut tebal yang menyelimuti Yogyakarta ini. Kamu layangkan sepucuk pesan singkat tentang keberangkatanmu mencari ilmu di negara seberang—bagiku semua terasa tiba-tiba. Tapi tidak bagimu yang telah mempersiapkannya dari jauh hari. Kau  dan beberapa keluargamu telah bersiap mengantarkanmu ke bandara pagi ini, aku pun tak ingin kalah dengan mengenakan pakaian terbaikku. Ah, kau terlihat anggun dengan baju biru langit serta kerudung hijau daun.

Lalu rindu?

Apakah kita bisa menahan rindu yang berlarut lama seperti ini atau apakah rindu kita akan lekang termakan jarak dan waktu. Oh, aku terasa tak ingin berpisah darimu, siapa lagi yang akan menemaniku menghabiskan senja-senja saban sore tiba. Bisakah sesaat senja ini kusimpan keindahnnya dalam lemari atau saku celana, bila tiba waktunya akan kuperlihatkan bersamamu lagi! Aku tak ingin senja ini hanya dinikmati sendiri sementara rindu kian menbuncah!

“Reynia, kutunggu kepulanganmu, kuharap senjamu dan senjaku menyatu di ruang senja yang akan kita perlihatkan beberapa tahun yang akan datang.” Kuberanikan diri untuk membuat ruang senja. Kamu terlihat menyeka kerlingan air yang melewati kedua pipimu diiringi anggukan kepala. Senyum tipis itu perlahan merona dari wajahmu. Setidaknya memberi kelegahan sesaat pada hati kita berdua.

Tak terasa waktu kian cepat berjalan, kini kamu dan aku telah berada dalam ruangan perpisahan, kamu berjalan perlahan mendekati elang besi. Sesekali kau palingkan wajahmu dari kejauhan, air hangat yang menganak pinak di kedua bola mata kita seakan menjadi saksi bahwa perasaan cinta dan kasih sayang itu telah tumbuh dan bersemayam di hati kita.

A

mnesia sesaat yang kualami selepas mengantar kepergianmu tak mampu membuatku melupakan masa-masa senja yang memberi ruang pada kita hingga sekarang kamu di sana dan aku di sini. Waktu itu pikiranku hanya tertuju padamu, bagaimana cara bertahan sendirian di Kota Gudeg, di desa Sambi yang terkenal asri, tempat kita berdua melihat senja. Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, alhasil  …. gegar otak ringanlah yang aku dapatkan kala mobilku mengelak mobil di depan.

Perlahan ingatanku kembali normal enam bulan setelah kepergiannmu. Dokter bilang, amnesia sesaat akan cepat sembuh jika ada stimulasi dari alam bawah sadar pasien. Aku memerlukan support. Aku yakin memori kita berdualah yang membuat kita bisa melalui kejadian amnesia sesaat ini, bagaimana bisa kita dapat mengalami kecelakaan di tempat yang berbeda dengan analisis yang sama, tetapi memori tentang ruang senja kita tak pernah pudar. Setiap peristiwa sama yang kita lalui inilah yang membuat aku semakin yakin, ada sesuatu yang sedang Tuhan persiapkan untuk kita.(*)