Mendengar kata ‘sekolah’, pada umumnya akan membayangkan suatu tempat yang melewatkan masa hidupnya untuk belajar. Namun, istilah ‘sekolah’ umumnya mengacu pada suatu sistem, suatu lembaga dengan segala kelengkapannya, sederet administrasi, serangkaian jadwal yang mengikat dan selingkup aturan.
Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Waktu senggang yang digunakan untuk belajar (Topatimasang, 2013). Istilah ‘sekolah’ menjadi begitu sakral saat ini. Hanya lembaga formal yang diakui sebagai sekolah. Padahal dari pengertian sekolah tersebut, pondok pesantren, Taman Pendidikan Al-Quran, berkumpulnya para pakar, dan komunitas yang mempunyai visi yang jelas juga termasuk dalam kategori sekolah. Kenyataan, sekolah formal yang mempunyai jenjang yang jelas dan berujung pada ijazah yang dinamakan sebagai sekolah.
Dari buku Sekolah adalah Candu yang telah saya baca, ada sekolah yang tak punya daftar mata pelajaran, tak punya jadwal jam pelajaran resmi, tak punya kelas-kelas yang dibagi pertingkat, atau jurusan, tak menyelenggarakan ulangan harian atau ujian kolektif seperti saat ini. Yang terpenting muridnya bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan dengan cara bagaimana yang mereka anggap paling tepat dan sesuai dengan diri mereka. Itulah Universitas Reckefeller di kota New York. Ini sekolah yang bukan sembarang sekolah. Di sini tempat berkumpulnya para pendekar dan jago-jago penemu kelas dunia. Tak kurang dari dua mahasiswanya dan enam belas pengajarnya adalah pemegang Hadiah Nobel. Namun, sekolah ini kalah terkenal dengan Cambrige, Yale, Harvard di Amerika karena keadaan ijazah yang tidak dikeluarkan. Sampai akhirnya sekolah ini tak diminati karena tak ada kelegalan.
Apa boleh buat, inilah dilema tragis sekolah yang mencoba menyimpang dari kebiasaan umum. Tidak diminati, tidak populer, dan tidak dimengerti orang banyak. Persoalannya hanya karena sekolah menjadi suatu stereotip bahkan suatu stigma kental masyarakat. Seolah-olah menjadi membatasi ruang gerak, wawasa dan dinamikanya. Pada akhirnya, sekolah menjadi sebuah sebutan atau istilah yang diberikan pada lembaga yang beratribut resmi dan mapan, mempunyai sejumlah aturan, ada seragam, mengeluarkan ijazah. Itu yang dipahami masyarakat yang sebenarnya tak sesuai dengan wadah lahirnya dan wujud dari istilah maknanya.
Berbeda dengan lembaga sekolah pada umumnya, ‘Sekolah Literasi’ yang kami gagas tentu jauh dari kelegalan pemerintah. Kami tidak mengikat, seadanya, apa adanya, dan tidak ada apa-apanya. Sekolah yang lahir dari buku-buku di Taman Bacaan Masyarajar Wadas Kelir.
SEKOLAH LITERASI
Seragamnya adalah KEBERSAMAAN
Pembelajarannya adalah KEINGINTAHUAN
Alat tulisnya adalah ALAM
Jadwal pelajarannya adalah HARAPAN
Dan gurunya adalah RELAWAN
Kami mempunyai tujuan yang sama pada pertengahan tahun 2013, mungkin ini yang disebut sebagai awal berdirinya sekolah. Kami tidak pernah menamai itu sebagai tanda kami diresmikan. Karena itu hanya komitmen kami, Relawan [Guru] dan Anak-anak [Siswa]. Kami lahir dari MIMPI. Cita-cita sebagai bekal awal kami untuk belajar. Bermain menjadi pertemuan rutin kami untuk meraih masa depan. Dan alam menjadi media kami untuk mengenal kehidupan. Kami belajar dari buku-buku yang berserakan, dari fantasi, dari imajinasi, dongeng-dongeng menjadi oleh-oleh kami setiap hari.
Kami tak selayak sekolah formal yang punya seragam. Seragam kami adalah KEBERSAMAAN. Hati kita sudah seragam. Bagi kami kebersamaan menjadi seragam kami. Saling membantu, gotongroyong, bahu-membahu dalam mengejar cita-cita menjadi seragam kami. Kami juga punya pembelajaran, belajar dari rasa INGIN TAHU. Ini yang mengantarkan kami untuk selalu bersungguh-sungguh. Ingin tahu dari sebuah BUKU. BUKU yang setiap hari kami baca menjadi topik bermain dalam pembelajaran. Alat tulis kami adalah ALAM. Kami membuat karya [produk] menggunakan ALAM. Fenomena kehidupan menjadi inspirasi dalam menulis dan membuat kreativitas. Kami punya jadwal pelajaran. Jadwal itu yang kami pilih sesuai dengan HARAPAN kami, setiap KAMIS-MINGGU menjadi jadwal kami untuk sekolah. Berkumpul dan menentukan harapan apa yang hendak dicapai. Kami hanya ingin bisa LITERASI dan SENI. Ini yang menjadikan SEKOLAH LITERASI sebagai pusat pendidikan LITERASI dan SENI. Gurunya, tentu ada. Mereka orang-orang yang mau berkomitmen untuk belajar bersama. Meniatkan diri untuk tulus mengabdi. Kami seperti layaknya sekolah biasa yang mempunyai PR dan tugas untuk selalu membaca setiap hari.
SEKOLAH LITERASI tidak akan memberikan ijazah pada siapapun. Karena bagi kami belajar tak ada akhirnya, bagi kami belajar tak memandang usia, dan bagi kami belajar tak memandang seberapa lama, TAPI belajar itu tiada henti.