Sabtu sore, 4 November 2017, hujan turun lebat. Dalam guyuran hujan, dari balik pintu rumah saya menyaksikan pemandangan menakjubkan. Ibu-ibu berangkan ke Sekolah Paket B dan C Wadas Kelir. Anak-Remaja berkumpul tiga kelompok di teras belajar Wadas Kelir. Semuanya akan belajar. Ada yang belajar seni. Ada yang belajar pelajaran sekolah. Ada juga yang belajar dengan membaca-baca buku di TBM Wadas Kelir. Ada yang berdiskusi. Semuanya dalam gegap gempita merayakan ilmu pengetahuan.
Dalam dingin hujan dengan kondisi saya yang kurang sehat, saya mendapatkan energi dan kehangatan tersendiri atas kejadian hari ini. Saya senang belajar, tetapi saya lebih bahagia melihat orang lain belajar, ini gambaran filosofi saya. Atas kejadian yang menakjubkan ini, saya pun ingat kejadian sebaliknya, sebulan yang lalu.
Para Relawan datang ke saya. Kami bermusyawarah. Salah satu Relawan menyampaikan keprihatianannya karena anak-anak dan remaja sedang susah untuk belajar di Wadas Kelir. Saya pun hanya bisa mengatakan, “Jangan kalah dengan anak-anak dan remaja!” Relawan menatap saya agak bingung. Saya paham, Relawan ingin bertanya, “Maksudnya apa?”
Saya pun menjelaskan, “Terus melayani yang mau belajar dengan sabar dan ikhlas, sekalipun yang datang cuma satu. Jangan kalah dengan yang tidak mau datang untuk belajar. Mereka akan kalah dan datang lagi untuk belajar ke Wadas Kelir jika kita bisa menunjukan kesungguhan mengajar dengan sabar dan ikhlas. Tapi sebaliknya, jika menyikapi fenomena sepi karena anak-anak dan remaja tidak mau belajar dengan marah, kemudian tidak mau mengajar lagi, maka kita kalah. Wadas Kelir akan ditinggalkan. Kekuatan kita mengajar masyarakat ada pada sikap mengalah, sabar, sambil menghadirkan ikhlas.”
Relawan sepertinya paham dengan yang saya inginkan. Sejak saat itu, berapapun yang mau belajar ke Wadas Kelir, kami selalu melayani dengan sebaik mungkin. Tidak ada hari libur, sekalipun yang datang hanya beberapa anak dan remaja. Kegiatan belajar terus dilakukan tanpa henti. Setidaknya Wadas Kelir sudah berjalan empat tahun dengan pasang surut yang luar biasa, dan kami terus bertahan.
Dan hari ini perjuangan itu membuahkan hasil, atas inovasi kegiatan ingin mengadakan pentas anak-anak sekolah dasar yang akan disutradarai langsung oleh remaja, anak-anak dan remaja ramai datang ke Wadas Kelir. Mereka ingin belajar. Saya senang. Saya semakin meyakini bahwa kekuatan sebuah pengabdian terletak pada kemampuan dalam mempertebal sabar dan menghadirkan ikhlas dalam sanubari kita.
Bersekolah dan belajar di Wadas Kelir tidak diwajibkan. Tidak dihukum jika tidak berangkat. Tidak mendapatkan nilai. Jadi tidak ada yang bisa mengikat. Tapi, saya meyakini, saat anak-anak dan remaja melihat dedikasi para Relawan yang tertanam sabar dan ikhlas, maka kekuatan belajar di Wadas Kelir menjadi magnet kemanusian yang dahsyat.
Anak-anak, remaja, dan masyarakat pun akan datang. Untuk belajar dan membaca. Atau barang kali untuk tahu karena merasa penasaran. Dan saat mereka berhadapan dengan Relawan yang mencoba melayani dengan sebaik mungkin, dengan menghadirkan sabar dan ikhlas dalam bekerja, maka komunikasi hati terbentuk. Anak-anak, remaja, dan orang tua akan merasakan hal yang indah belajar di Wadas Kelir. Mereka pun akan datang di kemudian hari.
“Teman-teman Relawan, inilah yang saya maksud dengan belajar hidup. Kita harus belajar dari anak-anak, remaja, dan orang tua yang kita ajar. Sebab jika kita berposisi seperti mereka, kita juga akan melakukan hal yang sama seperti yang merea lakukan. Jadi kita harus menyatu dengan mereka. Jangan merasa lebih karena yang merasa lebih tak akan bisa menghadirkan sabar dan ikhlas!”
Dan di tengah guyuran hujan yang lebat, dari balik pintu rumah, dengan kondisi yang kurang sehat, saya berkata dalam hati, “Wadas Kelir bisa tumbuh dan berkembang karena dikelola oleh Relawan-Relawan yang hatinya tebal dengan sabar dan ikhlas. Saya akan belajar pada kalian.”
Dan saat sayup-sayup saya mendengar anak-anak dan remaja berteriak, saya tersenyum senang. Rasanya kenyataan ini menjadi obat tersendiri bagi saya untuk segera pulih dan kembali berkumpul dengan mereka. Untuk merayakan kebahagiaan dan kemerdekaan dalam belajar di Wadas Kelir. Untuk bisa belajar pada anak-anak, remaja, orang tua, dan relawan. Mereka guru-guru terbaik saya yang mengajarkan banyak kehidupan.
Kelihatannya saja saya gurunya, yang dipanggil dengan Pak Guru. Tapi, ilmu satu orang guru akan kalah dengan ilmu puluhan dan ratusan relawan dan masyarakat yang belajar di Wadas Kelir. Jadi, tak perlu mempertahankan sakit terlalu lama sebab kehidupan di luar, di Wadas Kelir, penuh dengan ilmu kehidupan yang sayang untuk dilewatkan.
Saya tersenyum senang mendapatkan arti kehidupan sederhana yang mengagumkan sore ini. []