Poster Peluncuran dan Diskusi Buku “Jejak-jejak Pengabdian: Geliat Literasi Sleman”, Pembedah: David Effendi (Dosen Fisipol UMY), Adityo Nugroho (FTBM Sleman), Nyayu Widya Rahayu (TBM PKK @RSUD Sleman), Dhayu Dwi Purnamasari (Pustaka Warga). Lokasi di Joglo Lor nDeso (Kwadungan, Widodomartani, Ngemplak, Sleman), hari Minggu tanggal 11 November 2018.

Buku ini merupakan jawaban atas kegelisahan kawan-kawan pegiat Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Kabupaten Sleman. Bagaimana mungkin ketika setiap hari bersentuhan dengan buku, tapi tak satu pun buku itu merupakan karya mereka sendiri. Tergerak hati kecil untuk berangan, menulis satu karya yang nantinya tercetak dalam kumpulan kertas berbentuk buku. Andaikata tak mampu diri menulis sebanyak prasyarat suatu buku, minimal menjadi bagian dari sekumpulan penulis yang menerbitkan sebuah buku. Angan ini terjawab, Forum TBM Kabupaten Sleman sebagai wadah para pegiat TBM membuka peluang menerbitkan buku. Berisi kumpulan kisah yang dituliskan para pegiat berdasarkan pengalaman mereka mengelola TBM masing-masing.

Pertengahan tahun 2017 proyek pembuatan buku ini dimulai. Diawali dari diskusi-diskusi kecil diantara pengurus, akhirnya diputuskan membentuk tim buku. Tim buku ini bertanggungjawab untuk menyusun format penulisan, format buku, serta sosialisasi kepada anggota FTBM Sleman. Proses berjalan pelan-pelan namun tetap pada jalur menuju lahirnya sebuah karya buku bersama. Harus dipahami bahwa para pegiat ini memiliki banyak sekali keterbatasan. Tak hanya masalah kemampuan menulis, juga waktu serta tenaga yang harus terbagi antara mengurus pekerjaan, keluarga, serta TBM yang dikelola.

Secara de jure jumlah TBM di Kabupaten Sleman sebanyak 70-an. Hanya saja tingkat keaktifan serta kemampuan bertahan hidup masing-masing TBM berbeda. Maka dilakukanlah survei oleh tim buku untuk mendata ulang berapa jumlah de facto TBM yang berada di Sleman, hasilnya terdata 42 TBM yang masih aktif. Selama proses pembuatan buku, pengumpulan naskah tulisan menjadi kendala utama. Tersebarnya para pegiat di 15 kecamatan dari total 17 kecamatan di Sleman menjadi tantangan tersendiri. Tim buku hanya bisa berkomunikasi via grup media sosial, dan hanya sedikit TBM yang mampu didatangi untuk dibantu menulis. Dari target separuh jumlah populasi yang tersurvei, 21 TBM, akhirnya hanya didapat 16 tulisan dari para pegiat. Mencukupi sebenarnya, apalagi tulisan-tulisan yang masuk sangat membakar semangat juang kita sebagai pegiat literasi. Bahasa santunnya adalah menginspirasi.

Buku ini berjudul Jejak-jejak Pengabdian: Geliat Literasi Sleman. Sesuai dengan judul buku, para pegiat literasi di Sleman bergerak dalam ranah pengabdian. Mereka bergerak atas dasar kesadaran membentuk tatanan kehidupan menjadi lebih baik, melalui literasi. Tidak ada uang yang mereka dapat dari kegiatan berliterasi. Malahan waktu, tenaga, serta uang terbuang dari diri mereka. Lalu apa yang mereka cari, kisah-kisah dalam buku ini akan menjawabnya.

Bagian awal buku ini berisi dua tulisan. Tulisan pertama mengulik tentang apa itu FTBM Sleman dengan judul Wadah Bernama FTBM Sleman, ditulis berdua oleh Ketua FTBM Sleman Sidik Pratomo dan pegiat muda Adityo Nugroho. Secara singkat menceritakan tentang organisasi bernama Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Sleman. Bagaimana wadah ini mampu menampung serta menjadi sarana komunikasi bagi para pegiat literasi. Tulisan kedua karya pegiat literasi senior Muhsin Kalida. Pengalamannya selama berkecimpung di dunia literasi membawanya untuk menyelami dunia TBM, termasuk posisinya dalam gerakan literasi di masyarakat. Tulisan berjudul TBM Itu Asyik menyadarkan kita bahwa TBM itu humanis, mendirikannya mudah dan asyik, serta kemandiriannya tetap terjaga jika mampu mengolahnya. Suatu tulisan menarik sebagai pengantar sebelum membaca kisah-kisah perjuangan pegiat literasi di TBM masing-masing.

Kisah-kisah dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Tidak terlalu krusial, hanya saja biar memudahkan pembaca untuk menikmati kisah yang ada. Bagian pertama adalah Dedikasi Sepenuh Hati, berisi lima tulisan pegiat literasi senior di Sleman. Sudah semenjak lama, baik secara individu ataupun TBM yang dikelola, mereka mengabdikan diri pada dunia literasi. Tak banyak orang-orang berdedikasi tinggi seperti mereka. Semenjak dulu para pejuang gerakan literasi banyak, tapi sedikit seperti mereka yang masih bisa eksis untuk kemudian membimbing generasi muda. Penghargaan setinggi-tingginya patut disematkan kepada mereka.

Kisah pertama dimulai dari tulisan Nanang Sujatmiko berjudul Kerai, Pustaka untuk Indonesia. Tulisan seorang pamong masyarakat bergelar dukuh yang menerima penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia. Merupakan kisah pendirian TBM Kerai yang sudah eksis semenjak tahun 1997, sudah 21 tahun dan terus mencoba berkontribusi untuk masyarakat. Dilanjut tulisan The Story of Cakruk Pintar, kisah tentang salah satu pionir TBM yang dikelola sepasang suami istri pegiat literasi. Kali ini sang istri, Rumi Astuti membeberkan kisah pengelolaan TBM agar bisa mandiri. Berkaca pada keberadaan Cakruk Pintar, eksistensi suatu TBM bisa terus terjaga jika dibarengi dengan pengelolaan yang baik.

Ketua FTBM Sleman Sidik Pratomo menjadi penulis kisah ketiga berjudul Membumi Yang Melangit. Terinspirasi dari perjuangan seorang tokoh veteran perang yang gemar menularkan virus membaca. Bersama sang adik, menjadi pelopor perpustakaan keliling dengan berjalan kaki. Sampai akhirnya kini masih terus berkeliling menggunakan motor pustaka untuk terus menularkan virus membaca. Berikutnya adalah kisah berjudul Merajut Asa, Meraih Mimpi. Kisah hidup dari sang penulis, Hastuti Setyaningrum mengolah kecintaannya kepada buku menjadi sebuah lembaga yang memberdayakan warga melalui gerakan literasi. Terakhir di bagian ini, kembali merupakan kisah keluarga kecil yang mencintai buku. Bermula dari keluarga, menyebarkan budaya baca ke warga. Berawal dari membaca buku, berubah menjadi karya. Tulisan tentang TBM Mata Aksara ini dirangkai apik oleh Nuradi Indra Wijaya dalam tulisan Dari Buku Menjadi Karya: Karena Buku Adalah Gerbang Seluruh Cita.

Bagian kedua adalah Peduli Minat Baca. Ada enam penulis dari latar belakang yang berbeda, yaitu pengelola perpustakaan desa, guru PAUD, ibu muda, pegawai rumah sakit, petani, dan aktivis komunitas. Keberagaman latar belakang tidak menghalangi kepedulian mereka terhadap minat baca. Dengan kapasitas masing-masing, mereka mengolah kemauan dan kemampuan untuk berperan serta dalam dunia literasi. Diawali kisah perjuangan perpustakaan desa untuk tetap ada, sekaligus bermanfaat bagi warga. Bagaimana perjuangan sebuah ruang literasi ketika berhadapan dengan birokrasi. Kisah epik nan apik Nuzul Hidayah Yuningsih dalam Berbagi Ilmu Melalui Pustaka Warga. Seorang Guru PAUD tak lupa ikut berkontribusi pada dunia literasi. Bagi seorang Layla Noor Aziza, anak usia PAUD merupakan generasi awal untuk menumbuhkan kepedulian pada minat baca. Kisah sinergi PAUD dalam literasi ini tertuang pada tulisan berjudul Aku, Buku, dan Masa Depan. Tulisan Menyemai Bibit Literasi berisi rasa syukur seorang ibu atas kelahiran buah hati yang diwujudkan dengan mendirikan taman bacaan. Rika Dian Mayawati meyakini apabila minat baca tumbuh, maka warga gemar membaca terbentuk, dan selanjutnya masyarakat literasi pun terbina.

Sampai pada tulisan keempat bagian kedua, Terasa Bagaikan Rumah oleh Nyayu Widya Rahayu. Kisah seorang pegawai rumah sakit dengan berbagai macam cerita ketika mengelola perpusatakaan rumah sakit. Ketika rumah sakit notabenenya adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang sedang dalam keadaan tidak sehat, baik ringan maupun kronis. Maka TBM PKK @RSUD Sleman ini merupakan oase di tengah gurun pasir, mampu menghadirkan dahaga di pojok kecil sudut rumah sakit. Menjadi semacam ruang pemulihan psikologis melalui ruang baca yang nyaman serta keramahan pengelolanya. Memadukan dunia literasi dan pertanian dilakukan oleh Abu Haytsam dengan Omah Baca Tani. Melalui tulisan Meramu Literasi Berkearifan Lokal, mencoba untuk meningkatkan potensi lokal melalui literasi pertanian. Yaitu memberikan sumber baca dan pengetahuan pertanian untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan petani. Akhir bagian ini adalah kisah berjudul Literasi Berbagi, tulisan karya Adityo Nugroho. Padepokan ASA Wedomartani merupakan suatu yayasan yang bergerak di bidang sosial, mengkhususkan diri pada pengembangan kapasitas dan kapabilitas anak muda di Jogja. Namun hal ini tidak menghalangi mereka untuk ikut berkecimpung di dunia literasi. Diskursus terkait dunia literasi terus dipelihara melalui forum-forum diskusi, serta aksi nyata berbagi semangat membaca lewat gerakan Padepokan ASA Berbagi Buku.

Bagian ketiga adalah Kaum Muda Menjaga Asa. Satu fenomena menarik terkait gerakan literasi di wilayah Kabupaten Sleman adalah tingginya keterlibatan anak muda. Lima orang anak muda pada bagian ini berani menyisihkan tenaga dan pikirannya demi suatu asa. Ketika anak muda lain seusia mereka sibuk dengan masa depan dan kepentingan pribadi, lain halnya dengan pejuang literasi muda ini. Berani menantang arus, berjuang dalam ranah literasi. Marsahlan penulis pertama bagian ini mengangkat tulisan berjudul Rapodo, Rapopo!. Dengan segala kesederhanaannya, Katamaca tumbuh menjadi ruang alternatif bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Berawal dari hobi sampai akhirnya berbagi, dalam tulisan ini sarat terkandung nilai-nilai pemaknaan gerakan literasi yang jarang disadari orang lain. Beralih tulisan berikutnya berjudul Lintas Juang Roda Literasi Sanggar Bocah Jetis. Rakhmadi Gunawan menceritakan berbagai tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan keberadaan ruang baca. Sampai pada aksi heroiknya mengubah sepeda ontel menjadi media baca keliling.

Perjuangan pemuda dalam memajukan desa melalui gerakan literasi juga digalakan oleh Syaeful Cahyadi. Karya berupa Perpustakaan Mbangun Deso menceritakan perjuangannya bagi anak-anak. Minimnya dukungan dari warga sekitar tidak menghentikan niatnya berjuang. Baginya, masa anak-anak harus dilalui dalam kecerian bermain dan belajar bersama. Sambil membekali pengetahuan dunia luar yang kelak berguna bagi mereka. Selanjutnya karya puitis berjudul Nyala Lilin oleh Ine Wulandari. Menceritakan bagaimana suatu ruang baca bisa diinisiasi oleh berbagai macam pihak. Dalam kisah pendirian Sanggar Ruang Aksara, pendiriannya diinisiasi oleh mahasiswa KKN, warga lokal, dan suatu yayasan sosial. Hanya masalah keberlangsungan menjadi kendala, ketika pengelolaan harus diserahkan sepenuhnya kepada warga. Seperti nyala lilin, lama kelamaan menjadi semakin redup disapu buaian angin. Tulisan terakhir dari Diah Fitria Widhiningsih, berjudul Suatu Bercak untuk Pustaka. Berawal dari kegelisahan akan kondisi lingkungan tempat tinggal. Jaringan pertemanan dan kolega pun dirangkul untuk bersama memperbaiki keadaan, lewat jalur literasi. Melalui nama bercak harapan digantungkan, bukan bercak sebagai noda, tapi bercak sebagai bekas atau tilas yang jika terkumpul dalam jumlah banyak akan menjadi luas, kuat, dan berpengruh.

Proses pembuatan buku ini memang tidak semudah bayangan awal. Berbagai tantangan datang silih berganti, pasang surut semangat melanda layaknya ombak di pantai. Tapi semuanya memang butuh pengorbanan dan perjuangan bukan, tidak ada hasil tanpa proses yang panjang. Dukungan dari berbagai kalangan sangat membantu proses perampungan karya ini. Penghargaan setinggi-tingginya kepada para pengelola TBM yang mau berpartisipasi dalam mini survei, donatur yang sudi menyisihkan sedikit rezekinya, kontributor tulisan yang penuh semangat menceritakan kisah perjuangannya, segenap pengurus FTBM yang selalu mendampingi selama proses berlangsung, dan anggota tim buku yang tanpa kenal lelah berjuang dalam segala keterbatasan. Semoga buku ini mampu menjadi dokumentasi perjuangan pegiat literasi di Kabupaten Sleman, serta sebagai karya yang senantiasa menginspirasi kita semua.

Akhir kata, Salam Literasi!

*Isi tulisan ini merupakan Prakata Buku yang ditulis oleh Tim Buku FTBM Sleman (Adityo Nugroho, Ficky Taufikurrochman, Marsahlan, Rakhmadi Gunawan, Syaeful Cahyadi)