Jika sedang hening, di puncak malam, saya dan istri sering berdiskusi, “Kita mengurusi pendidikan anak orang lain, mengupayakan beasiswa hingga mahasiswa Di Komunitas Rumah Dunia. Lantas, bagaimana nasib pendidikan keempat anak kita?”

Kami percaya, jika kita melaksanakan perintah Allah SWT, maka kemudian selagi kita masih di dunia, tidak perlu menunggu di akherat, sudah dibalas oleh-Nya. Jika belum, jangan ragu mintalah balasan kepada-Nya . Setiap malam, antara ikhtiar dan doa, juga mengikuti keinginan si anak, di sepertiga malam kami meminta. Alhamdulillah, ikhtiar dan doa, kerjasama orangtua dan anak-anak, juga bantuan teman-teman, putri pertama kami studi di Nainjing, China. Putra kedua sejak kelas 5 (sekarang kelas 1 SMA) sekolah di Al Ain, Abu Dhabi, UEA.

Saat SMA, saya senang membaca buku-buku puisi dan prosa. Idrus, Armijn Pane, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, dan sastra dunia. Suatu hari saya membaca karya sastra berupa cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis. Di cerpen itu diceritakan seorang haji dan ahli ibadah protes kepada Allah SWT, karena dirinya masuk neraka.” Allah menjawab, bahwa si ahli ibadah itu egois alias selfish, ingin masuk sorga sendirian. Siang malam hanya berdoa ingin masuk sorga, tapi lingkungan dibiarkan terlantar. Masyarakat tanpa pendidikan. ”

Saya terpesona dengan keajaiban sastra Ini. Suatu waktu, saya ke Padang dan mengunjungi rumah AA Navis. Saya diperbolehkan masuk dan naik ke Perpustakaan pribadinya. Saya duduk di kursi di mana AA Navis menulis cerpen hebat itu. Diam-diam kedua mata saya tergenang. AA Navis memberi penyadaran, bahwa untuk masuk sorga tidak harus selalu berada di masjid. Allah ada di mana-mana.

Pelan-pelan saya memahami, bahwa selain Al Quran, karya sastra bisa memberi pencerahan kepada kita, tentang bagaimana kita harus menjalani hidup.

Cilandak, Jakarta, 30/9/2017

 

*) Ikuti lomba TBM Story 2017. Klik di sini!