Judul : Seni Hidup Minimalis
Penulis : Francine Jay
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tehun : Cet. 11 November 2021
Tebal : 260 halaman

Buku-buku seni hidup minimalis mengubah hidup saya. Beberapa buku sudah saya baca dan saya langsung bekerja keras untuk berubah, terutama berubah dalam memandang dan menempatkan barang-barang yang saya miliki. Saya telah salah mencintai dan memiliki barang-barang itu. Barang-barang yang menimbun di rumah dan telah membuat hidup saya gagal fokus. Barang-barang itu saya miliki karena ingin dapat anggapan betapa berharganya dan hebatnya saya. Dari sinilah, saya merasa harus belajar banyak untuk bisa melepas semuanya. Melepas barang yang saya cintai dan saya miliki. Di situlah, kita akan mendapatkan sensasi seni mencintai tanpa harus memiliki yang diajarkan dalam buku Seni Hidup Minimalis yang ditulis oleh Francine Jay.

Kenapa bisa demikian?

Ya, karena saat kita mencintai atau menyukai suatu barang, maka kita akan bekerja keras untuk mendapatkan barang itu. Setiap cinta harus berujung dengan kerja keras memiliki. Kita pun akan menguras uang, mencari barang yang tepat, membelinya, membawanya ke rumah, memikirkannya, hingga memfoto dan membagikannya pada orang lain. Tahukah kita, saat semua proses itu terjadi maka sudah banyak waktu yang terbuang, uang yang terbuang, tenaga yang terbuang, hingga kesempatan yang terbuang untuk berjuang memiliki barang yang kita cinta dan kita beli.

Apa hasilnya?

Rasa senang dan puas. Tidak hanya puas telah memiliki barang yang kita cintai, tetapi juga puas telah mendapatkan pengakuan hebat dari orang lain. Tapi, coba jujur pada diri sendiri, berapa lamakah kita mendapatkan kepuasaan itu? Paling tiga jam atau tiga hari. Selebihnya barang itu sudah tidak bisa menguasai rasa cinta kita lagi karena kita pun akan jatuh cinta pada barang lainnya, dan kita akan kembali menguras energi yang kita punya untuk mendapatkan barang lainnya lagi. Ujungnya juga sama, kepuasan atas kepemilikan barang yang kita cintai lenyap dalam hitungan jam dan hari.

Inilah yang kita lakukan selama ini. Kita terperangkap dalam obsesi perjuangan cinta memiliki barang yang tak berkesudahan yang telah menguras kekuatan kemanusian kita. Hasilnya, kita jadi semakin konsumtif dan hedonis dan rumah semakin sempit karena begitu menggunungnya barang-barang yang kita cintai menumpuk di rumah. Apa yang terjadi jika demikian? Kita akan semakin ruwet dengan barang-barang di rumah dan rumah pun sudah jadi tempat yang tidak nyaman untuk kita.

Hal ini terjadi karena, kita harus memikirkan hal ini, setiap barang yang kita miliki dan tergeletak di rumah itu selalu mengkomunikasikan pesan ke pikiran kita. Mulai dari pesan untuk diperhatikan, dijaga, dirawat, dibersihkan, hingga dicintai. Bayangkan jika barang-barang kita di rumah itu banyak, berserakan, dan berantakan. Maka semua barang menyampaikan pesan diperhatikan pada pikiran kita. Pikiran kita pun akan semakin runyam dan ruwet. Pikiran kita jadi tersita dan tergadai oleh barang-barang itu, padahal ada banyak tugas kemanusiaan yang harus kita selesaikan. Tapi, keberadaan barang-barang yang katanya kita cinta itu telah mengambil alih dan menteror pikiran kita.

Hal-hal yang harusnya kita selesaikan karena sudah menjadi tanggung jawab kita pun menjadi kacau karena keberadaan barang-barang yang kita miliki. Misalnya, esok kita mau ujian untuk menyiapkan presentasi, tapi saat kita siap belajar dan menyiapkan diri bisa kacau karena melihat laptop yang kotor dengan debu, ruangan berantankan, dan barang-barang yang menumpuk tidak indah. Kita pun jadi tidak fokus, bahkan kemudian tersita pikiran dan waktu untuk merapikan dan mebenahi barang-barang yang kita memiliki. Rasa cinta dengan kepemilikan barang membuat kita jadi tidak total dalam menjalankan tanggung jawab kita.

Itulah sebabnya mencintai tanpa harus memiliki yang menjadi landasan seni hidup minimalis yang penting untuk direnungkan dan praktikan. Barangkali ini menjadi salah satu solusi untuk mengatasi keruwetan hidup kita yang sudah terlalu banyak disandera oleh rasa cinta yang selalu memiliki barang-barang yang sekarang berada di rumah kita. Maka tidak ada salahnya untuk dicoba secara bertahap. Kita harus mencinta barang-barang yang kita suka, tapi tidak harus membeli dan memilikinya karena sudah melebih batas kebutuhan kita. Untuk itu, seni mencintai tanpa harus memiliki atau seni hidup minimalis ini akan mebangun kesadaran kita terhadap suatu barang melalui empat pondasi penting.

Pertama, batasi kebutuhan kita. Kita harus tahu batasan kebutuhan kita. Kita sebenarnya membutuhkan berapa baju, berapa perabot, berapa buku, dan sebagainya harus kita tahu. Ini untuk membatasi naluri cinta dan suka membeli kita. Jika barang yang sudah kita punya sudah cukup, maka cukuplah. Tidak usa membeli dengan alasan suka dan cinta. Kita sudah bisa hidup layak dengan jumlah barang yang kita punya, kenapa harus ditambah lagi, apalagi ditumpuk. Cobalah, ceritakan pengalaman indah saat masuk kamar hotel. Di kamar hodtel hanya ada perabotan penting yang kita butuhkan. Kamar pun terasa luas, segar, dan nyaman. Tapi, setelah barang-barang dalam tas kita keluarkan dan taruh di kamar hotel, maka berantakanlah kamar hotel dan keindahan dan kenyamanan kamar hotel hilang. Ini terjadi karena kita sudah melampau batasan barang yang kita butuhkan.

Kedua, jika kita sudah tahu apa yang kita butuhkan dan batasan jumlahnya, maka semua barang yang berlebih, apapun alasannya, harus dibuang. Ini pekerjaan berat karena kita pasti akan merasa sayang membuang barang itu, barang itu masih bisa dipakai, suatu saat pasti akan dibutuhkan, barang itu punya kenangan, dan sebagainya. Alasan-alasan itu selalu muncul dalam pikiran kita saat mau membuangnya. Tapi, abaikan suara-suara itu. Jika kita sudah yakin dengan kebutuhan kita, maka yang tidak kita butuhkan segera dibuang. Alasan-alasan yang muncul dipikiran itu hanya alasan yang tak berdasar. Misalnya, kita merasa barang ini akan dipakai saat diperlukan, tapi ujungnya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak dipakai juga. Jika barang tidak dipakai lama, maka kenapa harus dipertahankan, segeralah dibuang. Kita hanya butuh barang yang memang kita butuhkan.

Ketiga, jika batasan kebutuhan sudah terpenuhi, maka selalu jaga, rapikan, bersihkan, dan tempatkan pada tempat yang tepat. Dengan cara ini, barang yang kita punya tidak hanyak bisa memenuhi kebutuhan kita, tetapi juga membuat indah dan nyaman karena selalu terjadi dengan baik. Di sinilah, seni hidup minimalis kemudian mengedepankan seni merawat dan menjaga barang dengan baik sehingga aspek kebutuhan, dekoratif, dan emosionalnya terjaga dengan baik. Dengan cara ini, maka barang yang kita miliki memang berfungsi dengan baik dalam menunjang aktivitas kita. Kita pun telah memberikan penghormatan yang layak pada barang yang kita memiliki. Rumahkan akan indah, nyaman, dan berkesan sehingga akan menjadi tempat terbaik untuk melakukan berbagai aktivitas yang semakin mengembangkan kemanusiaan kita.

Keempat, barang yang kita miliki pasti akan rusak, berkurang fungsinya, atau rasa suka dan cinta kita sudah habis. Jika demikian, maka belilah barang baru. Masuknya barang baru akan memberikan konsekuensi keluarnya barang lama. Satu barang masuk, satu barang keluar. Di sinilah harmonisasi keberadaan dalah fungsi dan jumlah terjaga dengan baik sehingga keberadaan barang baru tidak merusak suasana yang sudah kita bangun. Malah justru semakin menambah energi baru untuk rumah kita yang nyaman dan hidup kita yang membahagiakan.

Inilah seni hidup minimalis. Seni hidup dalam mencintai sesuatu yang tidak harus memiliki. Seni hidup yang akan membuat kita memiliki rumah yang bersih dan nyaman sehingga hidup kita akan lebih fokus pada kegiatan-kegiatan yang mengembangkan kemanusiaan dan kebahagiaan.

Litbang Forum TBM