Satu hal yang dapat mengingatkan masa kecil manusia adalah jejak-jekak artefak.
Tidak ada yang perlu dipersalah dari sebuah coretan-coretan di dinding rumah. Karena ini adalah sebagian artefak yang nantinya, kelak akan sangat membuat rindu.

Sore ini, ketika saya pulang ke rumah ketiga keponakan saya sudah bersiap menyambut saya dengan teriakan dan senyuman paling manis anak kecil. Seperti sudah janjian terlebih dahulu, mereka kompak dengan berteriak, “Hore! Bibi pulang!” Saya pun menyambutnya dengan senyum semringah. Sambil mengecup ketiga kening keponakan saya. Satu persatu. Mereka membalas dengan pelukan hangat. Sebuah pelukan yang paling saya tunggu-tunggu ketika saya pulang. Entah mengapa selalu ada saja cerita ini.

Seperti sore tadi, tiba-tiba Farah keponakan pertama saya tiba-tiba menceritakan kejadian di sekolah. Dengan muka sangat senang. Katanya, “Tadi di sekolah Farah dibacakan cerita ikan paus, Bi. Besar. Di perut Ikan ada nabi. Kata Bunda nabinya masih hidup. Tapi kok bisa ya Bi Nabinya masih hidup? Padahal kan dimakan? Terus, Farah tadi mewarnai gambar. Sekarang Aku sudah bisa mewarnai rapi.” Ya. Ceritanya panjang. Selesai bercerita, tiba-tiba anak itu menarik saya untuk masuk ke dalam rumah. Dengan sangat gembira. Anak itu menunjukan satu persatu hasil gambarnya. Gambar yang dia buat bukan di kertas sebagai kanas. Tetapi di dinding-dinding rumah. Awalnya, saya ingin berteriak karena kagen. Tapi melihat anak itu begitu sangat bergembira, saya mengurunkan maksudnya dan berpura-pura baik-baik saja. Anak itu menunjukkan beberapa gambar baru yang dia buat. Ya, Gambar pertama, sebuah mobil dengan roda delapan terpajang di dinding ruang tamu. Gambar kedua, sebuah bintang besar dengan beberapa joretan garis mengelilingi bintang, berdampingan dengan nama FARAH di sisi kanan tepat di dinding ruang tengah. Gambar ketiga, sebuah lingkaran besar dengan tujuh lingkaran kecil di salamnya serta sebuah bintang terpajang rapi di kamar tidur saya. Ya. Sebuah pemandangan baru yang mengesalkan juga mengasyikan. Ya. Anak-anak.

Saya perhatikan setiap kata yang dia lontarkan. Lancar sekali. Seketika itu dalam pikiran saya hanya ada satu. Dia memiliki kecerdasaan yang lebih baik dari anak seusianya di rumah. Sebab, diam-diam anak itu sudah bisa menangkap apa yang didengar dengan sangat baik. Terlebih lagi dapat mengkomunkasikan lagi kepada orang lain.

Seketika saya teringat dengan manfaat Read A Loud bagi anak. Yang salah satu di antara ketiga manfaatnya adalah MENSTIMULASI THINK ALOUD. Membuat anak berpikir kritis dan kreatif. Sebuah ilmu baru yang saya dapatkan setelah saya membaca buku Jim Trealease, The Read-Aloud Handbook. Dua hal, berpikir kritis dan kreatif. Pertama, Anak itu sudah menapakan kekritisannya terhadap bacaan yang didengarnya. Sehingga, tanpa disadari anak mengeluarkan sebuah pertanyaan untuk mengritisi rangsangan yang di dapat. Kedua, sudah mampu berpikiran kreatif. Dia memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya sebagai medianya untuk menumpahkan daya kreatifnya dalam sebuah coretan.

Inilah yang dinamakan artefak. Artefak yang dihasilkan sebagai hasil dari daya kecerasan yang dimiliki manusia. Yang akan membekas dikehidupan manusia. Inilah yang akhirnya membuat saya tersenyum dan mengusap kepalanya. Saat ketika saya melihat betapa bayaknya coretan yang sudah memenuhi dinding rumah. Karena saat itu saya sadar anak sudah mulai banyak beraksi dengan artefak yang tidak sengaja diciptakan. Dan karena ini tidak sengaja, saya yakin kelak ketika anak sudah dewasa artefak ini yang akan pertama kali diingat ketika mengunjungi tempat yang sama. []