Categories
Artefak Literasi Puisi

Masalah Waktu

Waktunya tiba,

Betapa senangnya hatiku

Terbayang kebersamaan akan dahaganya kami akan bekal dunia tuk seumur hidup

Waktunya tiba,

Semangat aku duduk dibangku merah steanless tepat di tengah aula mini penuh aura semangat menimba ilmu

Waktunya tiba,

Aku termangu, bingung, sendiri

Wakunya tiba sekarang,

Tak ada teman sekarang,

Sepi berteman hening di aula ini,

Waktu dulu,

Sepakat bersama,

Kompak bersama,

Kebersamaan bersama,

Namun saat waktunya tiba,

Semua hanya masalah waktu

Lubuklinggau, 28 Januari 2018

Categories
Artefak Literasi Puisi

Aku dan Hati

Jingga itu samar

Birupun tak terlihat

Putih hitam abu abu mendominasi

Senang, sedih, duka

Entah yang mana paling penuh mengisi sanubari

Hanya sesak saja

Dari campur aduk rasa ini

Memikirkan yang telah berlalu

Membuat otak ini lelah

Seandainya kau tahu

Inilah ketidakberdayaan yang peluh

Disini

Ratapan ini

Bukti

Tak ada perubahan bearti

Aku dan hati ini

Mantab

Bengkulu, 31 desember 2017

Categories
Artefak Literasi Puisi

Pertanyaan dan Pencarian Hidup

  • Hitam,

Tersadar,

Terlihat,

Hening,

Sendiri,

Sepi,

Jika hitam ini tak bisa pergi

Akankah sia sia saja tersadar dari gelap ini

Dari yang terlihat, semua yang terjadi jelas salah

Termenung dalam hening

Sendiri meratap

Hati ini sepi

Merindukan cahaya?

Rasa damai?

Ketentraman?

Ini ternyata hidup

Segala pintu kesempatan terbuka

Tapi apakah kau akan mendapatkannya?

Ya,

Waktu akan menjawab

Tidak!

Jika kau hanya sejenak sadar dan hanya berleha leha

Usaha!!!

Categories
Artefak Literasi Puisi

Topeng Palsu

Apakah aku awam

Entah bagaimana lagi harus mengerti

Semua yang terlihat begitu memuakkan

Berderet ekpresi telah terkuak

Dan kau masih saja dengan percaya diri tampil di panggung utama sandiwara dunia

Bodohnya aku telah mengiyakan semua itu

Perawakan bawaan darinya yang selalu aku dukung

Menyuguhkan itikad manis dibalik busuknya nafsu

Aku sudah tak tahan, meledak ledak pemberontakan hati ini

Jati diri ini harusnya muncul, bukan tenggelam

Kenapa harus memakai topeng jika bisa menunjukkan hal orisinil dari wajah palsu ini

Aku dan kau sama nistanya

Sama buruk dalam menutup aib

Sama jahat bak serigala berbulu domba

Aku ingin bebas, lepas dari kemunafikan ini

Aku ingin merasakan kedamaian

Berhenti dari jelmaan mimik topeng – topeng palsu kehidupan ini

Aku ingin hidup tenang

Lubuklinggau, 22 Desember 2017

Categories
Artefak Literasi Cerpen

Sinaran

“Jadi kamu tidak tahu kalau  dia itu tinggal di daerah  lokalisasi Patok Besi?” tanya Dony dengan mata melotot dan tangan kanan di dagunya.

“Lokalisasi?” timpal Dita.

“Eh, kamu tahu tidak itu daerah apa?” Mata Dony lebih melotot.

“Memangnya  kenapa, Don? Apa hubungannya dengan Bayu?”

“Biasanya yang tinggal di tempat seperti itu pasti tabiat dan kelakuan aslinya tidak akan beda jauh,”  cibir Dony.

“Kamu ini jangan ngawur ah, keliatan  kok kalau Bayu itu tidak seperti itu,” Dita terlihat membela.

“Yo wes kalo tidak mau percaya!” Dony mengangkat bahu.

“Sudahlah, fokus saja dengan progam yang lagi kita susun untuk kelompok kita ini!” sela Wenti.

Perkataan Dony membuat otakku bermain-main. Aku hanya bisa terdiam memikirkannya. Benarkah demikian adanya, ataukah  hanya  prasangka? Apakah sikap  positif seperti yang Dita tunjukkanlah yang harus kuterapkan dalam pemikiranku? entahlah.

Satu minggu telah berlalu dari percakapan instan itu. Jadwal  praktik kerja lapangan (PKL) pun keluar. Setiap kelompok mendapatkan jatah daerahnya masing-masing.

Desa Sumber Agung RT 02 tertulis jelas dalam daftar pembagian daerah PKL di kelompok kami yang beranggotakan Dony, Dita, Salsa, Wenti dan aku.

“Ini dekat rumahnya si Bayu, ‘kan?” celoteh Dony.

Semua anggota  kelompok  diam. Kami bergegas berangkat ke lokasi.

Tak terasa sudah menginjak hari kelima kami bertugas, bertepatan hari di mana para pria muslim diwajibkan untuk menjalankan salat Jumat.

“Yuk Jumatan,” ajakku

“Tunggu sebentar,” wajah  Dony terlihat murung,

“Kenapa wajahmu, Don, lagi ada masalahnya?” tanyaku dalam perjalanan.

“Tidak ada apa-apa, hanya saja …”

“Kenapa?” potongku cepat.

“Aku merasa bersalah, seharusnya aku tak memandang orang dari cover-nya saja. Semua pemikiran itu ternyata hanya tumpukkan prasangka yang menjatuhkan harga diriku saat ini. Aku hanya ingin meminta maaf sekarang,” ujar Dony menyesal.

Ucapan  Dony  ini membuatku berpikir panjang—sedang ngomong apa anak ini?  Sosok yang biasanya sok tahu dan banyak bicara itu kini terlihat seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orangtuanya.

Tibalah kami di Masjid Nurul Hidayah, satu satunya masjid yang menyelenggarakan kegiatan ibadah salat Jumat di kelurahan tersebut. Masuklah kami ke dalam masjid, para jemaah penuh sesak di dalamnya.Tak lama berselang, naiklah khotib ke mimbar masjid.

Hatiku berdegup, daraku mendesir ke kepala dan mataku terbelalak. Sontak aku menoleh ke arah Dony yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya seraya menjawab salam sang khotib.

Bayu Sembiring. Pemuda 21 tahun ini merupakan mahasiswa semester IV yang tengah menjadi buah bibir para mahasiswa wanita di STKIP PGRI Lubuklinggau ini. Postur tubuhnya yang tegap berisi, wajahnya yang tampan berhiaskan berewok tipis nan rapi. Vixion putih yang ditungganginya membuat kegagahannya makin purna.

Tanpa sadar aku keluar dari masjid dan mengambil telepon selular dari kantongku. Kupercepat memencet kontak nomor. Tepat di nama Ibu, aku pun langsung membuat panggilan.

“Halo Ibu,” kataku cepat begitu panggilan terjawab. “Ini Yadi. Tolong, Bu,   segerakan adikku dihalalkan oleh yang meminangnya, Bu. Aku  ridho dunia akhirat didahului. Insya Allah, ini jalan yang terbaik.”

“Lho bukannya kamu kemarin ….”

“Iya, Bu!” potongku cepat, “Kemarin-kemarin bedaa, Bu …”

“Kok ..?”

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Air mataku menetes. Aku pikir, ada baiknya aku menenangkan diri dulu sebelum menjelaskan semuanya kepada Ibu. Aku merasa lega, jauh lebih lega, jauh lebih bahagia dari biasanya.[]