Oleh. Heri Maja Kelana
Pada tahun 2005, ketika saya masih menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, saya diwajibkan membaca buku-buku sastra oleh dosen. Salah satu buku yang diwajibkan adalah Teori Kesusastraan karya René Wellek dan Austin Warren. Meski merupakan buku lama, buku tersebut mudah ditemukan di Toko Buku Palasari, Bandung, pada waktu itu. Palasari memang terkenal lengkap; apa pun yang dicari, pasti ada, meski entah bagaimana para pedagang mendapatkan buku-buku tersebut.
Di samping itu, saya juga menemukan buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden. Buku Ignas Kleden menarik perhatian saya, mungkin karena berupa kumpulan esai yang terasa hidup dan bernyawa. Sejak saat itu, saya mencari buku-buku lainnya karya Ignas Kleden. Bahkan, saya pergi ke Jakarta untuk menghadiri pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada acara “Pekan Presiden Penyair” tahun 2007, yang juga memperingati ulang tahun Sutardji Calzoum Bachri.
Pidato kebudayaan Ignas Kleden di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2009 bagi saya luar biasa. Pidato tersebut diberi judul “Memperkuat Masyarakat Sipil dengan Kesenian untuk Mengelola Negara dan Pasar Lebih Baik: Seni dan Civil Society”, dengan referensi khusus kepada penyair Rendra. Sejak itu, saya terus mengikuti pemikiran-pemikiran Ignas Kleden melalui pidato kebudayaan, esai, dan buku-bukunya.
Tanggal 22 Januari 2024, Ignas Kleden meninggal dunia. Meski demikian, pemikirannya tetap hidup, termasuk gagasannya tentang kebudayaan berorientasi darat dan laut dalam peta politik Indonesia, yang pernah ia sampaikan melalui podcast di platform Kosakata Bersama Ichan Laulebah, tanggal 21 Juli 2021. Pemikiran ini relevan untuk direnungkan dalam konteks kebudayaan dan politik Indonesia kekinian.
Ignas Kleden sangat jelas memetakan Indonesia yang terdiri dari dua sosiokultural yang berbeda.
Dalam Pandangan Ignas Kleden Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, mencakup ribuan pulau yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang dan orientasi yang beragam. Salah satu dimensi penting yang sering dibahas dalam sosiokultural Indonesia adalah perbedaan antara masyarakat pesisir dan pedalaman. Namun, di balik pembagian ini terdapat kerangka yang lebih besar, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Pembahasan tentang keduanya memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial politik di Indonesia.
Kebudayaan Besar dan Kebudayaan Kecil
Kebudayaan besar adalah kebudayaan yang memiliki basis klasik, seperti kebudayaan Melayu, Jawa, Bugis, dan yang lainnya. Kebudayaan ini berkembang melalui sistem yang terorganisasi dengan baik, seperti tata negara dan tata krama, yang mengutamakan hirarki sebagai elemen penting. Di sisi lain, kebudayaan kecil tidak memiliki basis klasik, pengalaman dalam tata negara, maupun struktur hierarkis yang kompleks. Politik dalam kebudayaan kecil biasanya diatur oleh ketua adat atau orang-orang kuat dalam komunitasnya.
Ketika masyarakat dari kebudayaan kecil berinteraksi dengan kebudayaan besar, sering kali terjadi kejutan budaya. Hal-hal yang dianggap tidak relevan, seperti hirarki, menjadi sangat penting dalam kebudayaan besar. Contohnya adalah di Papua, di mana tata negara hampir tidak ada, dan tata krama hanya sedikit berkembang. Sikap egalitarian yang alami menjadi ciri khas kebudayaan kecil karena tidak adanya struktur hierarki yang kompleks.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa kebudayaan kecil memiliki potensi untuk berubah. Pendidikan, masuknya kebudayaan Barat, atau adaptasi terhadap kebudayaan besar dapat memengaruhi masyarakat ini. Sebagai contoh, raja-raja di Nusa Tenggara Timur pada masa kolonial diangkat oleh Belanda dan Portugis, menciptakan bentuk baru dari struktur kepemimpinan.
Orientasi Laut dan Darat
Selain perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, orientasi masyarakat ke laut atau darat juga menjadi kerangka penting dalam memahami budaya Indonesia. Dalam masyarakat yang berorientasi darat, seperti masyarakat agraris, sistem nilai yang berkembang bersifat feodal. Konsep tuan tanah dan hubungan patron-klien menjadi fondasi yang memperkuat hirarki sosial. Struktur ini mendukung organisasi yang baik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai feodalisme yang terkadang menjadi penghambat dalam konteks demokrasi modern.
Sebaliknya, masyarakat yang berorientasi ke laut memiliki etos yang berbeda. Kepemimpinan di laut, seperti yang terlihat pada seorang kapiten kapal, didasarkan pada tiga prinsip utama: pengalaman dan kompetensi, pengambilan keputusan cepat, serta etika kepemimpinan. Pemimpin harus berkembang dari bawah, mampu mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat, dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal saat terjadi bencana. Prinsip-prinsip ini mencerminkan semangat egalitarian dan pragmatisme yang lebih besar dibandingkan budaya feodal.
Perbedaan orientasi budaya ini memberikan kontribusi yang unik dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Masyarakat darat, dengan sistem organisasinya yang baik, memberikan stabilitas dan keteraturan. Sementara itu, masyarakat laut, dengan adaptabilitas dan pengalaman mereka, menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap perubahan. Keterbukaan masyarakat pesisir terhadap dunia luar membuat mereka lebih toleran dan dinamis, sedangkan masyarakat pedalaman cenderung tradisional karena minimnya interaksi dengan dunia luar.
Perbedaan ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi. Masyarakat pesisir yang sering terpapar dengan perbedaan dan inovasi cenderung lebih siap menghadapi perubahan. Sebaliknya, masyarakat pedalaman, yang lebih terisolasi, memegang teguh tradisi dan nilai-nilai lokal.
Dengan melihat karakteristik budaya laut dan darat, penting bagi Indonesia untuk mengubah cara pandang terhadap identitasnya sebagai negara kepulauan. Istilah “negara kepulauan” berorientasi pada darat, sedangkan 70% wilayah Indonesia adalah laut. Oleh karena itu, Indonesia lebih tepat disebut sebagai “negara lautan yang dihiasi pulau-pulau.” Perspektif ini menempatkan laut sebagai elemen sentral dalam kehidupan bangsa, bukan hanya sebagai batas geografis, tetapi juga sebagai sumber inspirasi budaya dan politik.
Kebudayaan pesisir dan pedalaman, serta perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, adalah cerminan dari kompleksitas masyarakat Indonesia. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat melihat bagaimana kekayaan budaya Indonesia dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan modern. Perpaduan nilai-nilai dari budaya laut dan darat, serta adaptasi terhadap konteks global, dapat menjadi dasar untuk menciptakan politik yang lebih inklusif, dinamis, dan berkeadilan. Perspektif ini, dengan menempatkan laut sebagai pusat, juga memberikan pijakan yang kuat bagi Indonesia untuk membangun identitas nasional yang lebih kuat. Tabik.