Categories
Kolom

Melihat ke Laut dan Darat dalam Konteks Sosial Politik di Indonesia

Oleh. Heri Maja Kelana

Pada tahun 2005, ketika saya masih menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, saya diwajibkan membaca buku-buku sastra oleh dosen. Salah satu buku yang diwajibkan adalah Teori Kesusastraan karya René Wellek dan Austin Warren. Meski merupakan buku lama, buku tersebut mudah ditemukan di Toko Buku Palasari, Bandung, pada waktu itu. Palasari memang terkenal lengkap; apa pun yang dicari, pasti ada, meski entah bagaimana para pedagang mendapatkan buku-buku tersebut.

Di samping itu, saya juga menemukan buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden. Buku Ignas Kleden menarik perhatian saya, mungkin karena berupa kumpulan esai yang terasa hidup dan bernyawa. Sejak saat itu, saya mencari buku-buku lainnya karya Ignas Kleden. Bahkan, saya pergi ke Jakarta untuk menghadiri pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada acara “Pekan Presiden Penyair” tahun 2007, yang juga memperingati ulang tahun Sutardji Calzoum Bachri.

Pidato kebudayaan Ignas Kleden di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2009 bagi saya luar biasa. Pidato tersebut diberi judul “Memperkuat Masyarakat Sipil dengan Kesenian untuk Mengelola Negara dan Pasar Lebih Baik: Seni dan Civil Society”, dengan referensi khusus kepada penyair Rendra. Sejak itu, saya terus mengikuti pemikiran-pemikiran Ignas Kleden melalui pidato kebudayaan, esai, dan buku-bukunya.

Tanggal 22 Januari 2024, Ignas Kleden meninggal dunia. Meski demikian, pemikirannya tetap hidup, termasuk gagasannya tentang kebudayaan berorientasi darat dan laut dalam peta politik Indonesia, yang pernah ia sampaikan melalui podcast di platform Kosakata Bersama Ichan Laulebah, tanggal 21 Juli 2021. Pemikiran ini relevan untuk direnungkan dalam konteks kebudayaan dan politik Indonesia kekinian.

Ignas Kleden sangat jelas memetakan Indonesia yang terdiri dari dua sosiokultural yang berbeda.

Dalam Pandangan Ignas Kleden Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, mencakup ribuan pulau yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang dan orientasi yang beragam. Salah satu dimensi penting yang sering dibahas dalam sosiokultural Indonesia adalah perbedaan antara masyarakat pesisir dan pedalaman. Namun, di balik pembagian ini terdapat kerangka yang lebih besar, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Pembahasan tentang keduanya memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial politik di Indonesia.

Kebudayaan Besar dan Kebudayaan Kecil

Kebudayaan besar adalah kebudayaan yang memiliki basis klasik, seperti kebudayaan Melayu, Jawa, Bugis, dan yang lainnya. Kebudayaan ini berkembang melalui sistem yang terorganisasi dengan baik, seperti tata negara dan tata krama, yang mengutamakan hirarki sebagai elemen penting. Di sisi lain, kebudayaan kecil tidak memiliki basis klasik, pengalaman dalam tata negara, maupun struktur hierarkis yang kompleks. Politik dalam kebudayaan kecil biasanya diatur oleh ketua adat atau orang-orang kuat dalam komunitasnya.

Ketika masyarakat dari kebudayaan kecil berinteraksi dengan kebudayaan besar, sering kali terjadi kejutan budaya. Hal-hal yang dianggap tidak relevan, seperti hirarki, menjadi sangat penting dalam kebudayaan besar. Contohnya adalah di Papua, di mana tata negara hampir tidak ada, dan tata krama hanya sedikit berkembang. Sikap egalitarian yang alami menjadi ciri khas kebudayaan kecil karena tidak adanya struktur hierarki yang kompleks.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa kebudayaan kecil memiliki potensi untuk berubah. Pendidikan, masuknya kebudayaan Barat, atau adaptasi terhadap kebudayaan besar dapat memengaruhi masyarakat ini. Sebagai contoh, raja-raja di Nusa Tenggara Timur pada masa kolonial diangkat oleh Belanda dan Portugis, menciptakan bentuk baru dari struktur kepemimpinan.

Orientasi Laut dan Darat

Selain perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, orientasi masyarakat ke laut atau darat juga menjadi kerangka penting dalam memahami budaya Indonesia. Dalam masyarakat yang berorientasi darat, seperti masyarakat agraris, sistem nilai yang berkembang bersifat feodal. Konsep tuan tanah dan hubungan patron-klien menjadi fondasi yang memperkuat hirarki sosial. Struktur ini mendukung organisasi yang baik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai feodalisme yang terkadang menjadi penghambat dalam konteks demokrasi modern.

Sebaliknya, masyarakat yang berorientasi ke laut memiliki etos yang berbeda. Kepemimpinan di laut, seperti yang terlihat pada seorang kapiten kapal, didasarkan pada tiga prinsip utama: pengalaman dan kompetensi, pengambilan keputusan cepat, serta etika kepemimpinan. Pemimpin harus berkembang dari bawah, mampu mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat, dan menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal saat terjadi bencana. Prinsip-prinsip ini mencerminkan semangat egalitarian dan pragmatisme yang lebih besar dibandingkan budaya feodal.

Perbedaan orientasi budaya ini memberikan kontribusi yang unik dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Masyarakat darat, dengan sistem organisasinya yang baik, memberikan stabilitas dan keteraturan. Sementara itu, masyarakat laut, dengan adaptabilitas dan pengalaman mereka, menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap perubahan. Keterbukaan masyarakat pesisir terhadap dunia luar membuat mereka lebih toleran dan dinamis, sedangkan masyarakat pedalaman cenderung tradisional karena minimnya interaksi dengan dunia luar.

Perbedaan ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi. Masyarakat pesisir yang sering terpapar dengan perbedaan dan inovasi cenderung lebih siap menghadapi perubahan. Sebaliknya, masyarakat pedalaman, yang lebih terisolasi, memegang teguh tradisi dan nilai-nilai lokal.

Dengan melihat karakteristik budaya laut dan darat, penting bagi Indonesia untuk mengubah cara pandang terhadap identitasnya sebagai negara kepulauan. Istilah “negara kepulauan” berorientasi pada darat, sedangkan 70% wilayah Indonesia adalah laut. Oleh karena itu, Indonesia lebih tepat disebut sebagai “negara lautan yang dihiasi pulau-pulau.” Perspektif ini menempatkan laut sebagai elemen sentral dalam kehidupan bangsa, bukan hanya sebagai batas geografis, tetapi juga sebagai sumber inspirasi budaya dan politik.

Kebudayaan pesisir dan pedalaman, serta perbedaan antara kebudayaan besar dan kecil, adalah cerminan dari kompleksitas masyarakat Indonesia. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat melihat bagaimana kekayaan budaya Indonesia dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan modern. Perpaduan nilai-nilai dari budaya laut dan darat, serta adaptasi terhadap konteks global, dapat menjadi dasar untuk menciptakan politik yang lebih inklusif, dinamis, dan berkeadilan. Perspektif ini, dengan menempatkan laut sebagai pusat, juga memberikan pijakan yang kuat bagi Indonesia untuk membangun identitas nasional yang lebih kuat. Tabik.

Categories
Artikel Opini

Peran TBM dalam Literasi Transformatif

Oleh. Heri Maja Kelana

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang tersebar dari Aceh hingga Papua sangat banyak, yang terdaftar hinga tulisan ini dunggah sudah mencapai 3215 TBM. Belum yang tidak mendaftarkan diri ke Forum TBM. Hal ini menjadi modal penting dalam meningkatkan literasi di Indonesia, karena TBM berada di akar rumput, di mana dekat sekali dengan masyarakat.

TBM juga menjadi salah satu tempat yang dapat menyebarluaskan informasi juga sebagai tempat belajar serta praktik-praktik literasi di masyarakat. Sehingga dengan adanya TBM, masyarakat dapat terpenuhi nutrisi-nutrisi pemahaman terkait dirinya sendiri maupun pada konteks yang lebih luas, seperti dunia sekarang yang semakin kompleks.

Dalam dunia yang semakin kompleks, ketegangan akibat perbedaan budaya, etnis, agama, hingga latar belakang sosial terus bermunculan, menuntut upaya untuk membangun jembatan yang dapat menghubungkan berbagai kelompok masyarakat. Salah satu pendekatan yang dapat menjawab tantangan ini adalah literasi transformatif, sebuah konsep yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga untuk membentuk individu yang mampu berpikir kritis, empati, serta siap berdialog. Literasi transformatif menjadi alat yang esensial dalam menciptakan saling pengertian, membangun keselarasan sosial, dan mendorong perdamaian yang berkelanjutan.

Saling Pengertian Melalui Literasi Transformatif

Salah satu aspek penting dari literasi transformatif adalah kemampuannya untuk meningkatkan saling pengertian. Literasi transformatif tidak hanya memfokuskan pada penyerapan informasi, tetapi juga mengajak individu untuk melihat berbagai sudut pandang dengan lebih kritis. Dengan menanamkan kesadaran kritis, individu diharapkan mampu memahami konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi berbagai fenomena. Misalnya, melalui pembacaan teks-teks dari budaya atau perspektif yang berbeda, seseorang dapat belajar untuk memahami pandangan dunia orang lain, menghindari prasangka, dan mengembangkan sikap lebih terbuka terhadap keragaman.

Lebih dari sekadar memahami perspektif, literasi transformatif juga memainkan peran penting dalam membangun empati. Dengan membaca dan terlibat dalam cerita-cerita dari berbagai kelompok masyarakat, individu dapat memahami lebih dalam pengalaman hidup orang lain, merasakan emosi yang dirasakan oleh kelompok-kelompok tersebut, dan akhirnya dapat lebih memahami masalah dan tantangan yang mereka hadapi. Dengan demikian, literasi transformatif menciptakan ruang untuk saling memahami, yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik berbasis perbedaan.

Keselarasan Sosial sebagai Dampak dari Literasi Transformatif

Selain meningkatkan saling pengertian, literasi transformatif juga memiliki kekuatan untuk membangun keselarasan sosial. Keselarasan sosial terbentuk ketika masyarakat memiliki rasa saling percaya dan kesatuan, serta mengurangi fragmentasi yang sering kali disebabkan oleh prasangka. Literasi transformatif mendorong individu untuk mendekonstruksi prasangka yang sering kali muncul akibat kurangnya pemahaman atau informasi yang salah. Dengan memperkenalkan narasi yang lebih inklusif, literasi ini memungkinkan masyarakat untuk melihat kesamaan di tengah keragaman.

Lebih jauh lagi, literasi transformatif membuka ruang bagi dialog yang bermakna. Dialog ini tidak berfokus pada perdebatan untuk memenangkan argumen, melainkan untuk saling mendengarkan dan memahami sudut pandang masing-masing. Dalam dialog seperti ini, orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat terlibat dalam percakapan yang konstruktif, berbagi pengalaman, dan mencari solusi bersama untuk masalah yang dihadapi. Keselarasan sosial yang dihasilkan dari dialog semacam ini bukan hanya bersifat sementara, tetapi dapat mengakar kuat dalam masyarakat yang menghargai perbedaan dan mengutamakan kesamaan.

Perdamaian Berkelanjutan Melalui Literasi Transformatif

Literasi transformatif juga berperan signifikan dalam mendorong perdamaian. Salah satu kunci untuk menciptakan perdamaian adalah kemampuan untuk menyelesaikan konflik melalui cara-cara yang damai. Literasi transformatif mengajarkan keterampilan komunikasi, mediasi, dan penyelesaian konflik yang berbasis dialog. Dalam konteks ini, individu yang terlibat diajak untuk memahami akar penyebab konflik, tidak sekadar melihat permukaannya. Proses ini memungkinkan mereka untuk mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.

Selain itu, literasi transformatif juga mendukung prinsip keadilan sosial dan inklusivitas, yang merupakan fondasi bagi terciptanya perdamaian jangka panjang. Dengan memahami ketidakadilan yang ada di masyarakat, literasi ini mendorong individu untuk aktif mengupayakan perubahan sosial yang lebih adil. Perdamaian yang dihasilkan bukanlah perdamaian semu yang hanya menutupi ketegangan di permukaan, tetapi perdamaian yang didasarkan pada rasa keadilan dan penghargaan terhadap hak-hak semua kelompok masyarakat.

Literasi transformatif menawarkan pendekatan yang holistik untuk mengatasi berbagai tantangan sosial yang ada di masyarakat. Dengan meningkatkan saling pengertian, memperkuat keselarasan sosial, dan menciptakan perdamaian melalui dialog dan keadilan, literasi ini tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Dalam dunia yang semakin kompleks, literasi transformatif menjadi salah satu kunci untuk membangun masyarakat yang damai dan berkeadilan.

Secara tidak langsung, literasi transformatif telah dilakukan oleh TBM. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah, ada TBM Kandepe Topelinja, di mana salah satu praktik literasi yang dilakukannya adalah mendampingi masyarakat yang masih trauma dalam tragedi Poso, meskipun sudah lama, namun rasa trauma tersebut masih ada. Kandepe Topelinja mendampingi masyarakat yang masih trauma.

Di Kalimantan Barat, di mana kita tahu bahwa ada tiga etnis besar, Thionghoa, Dayak, dan Melayu, yang hidup berbarengan dengan  keselarasan sosial yang sangat tinggi. TBM Fitrah Berkah Insani, mentransformasikan Tari Tidayu (tarian tiga etnis) dalam kontaks kekinian. Supaya generasi muda terus melestarikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Praktik-praktik literasi transformatif ini juga banyak dilakukan oleh TBM yang lainnya.

Pada dasarnya, TBM sudah memiliki peran yang sangat signifikan dalam masyarakat. Hal ini perlu dan harus disambut baik oleh berbagai kalangan dari mulai pemerintah hingga pihak swasta dalam mendukung gerakan-gerakan TBM. Supaya gerakan-gerakan yang sudah baik ini memiliki dukungan yang banyak dari berbagai kalangan.

Selamat Hari Literasi Internasional 2024. Salam.

 

Sumber: https://www.unesco.org/en/days/literacy

Categories
Kabar TBM

STUDY BANDING FORUM TBM DEMAK KE OMAH BUKU MAGELANG

Oleh. M. Nasir*
Pengurus Daerah Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Demak mengadakan kegiatan Study Banding yang bertempat di TBM Omah Buku Desa Blondo Kec. Mungkid Kabupaten Magelang, Pada hari Minggu, 1 September 2024.
Muhammad Nasir, S.Pd. Selaku Ketua Forum TBM Demak mengatakan, kegiatan Study Banding bertujuan untuk memotivasi kawan-kawan dalam berproses di Forum TBM Demak, kita konsep Study Banding dengan tema “Peningkatan dan Pengembangan Kapasitas SDM, Pengelolaan Program Dan Jejaring Kemitraan” diharapkan setelah Study Banding Kita bisa lebih semangat dalam mengelola  Forum TBM dan TBM-TBM di daerah Masing-masing.
Dalam Study Banding dihadirkan 3 Narasumber diantaranya Budi Susila, S.Pd. Selaku Ketua TBM Omah Buku Magelang sekaligus Ketua Forum TBM Jawa Tengah memberikan Materi “Upaya Meningkatkan & Mengembangkan Kapasitas SDM dalam mengelola Taman Bacaan Masyarakat” kemudian Wahyudi, S.Pd. M.Pd. Selaku Kabid PAUD DIKMAS DISDIKBUD Kabupaten Magelang memberi Materi “Strategi Pengelolaan Program Literasi di Lingkungan Pendidikan” Kemudian Amroni, S.Sos selaku Kabid Pengembangan Perpustakaan DISPUSPA Kabupaten Magelang dengan Materi “Cara Menjalin Jejaring Kemitraan Dalam Budaya Literasi”.
Acara dihadiri oleh Pengurus Forum TBM Demak, Perwakilan Dindikbud Demak, Penulis Demak, Pengelola TBM-TBM di Demak dan Perwakilan dari Tamu undangan Pemerintah Kabupaten Magelang, dan tidak lupa kita juga memberikan Kenang-Kenangan berupa Plakat & Oleh-oleh Khas Demak sebagai Ucapan Terima kasih.
Setelah Study Banding Selesai Rombongan Forum TBM Demak melanjutkan perjalan menuju Pusat Oleh-oleh dan berziarah Ke Makam Waliyullah Syekh Subakir yang berada di Taman Wisata Gunung Tidar Magelang, nama aslinya adalah Maulana Muhammad Al-Baqir ini merupakan putra dari Syekh Jamaluddin Husein Al Akbar atau Syekh Jumadil Kubro.
Setelah acara selesai Forum TBM Demak mengakhiri dengan Foto Bersama untuk mengabadikan kegiatan dan kebersamaan selama Proses Study Banding berlangsung.
*Ketua Forum TBM Demak
Categories
Kabar TBM

Fasilitasi Penggerak Literasi 2024, Langkah Awal Penguatan Forum TBM Daerah dan Wilayah di 3 Provinsi

Oleh : Munasyaroh Fadhilah*

Mengawali September Ceria, sebanyak 50 pegiat literasi dari berbagai wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY yang berkumpul di Kota Madiun. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan Fasilitasi Penggerak Literasi yang berlangsung dari Sabtu hingga Minggu, tepatnya pada tanggal 31 Agustus hingga 1 September 2024. Acara ini diselenggarakan oleh Forum TBM Pusat dengan dukungan penuh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI). 

Para peserta yang hadir terdiri dari pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah Forum TBM dari ketiga provinsi tersebut, serta beberapa pengelola TBM di Jawa Timur yang wilayahnya belum memiliki Pengurus Daerah. Kehadiran mereka pentingnya acara ini sebagai sarana untuk memperkuat jaringan dan sinergi antar pegiat literasi.

Acara ini dibuka secara resmi oleh perwakilan Perpusnas RI dan Kang Opik, Ketua Umum Forum TBM. Dalam Berbaginya, Kang Opik memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi Forum TBM saat ini, mulai dari keanggotaan hingga mekanisme kepengurusan. Ia juga membahas berbagai inisiatif yang telah dilakukan oleh Forum TBM dalam rangka memperkuat gerakan literasi di Indonesia.

Kang Opik menekankan pentingnya memaksimalkan pertemuan ini. Dipilihnya Madiun sebagai lokasi pertemuan bukan hanya karena letak geografisnya yang strategis, dapat dijangkau dengan mudah dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY, tetapi juga karena Madiun kini telah menjadi salah satu kota dengan perkembangan literasi yang cukup pesat.

Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada Perpustakaan Kota Madiun atas dukungan dan fasilitas yang diberikan. Harapannya, sinergi antara Forum TBM dan Perpustakaan Kota Madiun akan terus terjalin erat di masa depan.

Madiun: Kota Literasi yang Mendunia

Setelah pembukaan, rangkaian kegiatan Fasilitasi Penggerak Literasi 2024 langsung dimulai dengan sesi diskusi yang dipandu oleh Aris Munandar, pengurus pusat Forum TBM. Sesi ini menghadirkan narasumber L. Darmawan Srivisnhu, S.Ip., M.Si., Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Madiun, serta Drs. Pundjung Wahono, Kepala Bidang Perpustakaan Kota Madiun. 

Dalam pemaparannya, Bapak Darmawan memberikan gambaran tentang prestasi Madiun di berbagai bidang, khususnya dalam penguatan literasi. Madiun, yang kini memiliki tagline “Menuju Kota Madiun yang Mendunia,” tidak hanya menjadi bagian dari Jawa Timur, namun juga telah berkontribusi secara nasional hingga internasional dalam gerakan literasi.

Perpustakaan Kota Madiun sendiri tetap buka dan melayani masyarakat pada hari Sabtu dan Minggu, sebuah upaya yang menunjukkan komitmen mereka dalam mendukung literasi. Selain ada perpustakaan umum di pusat Kota Madiun, terdapat 27 perpustakaan di tingkat kelurahan dan tiga perpustakaan di tingkat kecamatan. Selain itu ada enam TBM yang aktif di wilayah tersebut. 

Beberapa program unggulan yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Kota Madiun antara lain:

  1. Dwi Puspa (Destinasi Wisata Perpustakaan Kota Madiun)
  2. Pilar Baca (Pitutur Basa Jawa)
  3. Si Mata Jeli (Sistem Informasi bagi Masyarakat Kota Madiun melalui Jendela Literasi)
  4. Jarimu (Jemputan Antar Ambil Buku dari Rumahmu)
  5. Empok Remen (Kelompok Remaja Menulis), yang telah menghasilkan enam buku yang diterbitkan.
  6. Perpustakaan Keliling, dengan dua unit mobil yang melayani masyarakat.
  7. Layanan Bis Pintar
  8. Rumah Pintar
  9. Ruang Bermain Pintar
  10. Pendampingan Konsultasi Perpustakaan
  11. Bimtek Pengelolaan Perpustakaan
  12. Kelas Literasi, yang mencakup buku bedah dan kelas menulis cerpen.
  13. Lomba Bertutur, yang diadakan setiap tahun.
  14. Lomba Perpustakaan
  15. Pelatihan-Pelatihan Literasi

Rencananya pada tahun 2025, sebanyak 20 perpustakaan dan TBM di Kota Madiun akan disiapkan untuk program TPBIS. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya komitmen Kota Madiun dalam meningkatkan literasi.

Pada sesi tanya jawab, kedua narasumber dengan jelas menjawab berbagai pertanyaan dari peserta. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Ibu Dwi Astutik Ningsih dari PD Forum TBM Bantul, Jawa Tengah, yang menanyakan apakah pengelolaan TBM harus serumit pengelolaan perpustakaan.

Narasumber menjelaskan bahwa TBM dapat beroperasi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Namun, di depannya diharapkan TBM bisa memenuhi standar yang serupa dengan perpustakaan. Di Kota Madiun, TBM yang didirikan oleh masyarakat secara mandiri (TBM Mandiri) akan difasilitasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Madiun, asalkan mereka bersedia melaporkan diri untuk dikoordinasikan. Saat ini, TBM di Kota Madiun mendapatkan insentif tahunan dari pemerintah kota.

Strategi Penguatan Organisasi Forum TBM

Pada sesi berikutnya, Kang Opik menyampaikan strategi penguatan organisasi Forum TBM. Dipandu oleh Iwan Kapit, Sekretaris Forum TBM Jawa Timur, Kang Opik memberikan banyak motivasi dan dorongan kepada para pegiat TBM yang hadir.

Berdasarkan data dari Forum TBM Pusat, jumlah anggota TBM pada tahun ini meningkat drastis dari 2.000an menjadi 3.000an. Meskipun demikian, ada kekhawatiran apakah peningkatan ini hanya sekedar keriuhan sesaat atau benar-benar mencerminkan perluasan ruang gerak literasi. 

Kang Opik menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah bagaimana TBM dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak, bukan hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Jadi jangan lagi ada pertanyaan TBM itu dibawa siapa tapi siapa beralihlah TBM bisa berkolaborasi dengan. Gak usah bertanya-tanya bantuan apa yang diberikan pemerintah kepada kita? tapi sekarang saatnya bagaimana kita membantu dan bekerja sama dengan pemerintah. 

TBM, yang awalnya dibentuk di bawah Dinas Pendidikan, kini telah menjadi entitas mandiri. TBM bukan sekedar nama tapi ini adalah sebuah istilah. Saat ini bisa menggunakan nama apa saja yang penting gerakannya sama. 

Menurut Kang Opik, Forum TBM bukan hanya sebuah nama, tetapi juga merupakan gerakan kolektif untuk memajukan literasi. Forum TBM adalah rumah bersama bagi para pegiat literasi atau pengelola TBM. Forum TBM hadir sebagai wadah berhimpun dan berorganisasi bagi para pendiri dan pengelola taman bacaan masyarakat untuk bersama-sama melakukan ikhtiar mengembangkan gerakan literasi di tanah air. 

Pencapaian dari Forum TBM sebagai komunitas adalah Tahun 2024, diantaranya sebanyak 2.000 TBM menerima fasilitas 1.000 buku dan rak dari Perpusnas ini merupakan hasil dari usulan Forum TBM.

Menanggapi pertanyaan dari seorang peserta asal Kediri mengenai bagaimana proses kaderisasi di TBM, Kang Opik menjawab dengan jelas dan tegas. Ia menjelaskan bahwa di TBM, proses kaderisasi memang cukup menantang. Hal ini disebabkan oleh karakteristik TBM sendiri yang bukan merupakan organisasi nirlaba, TBM adalah sebuah gerakan sosial yang fokus pada pemberdayaan masyarakat. Memang proses kaderisasi tidak berjalan seperti di organisasi formal lainnya. Namun, meski sulit, TBM harus tetap berupaya menciptakan kader-kader literasi yang mampu melanjutkan dan mengembangkan gerakan ini di masa depan.

Terkait pergantian kepengurusan di Forum TBM menjadi organisasi bisa direvisi. Di pengurus pusat saja sudah 20 kali perubahan SK. Setiap 6 bulan sekali para pengurus ditanya,apakah bersedia melanjutkan atau tidak. Jika tidak dapat melanjutkan, pengurus yang bersangkutan diminta membuat surat pengunduran diri. Hal seperti ini bisa saja dilakukan di kepengurusan daerah dan juga kepengurusan Wilayah. 

Khusus untuk PW Jawa Tengah yang diresahkan oleh salah satu pengurusnya, Kang Opik menyatakan bahwa akan ada koordinasi lebih lanjut terkait kepengurusan PW Jawa Tengah karena ketuanya sendiri sudah mengatakan dan memutuskan untuk mundur. 

Kang Opik juga menegaskan kalau mau buku-buku saja, jangan mendaftar jadi anggota TBM. Tapikalau mau belajar bersama, dipersilakan. Ia juga pentingnya validasi data anggota TBM untuk disebarkan ke berbagai pihak, karena data ini akan menjadi landasan untuk berbagai program dan fasilitas yang akan datang.

Berbagi Praktik Baik Pengelolaan Forum TBM

Setelah dua sesi diskusi interaktif, acara dilanjutkan dengan sesi Berbagi Praktik Baik Pengelolaan Forum TBM. Dipandu oleh Wiwik Subandiah, pengurus wilayah Forum TBM Jawa Timur, sesi ini menghadirkan Heni Wardatur Rohmah, Sekjen Forum TBM, sebagai narasumber.

Sebagai narasumber, Heni tidak banyak memberikan pemaparan. Beliau langsung memberikan tugas kepada peserta untuk menyelesaikan berbagai persoalan atau kasus yang sering terjadi di Forum TBM. 

Para peserta dibagi menjadi tujuh kelompok, masing-masing terdiri dari 6-7 anggota. Setiap kelompok diberikan satu kasus untuk didiskusikan bersama, dan hasil diskusi dituliskan di atas kertas besar yang kemudian ditempelkan di dinding. Diskusi ini dilakukan dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Setelah diskusi selesai, satu orang dari setiap kelompok akan mencetak hasil diskusi di hadapan kelompok lainnya. Sebelum presentasi, setiap kelompok juga harus menampilkan yel-yel mereka.

Adapun kasus-kasus yang dibahas meliputi:

  1. Kondisi kepengurusan yang mati suri setelah dikukuhkan
  2. Pelaksanaan Festival Literasi
  3. Kapasitas pegiat literasi dalam tiga ranah: sebagai individu, pengelola TBM, dan pengurus Forum TBM
  4. Bagaimana Forum TBM bisa menjadi rumah bersama
  5. Ragam kegiatan di Forum TBM
  6. Program Advokasi 1000 Buku
  7. Sinergi TBM dengan berbagai pihak

Dalam sesi ini, kekompakan peserta sangat terlihat. Awalnya, mereka yang belum saling mengenal menjadi lebih akrab. Banyak senyum yang terurai dan gelak tawa yang mempesona suasana. Sinergi pun berhasil terjalin dengan rapi. 

Penguatan Media Sosial Forum TBM

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi penguatan media sosial yang dipandu oleh Heri Djuhaeri, pengurus pusat Forum TBM, dan dimoderatori oleh Aris Munandar. Sesi ini menyiarkan pentingnya media sosial dalam mendukung gerakan literasi, dengan tujuan agar pesan-pesan literasi dapat menjangkau audiens yang lebih luas.

Menurut Heri, media sosial memainkan peran yang sangat penting dalam membangun dan memperkuat identitas sebuah komunitas. Keberadaan akun media sosial memungkinkan komunitas untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan memperluas jangkauan pengaruhnya. Namun, mengelola akun media sosial bukanlah tugas yang ringan jika hanya ditangani oleh satu orang. 

Untuk mengatasi tantangan ini, Heri menyarankan pembentukan tim media sosial yang terdiri dari beberapa anggota dengan tugas yang bagian secara spesifik. Dengan demikian, beban kerja dapat dibagi dan dikelola dengan lebih efektif, sehingga hasilnya pun akan lebih optimal.

Heri juga menyoroti beberapa platform media sosial yang sedang tren saat ini, seperti Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, dan YouTube. Setiap platform memiliki karakteristiknya sendiri, sehingga komunitas perlu memahami cara terbaik untuk memanfaatkannya. Dalam mengelola akun media sosial, ada beberapa konsep penting yang harus dipegang oleh komunitas:

1. Visual 

Konten visual yang menarik dan konsisten sangat penting untuk menarik perhatian audiens. Komunitas harus fokus pada penciptaan gambar, video, dan desain grafis yang kuat dan relevan dengan identitas mereka.

2. Tone & Voice

 Suara dan nada komunikasi di media sosial harus mencerminkan karakter dan nilai-nilai komunitas. Apakah komunitas ingin terdengar formal, santai, atau ramah? Konsistensi dalam tone & voice akan membantu memperkuat identitas merek

3. Nilai dan Misi

Media sosial harus mencerminkan nilai-nilai dan misi utama dari komunitas. Hal ini membantu memastikan memperkuat pesan yang ingin disampaikan dan bahwa audiens memahami tujuan dan prinsip yang mendasari komunitas.

4. Keterlibatan & Responsif

Interaksi dengan audiens sangatlah penting. Menangapi komentar, pesan, dan feedback dengan cepat dan tepat menunjukkan bahwa komunitas peduli terhadap anggotanya dan terbuka untuk berdialog.

5. Kreativitas & Inovasi

Agar tetap relevan dan menarik, komunitas harus selalu mencari cara-cara baru dan kreatif untuk menyampaikan kontennya. Inovasi dalam penggunaan format, tema, dan strategi konten dapat membuat akun media sosial tetap segar dan menarik.

6. Pendidikan dan Informasi

Media sosial bukan hanya tentang hiburan, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mendidik dan memberikan informasi. Komunitas harus memanfaatkan platform ini untuk berbagi pengetahuan yang bermanfaat bagi anggotanya dan masyarakat luas.

Selain itu, Heri menekankan pentingnya penjadwalan postingan di media sosial. Dengan jadwal yang teratur, komunitas dapat menjaga konsistensi dalam berbagi konten, meningkatkan interaksi, dan memastikan bahwa audiens selalu mendapatkan informasi terbaru. Penjadwalan juga membantu tim media sosial dalam merencanakan dan menyiapkan konten jauh-jauh hari, sehingga mengurangi stres dan memungkinkan adanya waktu untuk berkreasi lebih baik.

 

Dengan semangat yang berkobar dan diskusi yang mendalam, acara Fasilitasi Penggerak Literasi 2024 di Madiun ini diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi gerakan literasi di Indonesia. Sinergi yang terjalin selama acara ini menjadi modal berharga untuk terus menggerakkan roda literasi di tanah air, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun budaya baca yang kuat dan berkelanjutan.

* Tim Penulis Forum TBM /PW Forum TBM Jawa Timur 

Categories
Kabar TBM

Gerbang Awal Bangkitnya Literasi Pekalongan

Oleh. Sahrul Mubarok

Pekalongan -Setelah 5 tahun Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat ( Forum TBM ) Pekalongan tidak ada kegiatan. Kini melakukan revitalisasi keorganisasian dan sudah saatnya dilakukan pergantian kepengurusan. Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) Kabupaten Pekalongan Masa Bhakti 2024-2029 resmi dilantik dan dikukuhkan oleh Pak Setiyo Haryono selaku Pengurus Wilayah Forum Taman Bacaan Masyarakat (PW Forum TBM ) Provinsi Jawa Tengah yang diselenggarakan pada hari Jum’at tanggal 30 Agustus 2024 pukul 09.00 WIB – selesai bertempat di gedung Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Pekalongan serta diikuti 32 peserta.

Pada kesempatan ini, Pak Setyo Haryono dari Pengurus Wilayah Forum TBM Jawa Tengah menjelaskan ” Kondisi literasi di Indonesia saat ini dalam keadaan darurat. Kondisi darurat literasi yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena rendahnya membaca akan tetapi minimnya bahan bacaan.” Ucapnya

” Pengiat literasi punya peran penting dalam menggerakan budaya literasi di daerah masing-masing” Imbuhnya

Agus Pranoto, SH. MH selaku Plt Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Pekalongan berpesan, “Diharapkan Taman Baca Masyarakat bisa jadi tempat berkumpul untuk berdiskusi dan menambah ilmu pengetahuan serta menjadi tempat hiburan bagi masyarakat.”tuturnya

“Perpustakaan atau Taman Baca Masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan Gerakan Literasi. Untuk pengembangan budaya baca di Indonesia, khususnya di Kabupaten Pekalongan. Perpusnas memberikan 1.000 buku bacaan bermutu dan rak buku, ada 20 Perpustakaan Desa dan Taman Baca Masyarakat di Kabupaten Pekalongan yang mendapatkan bantuan 1000 buku dan rak buku. ” Pungkasnya

Setelah melakukan kegiatan pelantikan pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Pekalongan. Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pekalongan melakukan sosialisasi rencana bantuan buku lanjutan dan pembuatan nomor pokok perpustakaan serta penjelasan program pekan literasi. Diah Kartika, SE, MM menjelaskan ” Akan ada bantuan 1000 buku dan rak buku ditahun 2025, Perpustakaan Desa dan Taman Baca Masyarakat diharapkan bisa mendaftarkan Nomor Pokok Perpustakaan (NPP),” tuturnya.

” Nomor Pokok Perpustakaan (NPP) diberikan dalam rangka memudahkan pembinaan perpustakaan dan untuk mengetahui peta kondisi perpustakaan di Indonesia. Nomor Pokok Perpustakaan (NPP) juga menjadi salah satu syarat utama dalam penerimaan bantuan 1000 buku dan rak buku, ” Pungkas bu diah

Taman Baca Masyarakat atau Perpustakaan Desa memiliki peran penting, sebagai garda terdepan dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat. Diharapkan Pelantikan Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Pekalongan Masa Bhakti 2024-2029 bisa menjadi gerbang awal bangkitnya literasi di Kabupaten Pekalongan.

Categories
Artikel Opini

Mengarungi Samudra Pasifik: Kisah Epik Kon-Tiki dan Thor Heyerdahl

Oleh. Heri Maja Kelana*

Pada tahun 1947, sebuah rakit kayu sederhana, bernama Kon-Tiki, memulai perjalanan epik yang akan mengubah cara kita memandang sejarah maritim dunia. Dipimpin oleh penjelajah dan penulis Norwegia, Thor Heyerdahl, ekspedisi ini berangkat dari pantai Amerika Selatan menuju Kepulauan Polinesia, menantang samudra luas dan angin kencang dengan satu tujuan utama: membuktikan bahwa orang-orang dari Amerika Selatan bisa mencapai Polinesia pada masa pra-Kolumbus.

Mimpi yang Menjadi Nyata

Heyerdahl, seorang antropolog dan peneliti, terinspirasi oleh mitos dan cerita kuno tentang Viracocha, dewa Inca yang juga dikenal sebagai “Kon-Tiki”. Menurut legenda, Kon-Tiki mengarungi lautan besar untuk mencapai tanah baru. Terinspirasi oleh cerita ini, Heyerdahl mengemukakan teori bahwa orang-orang Polinesia mungkin berasal dari Amerika Selatan, bukan dari Asia seperti yang diyakini oleh sebagian besar ilmuwan saat itu. Untuk membuktikan teorinya, Heyerdahl memutuskan untuk melakukan perjalanan berbahaya melintasi Samudra Pasifik menggunakan teknologi dan bahan yang tersedia pada masa kuno.

Persiapan yang Matang

Dengan dana dari pinjaman pribadi dan sumbangan peralatan dari Angkatan Darat Amerika Serikat, Heyerdahl dan tim kecilnya menuju Peru. Di sana, mereka membangun rakit dari kayu balsa, sesuai dengan penggambaran sejarah yang ditemukan dalam catatan penjelajah Spanyol. Dibantu oleh pemerintah Peru, mereka membangun rakit menggunakan bahan-bahan alami dan teknik yang mungkin digunakan oleh orang-orang kuno.

Perjalanan yang Menantang

Pada tanggal 28 April 1947, Heyerdahl dan lima rekannya memulai perjalanan mereka dari Callao, Peru. Tanpa teknologi canggih, mereka hanya mengandalkan arus laut dan angin untuk membawa mereka ke tujuan. Meski menggunakan beberapa peralatan modern seperti radio, jam tangan, peta, sekstan, dan pisau logam, Heyerdahl menegaskan bahwa ini hanya untuk keamanan tambahan, dan inti dari percobaan ini adalah membuktikan bahwa rakit kayu balsa bisa melakukan perjalanan jauh.

Selama 101 hari, mereka mengarungi laut sejauh 6.900 kilometer, menghadapi badai, hiu, dan tantangan alam lainnya. Pada 7 Agustus 1947, rakit Kon-Tiki menabrak terumbu karang di Raroia, Kepulauan Tuamotu, dan mereka berhasil mendarat dengan selamat.

Perhatian Dunia

Kisah perjalanan ini segera menarik perhatian dunia. Buku Heyerdahl, The Kon-Tiki Expedition: By Raft Across the South Seas, diterbitkan dalam bahasa Norwegia pada tahun 1948 dan segera menjadi bestseller internasional. Buku ini diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris dengan judul Kon-Tiki: Across the Pacific in a Raft pada tahun 1950.

Tidak hanya bukunya yang sukses, film dokumenter yang dihasilkan dari penjelajahan ini, berjudul Kon-Tiki, memenangkan Academy Award untuk Film Dokumenter Terbaik pada tahun 1951. Disutradarai oleh Heyerdahl dan disunting oleh Olle Nordemar, film ini memberikan gambaran visual yang mendalam tentang petualangan luar biasa mereka. Pada tahun 2012, sebuah film yang didramatisasi tentang penjelajahan ini juga dinominasikan untuk Academy Award untuk Film Internasional Terbaik.

Warisan Kon-Tiki

Meskipun hipotesis Heyerdahl tentang asal-usul orang Polinesia dari Amerika Selatan umumnya ditolak oleh komunitas ilmiah, perjalanan Kon-Tiki memberikan wawasan baru tentang kemampuan navigasi dan keberanian manusia pada masa kuno. Sebagian besar bukti arkeologi, linguistik, budaya, dan genetika menunjukkan bahwa orang Polinesia berasal dari Taiwan dan Filipina, menggunakan teknologi layar multihull yang canggih. Namun, ada bukti yang menunjukkan adanya kontak genetik antara Amerika Selatan dan Pulau Paskah.

Penjelajahan Kon-Tiki membuktikan bahwa perjalanan melintasi Samudra Pasifik menggunakan rakit kayu balsa adalah mungkin, meskipun tidak umum terjadi. Pada tahun 2020, penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya dampak genetik dan budaya yang lebih luas di Polinesia akibat kontak dengan Amerika Selatan.

Rakit Kon-Tiki asli kini dipajang di Museum Kon-Tiki di Bygdøy, Oslo, Norwegia. Museum ini menjadi saksi bisu dari salah satu penjelajahan paling berani dan inovatif dalam sejarah eksplorasi maritim. Penjelajahan Kon-Tiki tidak hanya membuktikan keberanian dan keuletan manusia, tetapi juga membuka wawasan baru tentang kemungkinan kontak antar benua pada masa pra-Kolumbus.

Kisah Kon-Tiki tetap hidup sebagai simbol keberanian manusia untuk menjelajahi yang tidak diketahui dan menantang batasan-batasan yang ada. Thor Heyerdahl dan timnya telah meninggalkan warisan yang akan terus menginspirasi penjelajah dan ilmuwan di masa depan.

 

Sumber:

Heyerdahl, Thor; Lyon, F.H. (translator) (1950). Kon-Tiki: Across the Pacific by Raft. Rand McNally & Company, Chicago, Ill.

Hesselberg, Erik (1950). Kon-Tiki and I : illustrations with text, begun on the Pacific on board the raft “Kon-Tiki” and completed at “Solbakken” in Borre. Allen & Unwin

Andersson, Axel (2010) A Hero for the Atomic Age: Thor Heyerdahl and the Kon-Tiki Expedition (Peter Lang)

Heyerdahl, Thor (1973). Kon-Tiki. Simon & Schuster Paperbacks, New York. 

*Ketua Bidang Infokom dan Litbang Forum TBM