Kubu Raya mempertemukan anak-anak muda, pegiat TBM/literasi dan orang-orang yang peduli pada pendidikan dari seluruh pelosok Indonesia. Setelah seharian kegiatan Festival Literasi Indonesia (FLI) suntuk dengan materi dari para narasumber, malam ini (29/9/22) FLI mencoba menyerap pengalaman anak-anak muda dari beberapa tempat terpencil di Indonesia.
Hadir sebagai pembicara, Kak Siti Badariah dari Kampung Baca Tamsal, Desa Tanjung saleh, Kecamatan Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat, perempuan yang dengan gaya bicara Melayu menceritakan pengalaman selama bergiat di Kampung Baca Tamsal yang berdiri tahun 2017.
Berada di tempat yang masyarakatnya kebanyakan tidak bisa berbahasa Indonesia, membuat kak Badar (begitu orang menyebutnya), merasa kesulitan. Apalagi pada awalnya tidak ada tempat tinggal untuk berkegiatan. Perjalanan ini merupakan spirit literasi yang mungkin biasa bagi orang-orang yang hidup di tengah kebisingan kota. Tapi, berbeda bila yang melakukan adalah anak-anak yang tumbuh di pelosok Indonesia.
Kak Badar, kemudian terketuk untuk membantu desa dalam mengelola perpustakaan dan taman baca, sekarang menjadi yayasan yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Di usia yang menginjak lima tahun, berhasil mengantongi tujuh program, satu di antaranya adalah perahu baca. Dari kak Badar, kita akan menyelami sebuah semangat yang sungguh luar biasa.
Dan, mari mendengar pengalaman Kak Yuliana Kondjol, perempuan yang tumbuh dan besar di Papua Barat, mendirikan Rumah Baca Cenderawasih. Jauh-jauh datang ke acara FLI dari tanah Papua bukan perkara gampang. Ia harus meyakinkan keluarga, karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan pertama keluar dari Pulau Cenderawasih. Kak Yuli, bukan hanya pegiat literasi, ia juga guru PAUD di Sorong Selatan. Aktivitas literasi yang terus disuarakan bagian dari panggilan jiwa untuk tanah kelahiran.
Kak Yuli, hidup di tengah-tengah kondisi pendidikan yang kurang baik. Ada banyak anak-anak yang masih buta huruf dan tidak bisa baca, dari sana ia terinspirasi untuk mendirikan Rumah Baca Cenderawasih. Meskipun belajar hanya satu kali dalam satu minggu, namun ada berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan. Dari kelas mendogeng, menyanyi sampai aktivitas kesenian lain.
Bayangkan, kak Yuli dan kawan-kawan di Sorong Selatan belajar di ruang terbuka, terkadang juga di teras rumah warga. Tapi, hal itu tidak menjamin aman dari guyuran hujan bila musim hujan tiba. Tidak ada tempat berlindung. Di hati kecilnya, hanya ada tekat untuk merangkul dan belajar bersama anak-anak Papua Barat. Ia mengatakan, tidak mau anak-anak Papua Barat tertinggal, terbelakang dan jauh dari kata berkembang. Mari bergerak untuk anak-anak Indonesia, khususnya di pesisir. Begitu yang Kak Yuli bagikan malam ini.
Bergeser ke Jambi, Pulau Sumatra, bersama kak Yoni Elviandri, ia bercerita bagaimana jauhnya akses menuju kota. Butuh 7 jam ke kota terdekat, Padang, misalnya. Di tahun 2017, kak Yoni merangkul anak-anak muda. Ia bergerilya ke sekolah-sekolah, mengajak anak-anak untuk terus peduli dan cinta pada pendidikan. Salah satu programnya adalah menulis. Yang pada mulanya, anak-anak tidak mau melanjutkan pendidikan, terpantik untuk berkarya sehingga lahir beberapa buku bersama.
Tidak hanya itu, Lentera Muda Kerinci yang kak Yoni dirikan telah berbuat banyak. Sebut saja misalnya ada empat orang yang lulus dari perguruan tinggi. Ini buah dari kunjungan ke kampus-kampus. Terakhir, mungkin ini bagian kecil dari suara anak-anak muda Indonesia, tetapi penting untuk dibicarakan karena Taman Bacaan Masyarakat adalah Indonesia kecil.