Oleh. ATEP KURNIA*
Kapan saya membaca karya Pramoedya Ananta Toer? Untuk menjawabnya, tentu akan mengingatkan saya pada kawan akrab semasa sekolah menengah atas di SMUN I Cicalengka, antara 1996-1998: Yadi Mulyadi.
Meski termasuk kakak kelas, Yadi kawan karib saya. Dari dia saya mulai mengenal kaset-kaset India produksi Marina Music Cassettes, yang logonya berwarna merah dengan huruf M meliuk ke bawah ke arah huruf R. Salah satu kaset yang masih saya ingat dari koleksi Yadi adalah soundtrack film Raja (1995) yang dibintangi Madhuri Dixit dan Sanjay Kapoor dan musiknya digarap Nadeem Shravan. Penyanyi latarnya ada Alka Yagnik dan Udit Narayan.
Saya kerap meminjam kaset-kaset India dari Yadi. Kalau tidak keliru ingat termasuk saat meledaknya film Kuch Kuch Hota Hai (1998) yang dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol serta lagu-lagunya diisi oleh suara Alka Yagnik, Udit Narayan, Kavita Krishnamurthy, dan Kumar Sanu. Juga kaset dari film Devdas (2002) yang juga dibintangi Shahrukh Khan bersama Aishwarya Rai plus Madhuri Dixit dan musiknya digarap Sanjay Leela Bhansali dengan penyanyi latar Shreya Ghoshal, Kavita Krishnamurthy, dan lain-lain.
Pertemanan dengan Yadi menyebabkan saya hingga kini masih menyukai musik dari khazanah perfilman Bollywood. Lalu, apa hubungannya antara kaset musik India dengan karya-karya Pram? Bagi saya tentu saja sangat erat. Karena dari Yadi Mulyadi, yang dulu penyuka musik Bollywood-lah, saya banyak meminjam dan membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Agar gambarannya lebih jelas, setelah lulus SMU tahun 1997, Yadi melanjutkan kuliah ke jurusan pendidikan bahasa Prancis di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan di masa dia kuliah pula IKIP berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 1999. Saya sendiri, saat lulus SMU tahun 1998, karena orang tua tidak mampu, bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil.
Karena Yadi mahasiswa tentu saja sangat erat dengan buku-buku, termasuk membeli buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Sementara saya yang sangat suka membaca sejak sekolah dasar tetapi kurang daya beli, akhirnya banyak meminjam buku, meskipun sudah bekerja di pabrik. Oleh karena itu, selain kaset-kaset musik India, kegemaran saya yang sama dengan Yadi adalah mengoleksi dan membaca buku.
Silaturahmi dengan Yadi Mulyadi terus terjalin melalui buku-buku. Saya biasanya bila bekerja shift malam akan datang ke rumahnya di Babakan DKA (Djawatan Kereta Api) karena memang dekat dengan rel kereta api jurusan Bandung-Cicalengka, untuk meminjam buku. Nah, bila saya meminjam buku, saya akan mencatatnya pada buku agenda yang saya jadikan sebagai buku diari.
Di situlah antara lain saya mencatat titipan Yadi untuk membeli buku Poemes Soundanais: anthologie bilingue (2001) suntingan Ajip Rosidi dan terjemahan Henri Chambert-Loir pada 23 Agustus 2001, hari kedua saat saat mengikuti Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 1 di Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung.
Dalam catatan hari itu, saya menulis, “Ka konferensi datang telat, sabab kareta patas loba eureun, datang jam 08.30 di Gedung Merdeka. Ngiluan pleno Dr. A. Teeuw nu ngabahas ngeunaan naskah-naskah puisi Sunda kuno, paralel Christine Campbell (“Women at Crossroads”), paralel Mikihiro Moriyama (“Perkembangan budaya Sunda)” (Saya terlambat ke acara konferensi, karena kereta patas sering berhenti, sehingga tiba pukul 08.30 di Gedung Merdeka. Saya mengikuti pleno Dr. A. Teeuw yang membahas tentang naskah-naskah puisi Sunda kuno, paralel Christine Campbell [“Women at Crossroads”], paralel Mikihiro Moriyama [“Perkembangan budaya Sunda]).
Saat istirahat, saya menyempatkan diri membeli buku puisi Sunda-Prancis titipan itu di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jalan Naripan, tempat digelarnya pameran buku untuk memeriahkan acara KIBS 1. Selain membeli buku suntingan Ajip itu, saya juga membeli buku terjemahan novel Theresa karya Emile Zola dan novel Sunda Mercedes 190 karya Mh. Rustandi Kartakusuma.
Lalu, kapan persisnya saya membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Seperti yang sudah saya tulis, kebanyakan buku Pram dapat dibilang saya baca dari koleksi Yadi Mulyadi. Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Bukan Pasar Malam, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dan Gadis Pantai, semuanya saya pinjam dari Yadi. Buku-buku tersebut terbitan tahun 2000 atau 2001. Di agenda, saya catat bahwa buku Gadis Pantai saya pinjam dari Yadi pada hari Minggu, 26 Agustus 2002.
Buku-buku pinjaman tersebut biasanya akan saya bawa ke pabrik. Di masa senggang menjaga laju mesin beaming yang menggulung benang-benang seukuran perut kerbau, saya membaca buku di kolong mesin diterangi cahaya lampu-lampu merkuri yang menerobos masuk ke sela-sela gulungan benang. Atau duduk di kardus di depan mesin.
Betapapun, bila direnungkan sekarang, saya beruntung sekali punya sahabat karib yang sama-sama punya punya hobi mengoleksi dan membaca buku. Pengalaman ini menggarisbawahi mengenai pentingnya akses terhadap literasi. Pengalaman berkarib dengan Yadi menunjukkan bahwa kegemaran membaca tidak hanya bergantung pada daya beli, tetapi juga pada lingkungan sosial yang mendukung. Dalam hal tersebut, persahabatan dapat menjadi jembatan bagi saya untuk mengakses dunia kesusastraan yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang digambarkan dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Selain itu, pengalaman saya ini bila dibaca sekarang mungkin menekankan ihwal ketahanan intelektualitas di tengah kondisi ekonomi yang tidak selalu dapat mendukung saya. Dengan daya beli yang terbatas tetapi punya keinginan kuat untuk terus mengetahui, memahami, dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam karya-karya sastra, saya berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.
Selain meminjam dari koleksi Yadi, pada saat yang sama, saya menjadi anggota dua perpustakaan di Kota Bandung, yaitu Perpustakaan Daerah di Jalan Cikapundung dan Perpustakaan Daerah di Jalan Kawaluyaan Indah. Sekali jalan ke Kota Bandung kala bekerja shift malam, saya bisa membawa enam buku pinjaman ke rumah. Tetapi sudah pasti, pengalaman saya ini tidak akan sebanding dengan pengalaman Pram di pembuangannya di Pulau Buru selama bertahun-tahun dan selama itu pula ia berusaha menjaga intelektualitasnya, antara lain dengan jalan menulis buku.
*Peminat literasi dan budaya Sunda.