Oleh; Moh Syaiful Bahri*

 

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” – Tan Malaka.

Bicara tentang perbukuan di Indonesia, kita tidak boleh mengabsenkan Yogyakarta dari pandangan. Alih-alih menempatkan Yogya di sebuah rak paling belakang. Justru Yogyakarta menjadi bagian penting dari tradisi perbukuaan Indonesia. Mungkin, klaim ini sedikit terburu-buru, tetapi mari kita buktikan dengan beragam kegiatan dan aktivitas masyarakat Yogyakarta yang berkaitan dengan literasi “perbukuan”.

Tan Malaka sosok yang diberi julukan Bapak Republik oleh Majalah Tempo, jauh-jauh hari telah memberi nafas segar terhadap perbukuan Indonesia. Tan Malaka lebih mementingkan buku dalam hal ini dunia akademik “pendidikan” untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat dan memilik peradaban maju. Untuk itu, membaca wajib dijadikan sebagai budaya dan perlu terus ditanamkan terhadap anak-anak muda hari ini.

Kali ini ingatan saya kembali pada tahun 2019, seorang teman duduk di pojok sebuah warung kopi. Ia bercerita perjalanan pertama Madura-Yogya, yang menghabiskan sekitar 12 jam. Di wajahnya saya melihat lelah dan bahagia yang saling sapa. Sambil menyeduh kopi, tiba-tiba Rahman membuka percakapan dengan mengutarakan niatnya untuk hadir ke acara Joglitfest di Museum Benteng Vredeburg. Jarak tidak pernah menjadi hambatan untuk terus belajar dan mencari hal baru.

Kali ini, literasi mempertemukan kami dengan cerita kampung halaman di Kota Pelajar. Bagi kami, yang hidup di gugusan kecil Pulau Madura. Yogya bukan sekadar tempat paling istimewa, yang jadi rujukan pendidikan anak-anak muda, tempat yang setiap sudutnya adalah wisata. Lebih dari itu, kota ini telah melahirkan banyak penulis ternama di tanah air. Sebut saja seperti Emha Ainun Najib, Iman Budhi Santosa, Muhidin M. Dahlan, Mahfud Ikhwan, dan masih banyak deretan penulis lain.

Hal ini barangkali akan berbanding terbalik dengan apa yang saya alami tahun lalu. Iya, ketika mengabdikan diri di sebuah pesantren bersama teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) UIN Sunan Kalijaga. Untuk pertama kali saya memasuki pesantren yang santrinya cukup aktif dalam isu-isu lingkungan. Setidaknya, sampah plastik yang mereka sumbangkan untuk bumi diolah menjadi produk berharga. Lain halnya di bidang baca tulis. Nyaris tidak ada buku bacaan selain buku ajar.

Selain program kegiatan lingkungan yang sudah jauh-jauh hari direncanakan. Kami menyediakan ruang santri untuk mencintai buku. Minggu Membaca, di mana santri lebih dekat dengan buku yang datang dari Perpusda Bantul dengan program Perpustakaan Keliling. Santri tidak hanya membaca buku-buku, melainkan mereka cukup cerewet bertanya perihal peminjaman buku dan lain sebagainya. Sampai di sini saya melihat Yogya yang lain. Mungkin ini kasuistik. Tapi, penting untuk dijadikan renungan bahwa ada sudut-sudut yang masih belum tersentuh gerakan literasi.

Sampai di sini, ingatan saya tiba-tiba jatuh pada Muhammad Husni, seorang santri yang menjadi teman dalam proses berdirinya Pojok Baca. Husni, satu di antara teman-teman santri yang mempunyai kegemaran membaca. Lagi-lagi, ini bukan persoalan minat dan daya baca, melainkan sarana dan prasarana yang belum lengkap. Bayangkan saja, pesantren yang santrinya hampir lima ratus-an belum mempunyai perpustakaan. Itu artinya, kesadaran akan literasi baca-tulis belum sepenuhya. Butuh kerja-kerja intens dalam mengawal tumbuh-berkembang budaya baca.

Hampir setiap malam, Husni bersama teman-teman santri melingkar di Joglo depan kantor pengurus pesantren. Membicarakan isi buku yang mereka baca. Keterbatasan akses tidak menumpulkan semangat mengepakkan keinginan mencari ilmu. Setiap kali bertemu, Husni dengan bangga menceritakan buku pertama yang dibaca. Letter to Aubrey. Karya Grace Melia telah menyihir anak muda yang setiap hari sibuk melayani santri di kantin. Dari satu buku itulah kemudian Husni melompat pada dunia lain; masa lalu, kampung halaman dan mungkin masa depan.

Seperti kita tahu, buku menjadi sangat penting dalam peradaban manusia. Lihat saja misalnya, Fernando Baez dalam karyanya Penghancuran Buku; dari masa ke masa yang memotret sejarah pembakaran buku sejak kekuasaan di Byzantium sampai abad 20-an. Hal ini membuktikan bahwa buku mempunyai pengaruh terhadap sejarah dunia. Oleh karenanya, sebuah tempat atau apa pun itu namanya penting menjajakan buku. Setidaknya, siapa saja bisa mengakses dan bisa berteman baik dengan buku.

 

 

*Moh Syaiful Bahri, Mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga