Oleh : Sonia Anisa
Ketek taraja, gadang ta baok-baok,Tuo tarubah tido demikian pepatah Minang menggungkapkan yang maknannya, apabila kita belajar sesuatu dari kecil, hingga menjadi kebiasaan. Sehingga kebisaan itu sulit untuk di rubah. Seperti halnya di Nagari Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek, Kab. Agam. Tradisi yang masih di jaga dan turun temurun sampai hari ini adalah menyulam. Sulaman yang terkenal hasil karya dari Balai Gurah yaitu Suji Caia. Suji caia merupakan sulaman yang memadukan warna demi warna benang ke dalam motif bunga, daun dan motif lainya. Kegiatan menyulam ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan di Nagari Balai Gurah. Kegiatan ini sudah diwariskan nenek moyang yang hingga kini masih terjaga.
Suji sendiri merupakan sulaman yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Balai Gurah. Menurut pendapat Bapak Hidayat, selaku warga Balai Gurah, suji merupakan sulaman yang sangat berperan penting untuk membangun ekonomi keluarga. Selain pekerjaan seorang ayah di luar rumah mencari nafkah, ibu juga berperan penting membantu perekonomian di rumah.
Sejak berkembangnya jahit suji, perekonomian masyarakat mulai membaik.
Terkadang, bagi sebuah keluarga yang tidak mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Mereka menjadikan kegitan menyulam ini sebagai kegiatan, pokok sehari-hari. Namun sayang sekali, menurut pengakuan Nenek Safrida, bahwa dari dulu sampai sekarang kelemahan dari kegiatan menyulam jahit suji ini di bagian upah. Upah penjahit suji selalu tidak seimbang dengan karya yang dihasilkannya. Bahkan banyak juga yang masyarakat yang mengeluh masalah upah, dan bernegosiasi dengan juragannya saat mengantar kain yang sudah disulam. Menurut saya pun sebuah karya harus diberi apresiasi, yang setimpal dengan apa yang telah dibuatnya.
Suji sebagai penunjang ekonomi masyarakat Balai Gurah. Hal itu memang benar. Menurut cerita dari Ibuk Anida, sebagian besar masyarakat di Balai Gurah bisa bersekolah lantaran dia menjahit. Zaman dahulu setiap anak perempuan yang berusia sekitar 12 tahun ke atas harus sudah bias menjahit. Selain memang kebutuhan yang selalu mendesak, malu rasanya jika seorang perempuan di Nagari Balai Gurah tidak biasa menjahit. Dengan ini selain untuk memenuhi kebutuhan, kegiatan menjahit suji mengajarkan tentang ekonomi yang mandiri.
Dari kecil anak-anak di Nagari Balai Gurah diajarkan orang tua mereka untuk tidak hanya mengandalkan orang tuanya. Sebab, mereka menekankan kepada si anak, bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bergerak, mungkin saja hari ini mereka hidup dengan serba kecukupan, hari lainnya tidak bisa dipastikan akan hidup seperti itu. Sekalipun orang tualah yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan anaknya, namun pendidikan yang membuat anak mandiri lebih penting. Menyadarkan anak-anak akan sulitnya mencari nafkah untuk kehidupan. Sehingga mereka lebih bersyukur dan tidak mau membuang waktu lagi untuk hal yang tidak bermanfaat.
Di TBM Balai Baca Rumah Bako sendiri, mencoba saling bersinergi dengan Komunitas Sarueh untuk melestarikan Sulaman. Salah satunya dengan adanya workshop “Manikam Jajak Biay”. Workshop ini bertujuan untuk mendekatkan dan memberikan pelatihan sulaman bagi generasi muda yang langsung di bimbing oleh ibu-ibu yang telah bergelut di bidang sulaman hampir separo hidup mereka. Dalam pelaksanan workshop Manikam jajak Biay ada 15 pemudi Balai Baca Rumah Bako yang ikut serta . Selama seminggu alhamdulilah menuai hasil yang luar biasa. Tidak hanya menuai semangat yang luar biasa dari generasi muda TBM Balai Baca Rumah Bako, juga menghasilkan sebuah karya sulaman yang indah. Sulaman tersebut memilki panjang 2,5 meter.
Workshop tersebut tidak hanya sampai disitu. Namun, akan berlanjut pada persiapan untuk melaksanakan Sentak Art Festival yang ke 2. Pada Sentak Art Festival yang ke 2 ini, masih akan fokus pada Sulaman. Kali ini akan mengangkat tentang ibu-ibu Sulaman yang selama ini keberadaanya tidak terlalu dianggap, padahal merekalah yang ada di balik indahnya sulaman yang selama ini tidak banyak yang mengetahuinya. Dalam persiapan Sentak Art Festival,teman-teman Balai Baca Rumah Bako sangat berperan penting terutama untuk menjadi tim riset, dokumentasi sulaman. Hal ini tentu akan menjadi hal yang baru dan tentunya sangat menyenangkan.
Setiap pelaksaanan workshop, tahap demi tahap, kami pelajari bersama. Dari mulai melukis motif, memindahannya ke kertas karbon, selanjunya mencetaknya ke kain yang akan di sulam. Saat kain sudah siap untuk di sulam, pemilihan benang juga membutuhkan daya kreativitas. Benang yang dipilih harus padu-padan dengan warna kain dasar. Sehingga, motif akan tampak timbul dan lebih sempurna tampak di kain yang telah di sulam.
Nah kenapa sulaman sebagai praktik baik literasi masyarakat? Karena sulaman dapat membangun komunikasi yang baik antara pengrajin. Dari komunikasi yang baik itulah menghasilkan karya-karya yang baik dan sangat indah pula. Sambil mengerjakan sulaman, pengrajin saling bercerita tentang banyak hal. Seperti, masalah ekonomi, masalah anak , dan masih banyak hal lainya. Nah, itu suatu hal yang dapat membangun kedekatan antar pengrajin. Selain itu, Sulaman juga, mencakup hampir semua literasi, seperti, literasi budaya, literasi finansial, literasi baca-tulis. Untuk literasi budaya, mampu melestarikan budaya dan mengangkat pengrajin-pengrajin yang selama ini tidak terekspost.
Dalam hal literasi finansial, sangat berhubungan dengan sulaman. Hampir semua perempuan di Desa Balai Gurah, mata pencaharianya sebagai pengrajin sulaman. Seperti yang telah saya ceritakan di awal. Dengan sulaman mampu mempertahankan perekonomian keluarga. Bahkan banyak juga ibu-ibu pengrajin yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menyulam. Bahkan ada beberapa pengrajin yang bahwa, mungkin lebih besar gaji ibu pengrajin daripada suami beliau. Di masyarakat Balai Gurah sendiri, juga sudah tertanam Untuk literasi baca-tulis juga sangat intens hubungannya dengan sulaman. Sebab, untuk menciptakan motif yang mewah dan indah perlu keterampilam menulis untuk merangkai setiap motif yang cocok untuk di aplikasikan pada kain sulam. Begitu juga degan keterampilan membaca yang dibutuhkan untuk nantinya mempublikasikan sulaman lewat pasar online. Apalagi pada masa pandemi ini. Pasar biasa mungkin tak begitu menjadi daya tarik dalam keadaan seperti ini. Untuk itu dapat menggunakan pasar online dan share melalui akun media sosial masing-masing pengrajin sulaman.
Harapan terbesar penulis, semoga praktik baik literasi masyarakat ini akan terus berlanjut, karena sudah begitu banyak dampak positifnya. Dari yang sudah tidak peduli dengan asset budaya, sekarang sudah memiliki kesadaran untuk melestarikan budaya di kampung sendiri. Bahkan banyak muncul ide-ide dari teman-teman TBM Balai Baca Rumah Bako untuk mengkolaborasikan sulaman dengan pakaian zaman sekarang. Bisa juga memasukkan motif sulaman seperti ke hijab, syal, kotak pensil dan masih banyak lagi. Ide seperti ini pun muncul melihat banyak generasi muda sekarang yang tak begitu minat memakai sulaman dengan selendang besar, maupun memakai baju kurung yang di sulam. Dengan ada ide seperti ini, semakain menambah rasa cinta generasi muda terhadap budaya yang dimilikinya.
Dengan adanya praktik baik literasi budaya ini. Semoga dapat menjadi energi positif untuk siapapun yang membacanya. Dan akan memberi semangat agar melestarikam apapun budaya yang ada di kampung sendiri. Berusaha untuk memperkenalkan pada generasi Muda juga suatu hal yang penting. Agar mereka juga tumbuh dengan praktik baik literasi dalam masyarakat pula.