Terkait batasan usia anak muda, UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, Pasal 1 Nomor 1, berbunyi bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai dengan 30 tahun. Sementara itu, WHO (2020) mendefinisikan ‘Remaja’ sebagai individu dalam kelompok usia 10—19 tahun dan ‘Remaja’ sebagai kelompok usia 15—24 tahun, sedangkan ‘Anak Muda’ mencakup rentang usia 10—24 tahun.
Penerus estafet masa depan Indonesia, menurut Kementerian PPN/Bappenas (2017), diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15—64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) pada 2030—2040. Oleh karena itu, pemberdayaan anggota usia produktif TBM menjadi prioritas. Karena jumlahnya mencapai sekira 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi dengan memberdayakan sumber daya manusia usia produktif. Dengan catatan, bonus demografi tersebut harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.
Untuk menjawab tantangan abad ke-21 ini, TBM dapat mengikuti pengembangan multiliterasi dengan merujuk tujuh ranah literasi menurut Alwasilah (2012), yaitu: (1) literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat; (2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara lisan; (3) literasi adalah kemampuan memecahkan masalah; (4) literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya; (5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri); (6) literasi adalah hasil kolaborasi; (7) literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi. Sebelumnya, konsep konvensional literasi UNESCO (2021), yakni sebagai seperangkat keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, dan literasi kini dipahami sebagai sarana identifikasi, pemahaman, interpretasi, kreasi, dan komunikasi di dunia yang semakin digital, diperantarai teks, kaya informasi, dan cepat berubah.
Tangan Dingin Sang Kreator
Adalah Arif Setyabudi Santoso sebagai kreator di TBM Tunas Ilmu. TBM Tunas Ilmu yang berada di gedung tengah UPTD SPNF SKB Susukan, Kab. Semarang ramai dikunjungi para pembelajar. Mereka datang untuk mendapatkan ilmu dari pak Arif yang akan mengajarlan bagaimana memproduksi audiobook.
Proses alih wahana dari buku teks digital ke audiobook membutuhkan perangkat komputer, mic, serta aplikasi pendukung audiobook. Peragkat-perangkat itu semua telah disediakan oleh TBM Tunas Ilmu, tinggal bagaimana peserta workshop belajar dengan seksama mengenai pembuatan audiobook dari Pak Arif.
Arif melakukan kerja sama dan kolaborasi terkait peningkatan literasi. Seperti yang disampaikan oleh World Economy Forum (2015), bahwa selain keterampilan dasar seperti literasi dan numerasi, ada keterampilan lain yang harus dikuasai di abad ke-21 ini, yakni kolaborasi, kreativitas dan pemecahan masalah, dan kualitas karakter seperti kegigihan, keingintahuan dan inisiatif. Negara-negara di seluruh dunia, ekonomi berjalan pada kreativitas, inovasi dan kolaborasi. Keterampilan pekerjaan lebih berpusat pada pemecahan masalah yang tidak terstruktur dan secara efektif menganalisis informasi. Selain itu, teknologi semakin menggantikan tenaga kerja manual dan dimasukkan ke dalam sebagian besar aspek kehidupan dan pekerjaan.
Penguatan literasi digital di TBM Tunas Ilmu dengan alih wahana mendorong supaya pembelajar tidak kalah saing dalam berteknologi. Setidaknya memahami pentingnya teknologi dalam kehidupan serta manfaat teknologi untuk orang banyak. Seperti yang dikerjakan oleh TBM Tunas Ilmu adalah membuat audiobook yang nantinya dapat dipakai oleh teman-teman disabilitas (orang yang berkebutuhan khusus).
Yang menarik dari alih wahana teks ke audio, dibutuhkan kemampuan vokal yang baik. Bagaimana memainkan karakter tokoh yang terdapat pada buku, hingga memainkan emosi pendengar. Mempelajari ini tentu tidak mudah, namun dapat dipelajari.
Pertama peserta workshop memilih buku yang akan dibacakan, kemudian dibaca beruang-ulang supaya mendapatkan rasa atau sense dari buku yang dibaca tersebut. Lalu membuat minimal dua karakter suara, pertama suara narator dan suara tokoh yang ada dalam buku tersebut.
Latih dan terus berlatih supaya mendapatkan sense dari buku yang dibaca dan menghasilkan audiobook yang baik.
Peserta yang mengikuti workshop audiobook di TBM Tunas Ilmu relatif banyak. Tentu bahan pustaka audiobook yang dihasilkan akan banyak. Namun kenyataannya tidak demikian, Pak Arif mengurasi kembali audiobook yang dibuat oleh peserta untuk menjaga kualitas audiobook yang baik dan bisa diperdengarkan oleh teman-teman disabilitas.
Proses pembuatan audiobook yang dilakukan oleh TBM Tunas Ilmu adalah bentuk dari aktivitas multiliterasi. Multiliterasi pada pengertian ini lebih pada ragam cara untuk mengakses, memahami, dan menggunakan pengetahuan. Juga dapat terintegrasi dengan ragam jenis literasi lainnya seperti yang dilakukan oleh TBM Tunas Ilmu dengan perangkat teknologi serta menghasilkan karya baru.
Selain program workshop audiobook, TBM Tunas Ilmu menyediakan banyak buku untuk layanan baca dan pinjam. Buku-buku ini biasanya dimanfaatkan oleh mitra dari TBM Tunas Ilmu yaitu Sekolah Dasar dan PAUD.
Sasaran lain dalam pembudayaan literasi yang dilakukan oleh TBM Tunas Ilmu adalah orag tua siswa. Sehingga cakupan literasi yang dikembangkan oleh TBM Tunas Ilmu luas dan dilakukan dengan konsisten.
Karena konsistensi ini, TBM Tunas Ilmu mendapatkan penghargaan serta bantuan berupa buku, dana oprasional dan lain sebagainya.
Apa yang dilakukan oleh TBM Tunas Ilmu sangat menginspirasi untuk TBM-TBM lain di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang ada di Indonesia.